[caption id="attachment_404826" align="aligncenter" width="620" caption="Aburizal Bakrie (foto: Tempo)"][/caption]
LAMA menghilang dari hiruk-pikuk media, Aburizal Bakrie tampil kembali di televisi miliknya. Akan tetapi, penampilannya berbeda dengan suasana saat kampanye pilpres. Intonasinya tidak lagi penuh dengan kritikan pada pemerintah berkuasa. Gaya bahasanya tak lagi penuh gagasan-gagasan hebat tentang Indonesia di tahun 2045.
Ia justru tampil dengan wajah kalah, seakan-akan dizalimi oleh salah satu menteri. Ia memang kalah beberapa langkah. Bukan oleh pemerintah. Melainkan oleh sesuatu yang justru menjadi senjatanya ketika memasuki politik. Apakah gerangan?
***
Hari itu, 2 Maret 2015. Di ruang musyawarah nasional partai Golkar, lelaki itu tiba-tiba merangsak masuk. Ia mendekati politisi Ali Mukhtar Ngabalin lalu melayangkan bogem mentah. Suasana kacau. Beberapa orang tergopoh-gopoh mendatangi lelaki itu lalu ikut menghantam dengan tinju keras.
Kisah ini muncul di tengah-tengah pidato politik pria yang kerap disapa Ical itu. Salah seorang sahabat saya ikut dalam drama pemukulan atas pria yang disebutnya sebagai penyusup itu. Sahabat itu bekerja sebagai tenaga ahli Partai Golkar di DPR RI. Saat saya temui, ia begitu heroik saat memaparkan kisahnya yang ikut berkelahi melawan pria itu.
Bagi saya, tindakan pria yang datang menyusup dan memukul Ali Ngabalin adalah tindakan konyol. Namun tindakan ikut mengepung pria itu dan menghakiminya adalah tindakan yang lebih konyol lagi. Sebab saya sangat yakin bahwa penyusup itu memiliki satu tujuan yakni menggeser semua kiblat wacana dan pemberitaan ke arah insiden. Sementara pemaparan visi politik dan arahan Ketua Umum Aburizal Bakrie dan jalan keluar ke mana kapal partai bergerak malah terabaikan.
Tak ada satupun media yang menggubris pernyataan Ical. Semuanya fokus pada insiden pemukulan. Bahkan televisi yang dimiliki Ical pun ikut-ikutan fokus pada insiden penyusup dan aksi massa. Penyusup itu sukses menunaikan tugasnya. Bibirnya bisa saja sobek karena dibogem teman saya, akan tetapi tugasnya untuk menggeser kiblat wacana media telah sukses. Ia menjadi berita. Ical semakin tenggelam.
Laksana gayung bersambut, suara-suara daerah bermunculan. Ramai-ramai pendukungnya melakukan migrasi menjadi pendukung pesaingnya. Bahkan beberapa politisi di barisan utamanya pun terang-terangan menyatakan bergabung ke kubu Agung. Tokoh sekelas Setya Novanto pun dikabarkan berpindah dan meninggalkan sosoknya. Perlahan, ia ditinggalkan banyak orang dan kini hanya dikelilingi oleh lingkar pendukung utamanya.
Apakah gerangan yang terjadi? Mereka yang baru mengamati Golkar tenttu akan keheranan melihat fenomena ini. Padahal, sejak dahulu, ada satu virus yang telah lama menggerogoti partai ini. Partai ini telah lama kehilangan ideologinya. Yang ada adalah pragmatisme dalam bentuk ekspektasi tentang karier dan pendapatan yang semain cemerlang ketika memasuki panggung politik.
Virus yang lama menggerogoti partai ini adalah virus pragmatisme yang telah lama berakar di tubuh para politisinya. Dalam keadaan ketika terjadi dualisme, dan satu kubu diakui pemerintah, maka banyak politisi lainnya akan segera berpindah ke kubu yang diakui.