"Kirana pasti baik-baik saja. Sebentar lagi dia pasti sehat," kak Nino menepuk bahuku.
"Aku agak menyesal kenapa bukan aku yang pertama menemukan Kirana,"
"Sama saja, mau aku atau kamu, Kirana pasti merasa sama. Mungkin dia bersyukur aku yang menemukan Kirana, tapi dia juga pasti bersyukur karena kamu ada disini."
"Kenapa aku nggak bisa sadar kalau Kirana sudah mulai sakit sejak terakhir pergi les sama-sama? Aku bahkan nggak mendengarkan keluhannya yang ingin pulang dan mengeluh pusing. Sekarang juga aku nggak bisa melakukan apapun buat bantu dia. Aku benci seperti sekarang. Aku nggak bisa apa-apa,"
Kak Nino tersenyum bersimpati sambil berusaha menghiburku.
"Kalau begitu, kamu jadi dokter saja. Mungkin kamu nggak bisa menolong Kirana sekarang, tapi kamu bisa menolong Kirana nanti. Memang sih, nggak mudah, tapi itulah serunya, kamu harus usaha lebih keras kan? Aku tahu sih cita-cita kamu jadi tentara, pengen jadi anggota pasukan khusus kayak yang kamu lihat di film-film, tapi banting setir sedikit nggak apa-apa kan?"
Aku diam dan memikirkannya berulang kali. Aku memandangi wajah Kirana yang masih pucat dan tertidur. Menjadi tentara mungkin menjawab mimpiku, tapi mungkin aku tidak akan memiliki banyak waktu lagi. Ditambah lagi, saat Kirana begini lagi, aku tidak akan bisa membantu. Sama seperti saat ini. Aku mencintainya, bahkan sepanjang yang kuingat, hanya dia yang kucintai. Kalau begitu... aku akan mengganti jalanku, aku akan menjadi berguna bagi Kirana.
>>
Nino P.O.V
Aku menyetir dengan hati-hati. Kecepatanku cenderung tidak lagi sama sebelum aku kecelakaan. Aku masih agak takut untuk menyetir, apalagi sekarang ini Kirana ikut denganku. Gadis ini nampaknya tidak mengerti apa yang akan dia hadapi atau datangi. Dia berangkat dengan senyumnya yang ceria, seperti biasanya.
"Sebenarnya kakak ada acara apa pergi ke Jakarta? Padahal tadinya aku dan Ryfan mau ajak kakak jalan-jalan juga," akhirnya ia bertanya.