Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pileuleuyan, Kang Jalal...

16 Februari 2021   02:53 Diperbarui: 16 Februari 2021   05:27 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HARI Jumat (12/2/2021), seorang rekan mengirim kabar duka, Ceu Euis Kartini, istri Kang Jalal wafat pada hari Kamis (11/2). Padahal Kang Jalal sendiri sedang dirawat intensif, karena diabetesnya sedang mengganas.

Tak bisa ke rumah duka, karena sedang di Pelabuhanratu, saya berencana menengok Kang Jalal saja di rumah sakit. Ternyata, ia lebih cepat menemui Allah, menyusul istri terkasih, Senin (15/2/2021), atau empat hari setelah belahan jiwanya wafat.

Ya! Satu lagi tokoh panutan pergi. Jalaluddin Rachmat, saya - sebagaimana banyak orang- biasa menyapanya Kang Jalal. 

Pertama kali saya kenal namanya puluhan tahun lalu lewat buku Psikologi Komunikasi, karyanya, awal 1980-an saat saya mulai belajar menulis.

Pertemuan pertama, antara 1987-1988 ketika saya nyambi di Tabloid Jumatan Salam, selain sebagai reporter di Bandung Pos.

Bagi saya, ia guru terbaik. Terbuka dan menyenangkan diajak berdiskusi. Tajam dan jernih. Lugas. Rendah hati, bersedia meladeni siapa saja dengan sikap yang sama, juga pada wartawan ingusan seperti saya, waktu itu.

Kang Jalal meninggal dunia di Rumah Sakit Santosa, Kota Bandung setelah berjuang melawan penyakit diabetes yang diidapnya sejak lama. Dan, belakangan ada keluhan sesak napas.

Kabar kepergian pakar komunikasi ini menjalarkan duka cita di kalangan cendekiawan, jurnalis, seniman, aktivis, dan para penggiat pro demokrasi.

Berbagai kesan mengalir dari aneka kalangan, menunjukkan kedekatan Kang Jalal dengan berbagai lapisan masyarakat.

Jalaluddin Rakhmat adalah cendekiawan yang pemikiran-pemikirannya menginspirasi banyak orang.

Lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Terakhir tercatat sebagai dosen, guru besar, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung.

Kang Jalal mendapatkan gelar master komunikasi dari Iowa State University dan doktor ilmu politik dari Australian National University. 

Setelah pensiun sebagai dosen, pada tahun 2013 dia terjun ke dunia politik dan bergabung dengan PDI-P. Dia memilih partai tersebut karena menurutnya hanya PDI Perjuangan yang membela kaum minoritas.

Kang Jalal dibesarkan di kalangan Nahdatul Ulama, dan kemudian aktif di gerakan Muhammadiyah. Saat ini dia lebih dikenal sebagai tokoh Syiah di Indonesia. 

Dia ikut membidani organisasi Syiah di Indonesia, yaitu Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi) pada awal Juli 2000. 

Cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi menyebut Kang Jalal sebagai mutiara intelektualisme Islam negeri ini.

"Saya pribadi mempunyai hubungan batin, guru dan murid. Saya berhutang budi pada almarhum, karena karya-karya almarhum menginspirasi saya dan seantero pemikir Muslim di negeri ini," tulis Zuhairi pada laman facebook-nya.

Di mata penyair Diro Aritonang, Kang Jalal adalah sosok yang selalu menginspirasi. "Semoga akan ada yang meneruskan semangat untuk selalu memperhatikan kaum minoritas dan para mustadhafin," tulis Diro, rekan saat kami di Salam.

Dari Banjarmasin, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Prof. Dr. Mujiburrahman, menyatakan ada rasa kehilangan yang tak terperi setelah mengetahui Jalal wafat.

"Bagi saya, dan saya yakin banyak orang lainnya, Kang Jalal adalah figur cendekiawan sejati yang independen dalam pemikiran dan tak pernah berhenti belajar dan mencari," tulis Mujiburrahman.

Lebih dari itu, tambah dia, Kang Jalal adalah pribadi yang menguasai seni bertutur, baik lisan ataupun tulisan, yang memukau dan humoris.

Tak syak lagi, Kang Jalal adalah seorang pemikir yang independen, tidak mau terikat oleh pendapat siapa pun dan aliran apa pun, sebelum dia menimbang sendiri argumen-argumen secara kritis.

Karena itu, lanjut Mujib, kita seringkali terperangah oleh aneka gagasannya yang segar, orisinil dan mencerahkan. 

Independensi ini juga yang membuatnya berani melawan arus, menyampaikan sesuatu yang diyakininya ke publik, meskipun akibatnya dia harus menerima hujatan dan caci maki.

Siapapun yang pernah menghadiri ceramah dan seminar bersama Kang Jalal, atau membaca buku-bukunya, akan merasakan betapa luas pengetahuannya, dan betapa banyak sumber yang dibacanya, tulis Mujib di laman facebook-nya.

Kabar kepergian Kang Jalal juga menyentak Nezar Patria, aktivis reformasi yang kemudian jadi jurnalis dan kini memimpin PT Pos Indonesia.

"Saya tak pernah lupa pada sepotong doa kaum tertindas yang ditulis oleh Fikri Yathir dalam kolom tetapnya di Majalah Ummat pada 1998," tulis Nezar.

Sudah tiga bulan ia ditahan di sel itu dengan tuduhan subversif dan makar, sementara gerakan mahasiswa kian garang di jalanan melawan kediktatoran Soeharto. 

Di dinding atas tembok itu, tulis Nezar di laman facebook-nya, ada terawangan kecil yang membuatnya tahu apakah sekarang hari telah malam ataukah pagi.

"Lewat cahaya yang menembus terawangan itu, saya membaca kolom Fikri Yathir," kata Nezar.

Kertas sobekan halaman majalah itu sudah lusuh, dan mungkin bekas bungkus makanan. Dia tak ingat lagi kata-kata yang tertulis di sana secara verbatim, tapi kira-kira seperti ini: 

"Tuhan berilah kami kekuatan seperti yang kau berikan pada sebutir padi untuk tumbuh, seperti kilatan petir yang membuat mendung jadi hujan, seperti gerak bumi mengitari matahari yang memberikan kami cahaya pagi". 

Kata-kata yang sederhana, kata Nezar, tapi dia seperti menemukan seteguk tonik bagi hati yang risau. Dia seperti menemukan sepotong doa untuk memohon kekuatan penguasa alam semesta. 

"Enam belas tahun kemudian saya baru tahu bahwa Fikri Yathir itu adalah nama alias KH Jalaluddin Rakhmat," tutur Nezar.

Inna lillahi wa Inna ilaihi rojiun. Pileuleuyan, selamat jalan, Kang. Lapang dan terang jalan Akang di sana. Alfatihah. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun