Ini kisah tentang Aurora, gadis muda berusia 23 tahun yang ingin meraih mimpi di Innsbruk, Austria. Tidak adanya dukungan keluarga, kemampuan berbahasa Jerman yang minim dan kehidupan baru di sana yang berbeda membuatnya harus bekerja keras mewujudkan mimpinya Part 1: Piala Kemenangan
Deretan piala kemenangan masih terpajang rapi di atas lemari. Mulai dari piala marmer, kayu, kaca, plastik dan acrelyc. Yang berpilar tunggal hingga berpilar empat semuanya ada. Plakat-plakat kejuaraan disimpan dalam etalase khusus. Sertifikat prestasi sebagian diabadikan dalam album foto, sebagian lagi di masukkan pigura  digantung rapi di dinding ruang tamu bersamaan dengan foto-foto perjalanan menjelajah negara lain.
Di dalam kamar lebih banyak lagi, souvenir
Berbagai kompetisi diikutinya, Proposal Global Peace Camp yang di ajukan lolos. Aylin terbang ke Filipina selama satu minggu. Kemudian Delightfull Istanbul Winter School, bersama keempat temannya menjelajah negara Turki dengan gratis. Mengikuti program kuliah singkat dua sks selama dua minggu di Universitas Aydin. Dua minggu setelahnya digunakan untuk mengexplore wilayah Turki.Â
Hagia Sophia, Topkapi Palace, Taksim Square, Blue Mosque hanyalah sebagian kecil destinasi yang pernah dikunjungi. Jaket biru dengan logo khas Universitas Aydin bukti nyata kisah suksesnya, masih tergantung rapi di rak lemari. Puluhan teman bule dari berbagai negara berhasil menambah jejaring pertemanannya. Gadis yang luar biasa.
Itu belum termasuk prestasi lainnya di dalam negeri. Hasil kompetisi blog, membawanya menjelajah ke Natuna dan mengenal suku Sasak. Belajar menenun kain ikat dan tradisi kawin culik. Di mana seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang gadis harus menculik terlebih dahulu dari keluarga si gadis. Ah, banyak sekali cerita Aylin yang dibagikan kepadaku. Semuanya seru dan berkesan.
Jangan tanya, di mana prestasiku. Aku tak punya, fotoku hanya menyempil di tengah deretan keluarga yang merayakan euforia kemenangan Aylin. Nilai-nilai ujianku selalu rendah, hanya menduduki ranking tiga puluh besar. Di antara ke tiga saudaraku, hanya aku yang terpuruk di bidang akademik. Keahlianku menggambar, hanya dipandang sebelah mata.
Mereka tak pernah menganggapku ada. Yang dibanggakan hanya Aylin. Hampir setiap hari, Â membicarakan kepopulerannya. Kedua kakakku-mbak Sema dan mbak Fatma-juga ibu, mereka semua memperlakukanku beda.Â
Aku hanya dibutuhkan untuk urusan dapur, membersihkan debu yang  menempel di piala, plakat dan sertifikat prestasi Aylin, membantu menyiapkan keperluannya, siap sedia mengantar bawaannya yang tertinggal saat dirinya sedang keluar. Tidak punya hak untuk berbicara di rumah ini. Andai bisa kuubah, aku tidak ingin dilahirkan di keluarga ini.
Bertahun-tahun memendam perasaan, direndahkan, dibanding-bandingkan membuatku merasa muak dengan kehidupan yang kujalani, apa daya nasibku tak seberuntung dirinya. Hanya wajah kami yang mirip. Selebihnya tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti semua yang diperintahkannya.
Seharusnya ibu bangga dengan diriku, meskipun berkuliah di kampus swasta, aku tak pernah meminta biaya. Bekerja sendiri untuk membayar semua kebutuhan kuliahku. Nyatanya sampai hari ini, itu semua tidak membuat ibu bangga denganku. Lebih respek dengan pencapaian Aylin dan prestasi di luar negerinya. Berkali-kali mimpiku dipatahkan. Dianggap terlalu tinggi dan  mengkhayal.