[caption id="attachment_330940" align="aligncenter" width="512" caption="salah satu manusia gerobak (foto: mounyetjawajogetjoget.blogspot.com)"][/caption]
DI balik gegap gempita dan janji-janji selangit tentang membantu rakyat kecil yang kadang diteriakkan di gedung mewah atau di atas kuda seharga tiga miliar rupiah, ada sejumlah orang yang justru bertahan dan bertarung dengan penuh harga diri. Mereka bukanlah pemilik kendaraan mewah yang suka berjanji itu. Mereka adalah rakyat biasa yang menjalani hidup dengan kerja keras dan penuh dedikasi. Lewat bahasa sederhana, mereka mengolok-olok politisi yang sibuk mencari kursi dan kuasa.
***
TAK jauh dari baliho besar bergambar garudan dan wajah seorang presiden, lelaki itu tertidur di atas gerobaknya. Pukul 10.00 pagi, lelaki kurus itu masih saja tidur, padahal di kiri kanannya, kenderaan lalu lalang. Di saat orang-orang juga berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan hak pilih, ia tetap terlelap.
Di dekat kompleks apartemen di Kalibata, aku menyaksikan lelaki di atas gerobak itu. Ketika aku mendekati gerobaknya, aku melihat barang bekas, di antaranya gelas plastik, aneka botol bir, serta banyak kantung plastik bertebaran. Lelaki itu tiba-tiba saja membuka mata. Melihatku, ia tersenyum, lalu tiba-tiba berkata dengan suara pelan, "Mas gak pergi nyoblos?" Entah kenapa, hatiku tiba-tiba dibasahi oleh keharuan mengingat betapa dirinya mengingat kewajiban semua warga negara, padahal negara itu sering mengabaikan rakyatnya.
Hampir setiap hari, aku melihat lelaki itu di sekitar tempatku bermalam. Kadang ia tidur di bawah baliho seorang presiden yang saban hari selalu berteriak tentang kesejahteraan rakyat kecil sambil mengepalkan tangan di atas kuda seharga 3 miliar rupiah. Sering pula lelaki itu membawa gerobaknya dan parkir di bawah baliho calon pemimpin berlatar pengusaha besar yang memiliki gedung-gedung pencakar langit. Â Kadang pula ia duduk di tengah bawang-barang bekas yang dikumpulkannya sambil memperhatikan gambar seorang kepala daerah yang dicitrakan sederhana.
Namanya Poniman. Usianya 70 tahun. Orang-orang menyebut profesinya sebagai manusia gerobak. Ia menjalani hari di atas gerobak itu. Ia bangun, berjalan, mencari nafkah, hingga tidur di atas gerobak itu. Ia serupa keong yang ke mana-mana membawa gerobaknya. Tapi ia menolak disebut pengemis. Ia bekerja dengan penuh dedikasi demi mengumpulkan barang bekas, lalu menjualnya kepada para pengumpul.
Di gerobak itu pula, ia membawa tas ransel kumal yang isinya adalah seluruh benda kepunyaannya. Aku melihat kantong hitam yang isinya baju kumal dan handuk lusuh. Jangan terkejut. Ia tak punya rumah. Ia tinggal di gerobak itu dan setiap hari berkelana demi menghindari kejaran petugas yang menganggapnya seperti sampah di jalan raya.
Ia berkelana seorang diri. Namun beberapa manusia gerobak lainnya justru adalah keluarga. Ayah, ibu, dan anak sama-sama tinggal di gerobak tua itu. Mereka hidup, mencari makan, dan istirahat di gerobak tersebut. Mereka meletakkan semua 'harta' dan hasil jerih payahnya di gerobak itu. Bagi mereka, kosa kata hidup adalah berpindah-pindah demi mengais-ngais rezeki di jalan-jalan kota Jakarta.
Mulanya ia tinggal di lapak kumuh di dekat pembuangan sampah. Namun, hidup di lapak itu sungguh tak nyaman baginya. Setiap saat ia harus siaga dan melarikan diri ketika aparat datang untuk 'menggaruknya.' Ia dianggap sampah yang mengotori jalan-jalan. Ia dianggap wajib dienyahkan. Keberadaannya mengotori wajah kota yang mestinya nampak kaya dan teratur sebagaimana kota-kota di Eropa. Maka berkelanalah dirinya. Ia hidup berpindah dan sesekali berkelahi dengan nasib yang seolah hendak menyingkirkannya dari kota.
***
HARI ini, jalanan lengang. Poniman memilih tak mencoblos. Ketika kutanya, ia langsung terkekeh. Ia megaku tak punya KTP, kartu keluarga, atau kartu identitas yang bisa menjadi prasyarat agar dirinya bisa mencoblos. Ia memilih bertahan di gerobaknya sembari menyaksikan mereka yang baru saja pulang mencoblos.
