Mohon tunggu...
Yusnawati
Yusnawati Mohon Tunggu... Penulis - Pengagum kata

Pengagum kata yang belajar merajut aksara.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Der Traum (Part 1)

17 Mei 2021   17:00 Diperbarui: 18 Mei 2021   20:35 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini kisah tentang Aurora, gadis muda berusia 23 tahun yang ingin meraih mimpi di Innsbruk, Austria. Tidak adanya dukungan keluarga, kemampuan berbahasa Jerman yang minim  dan kehidupan baru di sana yang berbeda membuatnya harus bekerja keras mewujudkan mimpinya Part 1: Piala Kemenangan

Deretan piala kemenangan masih terpajang rapi di atas lemari. Mulai dari piala marmer, kayu, kaca, plastik dan acrelyc. Yang berpilar tunggal hingga berpilar empat semuanya ada. Plakat-plakat kejuaraan disimpan dalam etalase khusus. Sertifikat prestasi sebagian diabadikan dalam album foto, sebagian lagi di masukkan pigura  digantung rapi di dinding ruang tamu bersamaan dengan foto-foto perjalanan menjelajah negara lain.

Di dalam kamar lebih banyak lagi, souvenir

1620803602-60a3c2858ede487542580d42.jpg
1620803602-60a3c2858ede487542580d42.jpg
-souvenir unik dari dalam dan luar negeri di susun rapi di dalam lemari kaca. Sudah  menyerupai museum mini, koleksinya banyak, langganan juara. Siapa saja yang melihatnya akan berdecak kagum. Terpesona dengan pemilik kecerdasan di atas rata-rata ini. Seorang gadis muda yang beranjak dewasa dengan dua lesung pipi, membuat siapa pun tak pernah bosan memandangnya. Sayangnya, itu bukan aku. Pemilik jawaranya adalah Aylin, kembaranku.

Berbagai kompetisi diikutinya, Proposal Global Peace Camp yang di ajukan lolos. Aylin terbang ke Filipina selama satu minggu. Kemudian Delightfull Istanbul Winter School, bersama keempat temannya menjelajah negara Turki dengan gratis. Mengikuti program kuliah singkat dua sks selama dua minggu di Universitas Aydin. Dua minggu setelahnya digunakan untuk mengexplore wilayah Turki. 

Hagia Sophia, Topkapi Palace, Taksim Square, Blue Mosque hanyalah sebagian kecil destinasi yang pernah dikunjungi. Jaket biru dengan logo khas Universitas Aydin bukti nyata kisah suksesnya, masih tergantung rapi di rak lemari. Puluhan teman bule dari berbagai negara berhasil menambah jejaring pertemanannya. Gadis yang luar biasa.

Itu belum termasuk prestasi lainnya di dalam negeri. Hasil kompetisi blog, membawanya menjelajah ke Natuna dan mengenal suku Sasak. Belajar menenun kain ikat dan tradisi kawin culik. Di mana seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang gadis harus menculik terlebih dahulu dari keluarga si gadis. Ah, banyak sekali cerita Aylin yang dibagikan kepadaku. Semuanya seru dan berkesan.

Jangan tanya, di mana prestasiku. Aku tak punya, fotoku hanya menyempil di tengah deretan keluarga yang merayakan euforia kemenangan Aylin. Nilai-nilai ujianku selalu rendah, hanya menduduki ranking tiga puluh besar. Di antara ke tiga saudaraku, hanya aku yang terpuruk di bidang akademik. Keahlianku menggambar, hanya dipandang sebelah mata.

Mereka tak pernah menganggapku ada. Yang dibanggakan hanya Aylin. Hampir setiap hari,   membicarakan kepopulerannya. Kedua kakakku-mbak Sema dan mbak Fatma-juga ibu, mereka semua memperlakukanku beda. 

Aku hanya dibutuhkan untuk urusan dapur, membersihkan debu yang  menempel di piala, plakat dan sertifikat prestasi Aylin, membantu menyiapkan keperluannya, siap sedia mengantar bawaannya yang tertinggal saat dirinya sedang keluar. Tidak punya hak untuk berbicara di rumah ini. Andai bisa kuubah, aku tidak ingin dilahirkan di keluarga ini.

Bertahun-tahun memendam perasaan, direndahkan, dibanding-bandingkan membuatku merasa muak dengan kehidupan yang kujalani, apa daya nasibku tak seberuntung dirinya. Hanya wajah kami  yang mirip. Selebihnya tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti semua yang diperintahkannya.

Seharusnya ibu bangga dengan diriku, meskipun berkuliah di kampus swasta, aku tak pernah meminta biaya. Bekerja sendiri untuk membayar semua kebutuhan kuliahku. Nyatanya sampai hari ini,  itu semua tidak membuat ibu bangga denganku. Lebih respek dengan pencapaian Aylin dan prestasi di luar negerinya. Berkali-kali mimpiku dipatahkan. Dianggap terlalu tinggi dan  mengkhayal.

Setiap ada tetangga dan kerabat yang berkunjung ke rumah, selalu diceritakan perihal kecerdasan Aylin. Bagaiamana anak kebanggannya bisa meraih kesuksesan. Di hadapanku, ibu berkali-kali menyebut nama Aylin dengan senyum semringah tanpa peduli perasaanku. Sedangkan menatapku selalu saja manampakkan raut muka kesal.

Apa salahku, Bu? Sebegitu bencikah dirimu? Jika prestasi yang menjadi ukuranmu, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk membuatmu tersenyum. Sabar ya, Bu. Aku sedang berjuang meraihnya.

