Oleh : Yusri Lubby Kamilah
Belum lama ini, Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan tekonologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim telah menerbitkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 bertujuan sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan tridharma.
Desas desus diterbitkannya Permendikbud Ristek tersebut menuai respon dari Majelis Ormas Islam (MOI) yang terdiri dari 13 ormas Islam. Melalui ketua MOI, Nazar Haris mendesak Mendikbud Ristek untuk segera mencabut ketentuan tersebut.
"MOI menilai bahwa Permendikbud Ristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan dan dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral di kampus. Yang semestinya perzinahan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan."beliau menambahkan bahwa Permendikbud berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan seksual LGBT. Ujarnya senin(2/11) Law Justice.
Kalau kita telaah Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021, nampak ini mengadopsi draf lama Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang sudah ditolak oleh masyarakat. Karena mengadopsi draf lama RUU-PKS, maka landasan filosofi dari Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 dibangun diatas paradigma sexual-consent yang menganggap bahwa batasan aktivitas seksual yang dianggap salah adalah apabila aktivitas tersebut tidak diiringi dengan persetujuan dari pelaku.
Padahal banyak dari kasus kejahatan seksual yang terjadi dilapangan seperti aktivitas yang telah melibatkan persetujuan dari pelaku, contohnya seperti aktivitas perzinahan yang diiringi dengan konsen, persetujuan berhubungan sesama jenis, praktik zina dan LGBT meskipun dibangun diatas konsen tetap menjadi salah satu sebab utama maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan maupun anak-anak.
Adanya sexual consent bukan mencegah kekerasan seksual namun justru membuat seks bebas akan semakin menjamur dikalangan mahasiswa karena mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Inilah kekerasaan seksual yang sesungguhnya karena merusak moral, pergaulan, dan masa depan generasi.
Definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud no 30 tahun 2021 dalam pasal 1 jelas mengacu pada perspektif feminis radikal. Kalangan feminis memang memiliki posisi yang menyakini bahwa keberadaan sexual consent saja tidak cukup untuk mengatasi kekerasan seksual. Maka mereka perlu mengembangkan terminologi-terminologi khas seperti definisi relasi kuasa dan relasi gender dengan tujuan membongkar struktur kuasa didalam masyarakat yang dinilai mereka melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Padahal terminologi-terminologi tersebut tidaklah netral tetapi berakar dari pemikiran Marxisme yang cenderung antipati terhadap nilai-nilai agama.
Penjelasan pada Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : "kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban." Ini berpotensi mengkriminalisasi dosen, mahasiswa, dan civitas akademis secara umum yang tidak setuju dengan perilaku LGBT yang seharusnya mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh. Penderita LGBT adalah pasien yang harus dibantu kesembuhannya melalui lembaga konseling. Menjadi tugas Negara untuk memfasilitasi konseling ditingkat pendidikan tinggi sehingga setiap manusia kembali sesuai fitrahnya.
Permendikbud Ristek ini juga berpotensi terjadinya monopoli pihak yang terlibat dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan hanya oleh gerakan perempuan yang menjadikan feminisme sebagai paradigma perjuangannya. Permendikbud Ristek juga berpotensi menyebarkan pemikiran kebebasan seksual sebagaimana pasal 6 ayat (2) disebutkan : "..mewajibkan Mahasiswa, Pendidik , dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementrian".
Jelas muara dari masalah seks bebas maupun kekerasan seksual adalah hasil dari penerapan orang-orang liberal barat penganut Ideologi kapitalis. Semua konsep yang terlahir dalam kovenan tersebut lahir dari peradaban barat yang  sekuler liberal. Realitas inilah yang seharusnya disadari oleh kalangan kampus akan bahaya arus sekulerisasi liberalisasi dalam Permendikbud tersebut yang mengadopsi draf RUU-PKS .
Dengan adanya Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 mahasiswa maupun masyarakat harus tetap waspada karena kampanye kebebasan seksual semakin masif, tidak hanya melalui pendidikan sexual consent.
Kewaspadaan Kaum Muslimin
Kaum muslimin jelas perlu mencermati dan waspada terhadap peraturan penanganan kekerasan seksual yang diterbitkan oleh Mendikbud Ristek. Definisi kekerasan seksual yang tertuang didalamnya jelas bertentangan dengan syariat Islam. Kalimat atas dasar suka sama suka akan melanggengkan perzinahan dan seakan mendapat legalitas. Telepas dari keharamannya Negara makin prihatin dengan peningkatan pernikahan anak akibat kehamilan tak diinginkan (KTD), padahal penyebab utama KTD adalah perzinahan dibawah umur. Dan tentu saja akan memberi ruang atas aborsi, terutama terkait kehamilan akibat perkosaaan dan memungkinkan terjadi celah yang akan mempermainkan kebolehan aborsi. Kemungkinan inilah yang patut diwaspadai kaum muslimin di tengah arus liberalisasi yang mengancam generasi.
Islam tegas mengharamkan pendidikan sexual consent karena mengajarkan perilaku seksual berdasarkan persetujuan atau kesepakatan. Sexual consent membolehkan adanya pergaulan bebas semacam homoseksual, lesbian, aktivitas seksual di luar nikah/zina, mengumbar aurat, pacaran, dengan syarat dilakukan dengan sukarela/ suka sama suka (tidak ada paksaan) semua itu diharamkan syariat Islam.
Dalam Islam hubungan pria dan wanita dipandang sebagai bentuk untuk melestarikan jenis manusia, bukan pandangan yang bersifat seksual semata. Islam menganggap adanya pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual pada suatu komunitas sebagai perkara yang mendatangkan bahaya. Demikian pula Islam menganggap adanya fakta-fakta yang dapat membangkitkan hawa nafsu seksual akan menyebabkan kerusakan. Islam melarang pria dan wanita berkhalwat, Islam juga melarang baik pria ataupun wanita memandang lawan jenisnya dengan pandangan birahi Islam hanya membatasi hubungan seksual antara pria dan wanita hanya dalam dua keadaan yaitu pernikahan dan pemilikan hamba sahaya (milku al-yamin). Meski demikian Islam membolehkan pria dan wanita melakukan aktivitas perdagangan, pertanian, industri, dan lain sebagainya.
Paradigma inilah yang wajib dipahami oleh setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan sejak dini. Disinilah peran keluarga dalam mendidik generasi dengan syariat Islam termasuk dalam hal pergaulan.
Wallahu'alam bisshowab..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H