"Siapa presiden yang kamu suka?" tanyaku
"Tak satupun. Semuanya sama-sama mau cari kuasa. Kalau udah di atas, pasti lupa sama kita-kita."
"Tapi kan bapak bisa memilih yang kelak akan membantu bapak mendapatkan kehidupan layak," kataku dengan sok bijak.
"Layak? Hmm... Justru saya sedang hidup layak. Saya bebas ke mana-mana. Mereka yang hidup tak layak. Mereka tak sebebas saya karena harus mikir uang miliaran, mikir bini di apartemen sono, hingga mikir nama baik. Saya mah bebas. Hahaha."
Ia lama terkekeh. Ia lalu menengok ke baliho seorang calon presiden yang menyebut tentang kemandirian bangsa. Ternyata rakyat seperti dirinya justru punya kemandirian hebat untuk terus bertahan. Di tengah janji para capres yang serba harum itu, ia sedang bertarung dengan nasib, tanpa menitip banyak harapan.
Apa yang bapak inginkan? Ia terdiam. Keinginannya hanya satu. Ia berharap ketika aparat keamanan datang, ia bisa segera pindah ke tempat aman. Di dalam dirinya kulihat kebebasan. Jika manusia lain selalu kembali di rumah yang ukurannya sekian kali sekian meter, Poniman bisa tidur di semua sudut jalan Jakarta. Ia bebas memilih hendak istirahat di manapun. Boleh jadi, ia pernah tidur di jalan raya depan hotel mewah yang pernah Anda tiduri. Boleh jadi ia pernah mengais sampah makanan yang pernah Anda buang di jalan raya. Ia adalah manusia bebas. Bebas tidur di manapun. Bebas makan apapun.
[caption id="attachment_330941" align="aligncenter" width="367" caption="saat Poniman tertidur"]
Hebatnya, lelaki di hadapanku ini tak pernah sedikitpun memberi iming-iming janji. Ia juga tidak terjebak pada materi ataupun penampakan lahiriah. Ia tak peduli dengan janji-janji para lelaki berjas yang katanya hendak membantu orang-orang sepertinya. Ia hanya peduli pada gelas plastik bekas yang berserakan di jalan. Dalam sehari, ia bisa mendapatkan penghasilan hingga sepuluh ribu rupiah, sebuah jumlah yang hanya cukup untuk makan.
Melihat Poniman, aku dicekam kesedihan. Setelah puluhan tahun republik ini merdeka, namun pria seperti Poniman tetap saja menjamur di kota-kota. Telah beberapa kali presiden berganti, namun kemiskinan pria seperti Poniman menjadi realitas yang selalu hadir di mana-mana. Ada banyak politisi dan kandidat presiden yang balihonya memenuhi jalan-jalan. Ada banyak janji yang terucap di setiap lima tahun.
Tapi manusia-manusia seperti Poniman terus bertambah. Mereka adalah potret buram negeri yang para elite politiknya adalah mereka yang rela menghabiskan miliaran uang demi iklan televisi. Politisinya adalah para koruptor yang pandai berkongkalikong dengan sesamanya, menguras uang rakyat, lalu berpindah-pindah dengan kendaraan mewah berharga miliaran rupiah, kemudian tidur di atas kasur empuk di rumah-rumah yang serupa istana.
Di tengah bombardiran janji politisi, Poniman justru kuat menjalani hari-harinya. Ia tetap bekerja dengan segala energi terbaik, demi memastikan dirinya tetap melihat matahari. Ia menganyam impian dari gerobak tua itu. Tapi ia bekerja keras dan bertindak jujur dalam setiap harinya. Ia tak pernah memberi janji, tapi selalu berusaha menyenangkan semua orang. Di tepi apartemen itu, ia tak pernah lelah tersenyum dan bersahabat dengan siapa saja.
Tanah air kita menyimpan banyak sosok hebat sebagaimana dirinya. Sayang, mata kita sering hanya terpaku pada mereka yang menjalani hari di dalam mobil mewah, atau di atas kuda-kuda mahal. Jika sejenak melihat ke bawah, menyaksikan denyut nadi lelaki seperti Poniman, barangkali kita akan sama sadar bahwa negeri ini tak pernah ekurangan harapan. Bahwa negeri ini selalu punya kekuatan yang terletak pada keberanian dan daya tahan warganya menghadapi kehidupan yang kian lama kian sulit.(*)
BACA JUGA:
Pusaka Kerambit dalam Film The Raid 2
Mamasa, Surga Gaib di Pegunungan Sulawesi
Inspirasi Athirah, Ibunda Jusuf Kalla
Perginya Seorang Perempuan Bersuara Lembut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H