Malam itu, aku tertidur dengan menahan luka yang entah kapan akan sembuh. Sementara Aylin menikmati tidurnya dengan nyenyak. Bahkan mimpi buruk pun enggan mendekatinya.
***
Pagi itu rumah gempar dengan teriakan Aylin.
"Kau sembunyikan di mana, paperku?" Aylin mendelik menatapku.
"Paper apa? Aku nggak tahu. Coba cari lagi, barangkali terselip."
"Sudah ngaku saja. Kamu mau balas dendam, kan. Kemarin sudah menunggu lama di parkiran kampus?"
"Wallahi, Aylin. Buat apa aku membalas perbuatanmu."
"Akui saja, biar kelar masalah ini."
Selalu aku yang disalahkan. Jika kesabaran, tidak bisa menyadarkannya. Mungkin kehilangan jadi jawaban atas semuanya. Aku keluar kamar, mendinginkan pikiran yang mulai memanas. Mengambil kunci motor dan gegas berangkat kerja.
Di depan rumah aku dikagetkan dengan sosok lelaki dengan ketampanan maksimal. Berwajah oriental dengan tinggi kisaran 170 senti, kulitnya bersih dan penampilannya rapi. Itu lelaki yang kemarin kutemui di parkiran kampus. Aku ingat betul, namanya Aidan, pemilik mobil sporty berwarna hitam.
"Mengapa dia tahu rumahku? Jangan-jangan dia jodoh yang dikirim Tuhan untuk menyembuhkan lukaku.