'Aurora, cepat antarkan baju gantiku ke kampus, sekarang juga.'

Pesan singkat dari Aylin membuatku tersentak dan bergegas untuk berangkat. Hari libur yang harusnya dipakai bersantai dari padatnya aktivitas harus kugunakan untuk 'mengabdi' padanya.

"Ibu, aku berangkat."

Tak ada jawaban darinya. Kuketuk pintu kamarnya, suara gelak tawa yang kudengar seketika hening. Kubuka pintunya, tubuh ibu sudah berbaring membelakangiku. Kuraih tangannya untuk meminta izinnya, tetapi jemarinya terasa berat untuk kusentuh. Aku tahu ibu tidak sedang tidur, hanya berpura-pura memejamkan mata. Bagiku tidak penting. Bisa melihat wajahnya sebelum pergi, sudah jadi kebahagiaanku. Mungkin suatu saat ibu akan berubah, menyayangiku seperti Aylin.

Sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan bagaimana caranya bisa pergi ke luar negeri secepatnya. Bisa melihat ibu bangga kepadaku.  Membayangkan dipeluk, ditatap wajahku, mendapatkan perhatiannya itu yang paling kutunggu. Hanya waktu yang menjawab semua keluh kesahku.

Ah, tak terasa aku sudah sampai. Logo roda teknik berwarna biru tua dan biru muda dengan tugu pahlawan Surabaya dan bunga wijayakusuma menjadi ikon tempat Aylin menuntut ilmu. Dulu aku juga memimpikan berkuliah di sini, tetapi terlempar karena otakku tak secerdas Aylin.  Masuk di kuliah swasta, itupun memilih kuliah sabtu-minggu karena sehari-hari harus bekerja.

'Aku sudah datang, kutunggu di parkiran kampus.'

Tidak ada balasan darinya.  Hampir satu jam, Aylin belum datang. Aku masih setia menunggu di parkiran. Sesekali berjalan, mengurai kepenatan. Membosankan, tak ada pemandangan menarik di sini, hanya halaman luas dengan beberapa kendaraan. Sesuai perintahnya aku tidak pernah diperbolehkan bertemu langsung dengannya.  Apalagi menunjukkan wajahku di hadapan teman-temannya. Kalaupun terpaksa, harus memakai masker dan helm saat bertemu dengannya. Sangat rumit.

Kuhubungi ponsel Aylin, hanya bunyi nada dering panjang yang kudengar. Dua puluh panggilanku tak dijawabnya. Ke mana dirinya? Apa dia lupa menyuruhku datang,
Kutanyakan kepada petugas parkir di mana keberadaan Aylin, mereka juga tidak tahu. Hingga datang seorang pemuda berpenampilan rapi melewatiku, petugas parkir menegurnya.

"Mas Aidan, tahu mbak Aylin nggak? Ini ada yang cari." Lelaki yang bernama Aidan itu menoleh, melepas kacamata hitamnya dan berjalan ke arahku. Wajah kacaknya terlihat jelas, senyumnya yang menawan membuatku melting.

"Kamu siapa?" tanya Aidan penasaran. Matanya terus menatapku dari atas ke bawah, mungkin dikiranya aku makhluk aneh. Penampilanku yang amburadul membuatnya illfill.

"Anu, Mas. Kurirnya mbak Aylin, mau ngantar baju yang ketinggalan di rumah." Kutunjukkan tas berisi pakaian yang kubawa, agar tak dikiranya aku hanya membual.

"Kamu terlambat, Aylin sudah pulang dari tadi. Seharusnya langsung masuk menemuinya, bukan menunggu di parkiran."

Untuk kesekian kalinya dia mempermainkanku, dengan seenaknya  pergi tanpa memberitahu. Menghadapinya tak hanya butuh stok sabar yang banyak, perlu juga hati yang ikhlas.

Kuambil motorku dan pulang dengan perasaan kecewa yang teramat dalam.

***

"Ibu, aku pulang."

Kubawakan martabak manis kesukaannya, masih hangat. Pasti ibu menyukainya. Di kamar, Ibu sedang berbincang bersama Aylin. Kuredam emosiku. Setelah apa yang telah diperbuatnya, tak ingin bertengkar di hadapannya.

"Ini untuk, Ibu." Kuulurkan tanganku tetapi ibu malah asyik ngobrol. Pemberianku tidak dilirik, kalah dengan bawaan Aylin yang memenuhi mejanya. Ada buah, makanan cepat saji, minuman sehat dan masih banyak lagi printilan oleh-olehnya.

"Ibu, aku bawa martabak manis."
Kali ini kuletakkan di atas pangkuannya. Berusaha tersenyum di hadapannya. Ternyata bukan seulas senyum yang kudapatkan, ibu malah berdiri. Martabak manis pemberianku jatuh di lantai.

"Ibuuu!"

"Taruh saja di atas meja," ucapnya kasar. Kemudian kembali berbincang hangat dengan Aylin sembari membelai rambutnya.

Gegas ku berlari ke kamar, air mata yang menggenang di pelupuk mata tumpah ruah. Kugerakkan jemariku di atas kertas. Membentuk siluet bangunan dengan sungai Inn yang mengalir indah. Di bawah kertas, kutuliskan kata-kata penyemangat yang masih tersisa.

Niemand könnte mein traum brechen (tidak ada yang bisa menghancurkan mimpiku)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun