Mohon tunggu...
Yusri Lubbi Kamilah
Yusri Lubbi Kamilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Never Stop Learning

Pelajar yang Selalu Haus Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seks Bebas Legal di Kampus

10 November 2021   11:29 Diperbarui: 10 November 2021   11:29 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Yusri Lubby Kamilah

Belum lama ini, Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan tekonologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim telah menerbitkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 bertujuan sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan tridharma.

Desas desus diterbitkannya Permendikbud Ristek tersebut menuai respon dari Majelis Ormas Islam (MOI) yang terdiri dari 13 ormas Islam. Melalui ketua MOI, Nazar Haris mendesak Mendikbud Ristek untuk segera mencabut ketentuan tersebut.

"MOI menilai bahwa Permendikbud Ristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan dan dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral di kampus. Yang semestinya perzinahan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan."beliau menambahkan bahwa Permendikbud berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan seksual LGBT. Ujarnya senin(2/11) Law Justice.

Kalau kita telaah Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021, nampak ini mengadopsi draf lama Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang sudah ditolak oleh masyarakat. Karena mengadopsi draf lama RUU-PKS, maka landasan filosofi dari Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 dibangun diatas paradigma sexual-consent yang menganggap bahwa batasan aktivitas seksual yang dianggap salah adalah apabila aktivitas tersebut tidak diiringi dengan persetujuan dari pelaku.

Padahal banyak dari kasus kejahatan seksual yang terjadi dilapangan seperti aktivitas yang telah melibatkan persetujuan dari pelaku, contohnya seperti aktivitas perzinahan yang diiringi dengan konsen, persetujuan berhubungan sesama jenis, praktik zina dan LGBT meskipun dibangun diatas konsen tetap menjadi salah satu sebab utama maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan maupun anak-anak.

Adanya sexual consent bukan mencegah kekerasan seksual namun justru membuat seks bebas akan semakin menjamur dikalangan mahasiswa karena mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Inilah kekerasaan seksual yang sesungguhnya karena merusak moral, pergaulan, dan masa depan generasi.

Definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud no 30 tahun 2021 dalam pasal 1 jelas mengacu pada perspektif feminis radikal. Kalangan feminis memang memiliki posisi yang menyakini bahwa keberadaan sexual consent saja tidak cukup untuk mengatasi kekerasan seksual. Maka mereka perlu mengembangkan terminologi-terminologi khas seperti definisi relasi kuasa dan relasi gender dengan tujuan membongkar struktur kuasa didalam masyarakat yang dinilai mereka melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Padahal terminologi-terminologi tersebut tidaklah netral tetapi berakar dari pemikiran Marxisme yang cenderung antipati terhadap nilai-nilai agama.

Penjelasan pada Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : "kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban." Ini berpotensi mengkriminalisasi dosen, mahasiswa, dan civitas akademis secara umum yang tidak setuju dengan perilaku LGBT yang seharusnya mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh. Penderita LGBT adalah pasien yang harus dibantu kesembuhannya melalui lembaga konseling. Menjadi tugas Negara untuk memfasilitasi konseling ditingkat pendidikan tinggi sehingga setiap manusia kembali sesuai fitrahnya.

Permendikbud Ristek ini juga berpotensi terjadinya monopoli pihak yang terlibat dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan hanya oleh gerakan perempuan yang menjadikan feminisme sebagai paradigma perjuangannya. Permendikbud Ristek juga berpotensi menyebarkan pemikiran kebebasan seksual sebagaimana pasal 6 ayat (2) disebutkan : "..mewajibkan Mahasiswa, Pendidik , dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementrian".

Jelas muara dari masalah seks bebas maupun kekerasan seksual adalah hasil dari penerapan orang-orang liberal barat penganut Ideologi kapitalis. Semua konsep yang terlahir dalam kovenan tersebut lahir dari peradaban barat yang  sekuler liberal. Realitas inilah yang seharusnya disadari oleh kalangan kampus akan bahaya arus sekulerisasi liberalisasi dalam Permendikbud tersebut yang mengadopsi draf RUU-PKS .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun