Mohon tunggu...
Yusi Nuraeni
Yusi Nuraeni Mohon Tunggu... Guru - Penulis Amatir

Penulis Amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja di Pelupuk Mata

13 Januari 2018   13:33 Diperbarui: 23 Mei 2022   16:48 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://phesolo.files.wordpress.com

Malam ini tak seperti malam yang biasa aku rasa, seperti hunusan pedang menancap kuat di dada. Sesak dan sakit, itu yang ku rasa, bukan karena penyakit ataupun suhu yang tidak stabil, tapi ini karena aku merindukan Ibuku.

Terhitung 4 tahun sudah aku tak dapat tertawa lepas seperti kawanku yang lain. Andai kejadian itu tidak menimpa, keluargaku pasti masih sama seperti keluarga yang lainnya. Ah, sudah lah mengeluh pada takdir sama saja seperti berbicara pada angin. Takkan kau temui jawaban kecuali kau mencari jawaban pada laci imajinasi yang tersimpan dalam otak. Malam ini mungkin aku bisa bermimpi indah, karena upahku berjualan lumayan meningkat, ini semua karena dagangan yang dititipkan Pak Parto padaku terjual semua hari ini.

Seperti biasa sebelum ku menutup mata, aku selalu mengingat cantiknya wajah Ibuku. Saat itu aku pernah bertanya padanya.

"Bu, Bolehkah aku merindu?"

"Habiskan saja dulu kopimu, lalu kau telan bersama ampasnya."

"Pahit, Bu!"

"Itulah rindu nak."

Dialog singkat dengan Ibu saat itu, sekarang aku rasakan. Aku rindu, aku ingin kembali pada masa itu saat semua baik-baik saja.

"Bu, Dimas sekarang paham, rindu itu pahit. Dimas rindu Ibu."

"Bu, Dimas di sini tidur sendirian, setiap malam Dimas tidur di emperan kios, Dimas kedinginan Bu, Dimas ingin sekali Ibu ada untuk peluk Dimas."

Tangisan dan derai air mataku tak terbendung lagi, aku ingin sekali mendengar jawaban Ibu tentang rasa rinduku padanya saat ini. Saat air mata ini menetes, kulihat sang pemilik kios ini datang.

"Heh, gembel, gelandangan kotor, pergi kamu dari sini, pantas saja setiap saya buka kios saya pasti tembok beserta lantainya bau dan kotor ternyata kamu penyebabnya.

"Ampun pak, Maaf saya hanya menumpang tidur saja pak saya tidak mengotori kios Bapak ."

"Sudah lah, pergi kamu sekarang, dasar gembel sampah masyarakat."

Aku bergegas pergi dan untuk malam ini aku tak tertidur lagi. Aku terus berjalan menyusuri jalanan di malam hari, hal seperti ini sudah biasa aku rasakan sejak Ayah dan Ibuku berpisah. Di halte bus aku berhenti dan duduk sejenak.

Tak terasa sang fajar diufuk timur sudah menyapaku, Alhamdulillah aku masih bisa mendengar syahdunya Adzan Shubuh. Aku harus segera bergegas ke masjid.

Sebelum sesampainya aku di masjid untuk shalat semua mata jamaah yang akan ke masjid seolah memandangku sinis. Aku sadar pakaianku lusuh, bau dan kotor. Mungkin aku tak pantas untuk masuk, lebih baik aku shalat di halaman masjid saja.

Fajar mulai berganti jadi pagi hari ini saatnya aku mengais rizki.

"Assalamualaikum Pak Parto."

"Waalaikumsallam Dim, mari kesini ini dagangan hari ini sudah saya siapkan, semoga laku keras seperti kemarin ya "

"Aamiin Pak"

Kakiku yang hanya beralaskan sandal yang hampir putus, berjalan menyusuri jalanan kota.

"Air mineral, air mineral Pak, Bu."

Sudah siang hari daganganku tak satu-pun yang terjual. Tuhan, andai Ayah dan Ibuku masih bersama, andai Ayahku tidak mengkhianati Ibu mungkin hidupku takkan seperti ini. Ayah bekerja sebagai supir dan Ibuku hanya penjual gorengan. Dulu semua baik-baik saja aku bisa merasakan indahnya bangku sekolah dan minmba ilmu. Kenapa semua ini terjadi padaku Tuhan. Semua ini terjadi karena perempuan itu, dia telah mengancurkan keluargaku dan berhasil merebut ayah dari aku dan Ibu. Hari itu 4 tahun lalu, saat aku pulang sekolah dan sampai di rumah, aku mendengar hal yang sangat menyakitkan dan membuat hidupku hancur seperti sekarang.

"Mas, siapa wanita ini mas, kenapa kamu bawa dia pulang ke rumah kita."

"Diamlah kau Sumi, dia ini istri baruku, dan aku ingin bercerai sekarang juga dari kamu.!"

"Ya Allah mas, kenapa kamu tega, berbulan-bulan kamu tak pulang dengan alasan proyek angkutan antar provinis, kamu tak beri aku dan Dimas nafkah dan sekarang kamu malah bawa wanita lain ke rumah, asstagfirullah Mas apa salah aku, bagaimana nanti nasib Dimas anak kita?"

"Diamlah kau, bawa Dimas dan jangan pernah lagi kamu anggap saya suamimu, mulai sekarang aku talak kamu!."

"Tapi mas..."

"Tapi, tapi sudahlah pergi bawa semua pakaianmu dan juga anakmu, segera bergegas atau aku tampar kamu!"

"(aku berlari melindungi ibu saat ibu akan ditampar) Jangan tampar Ibu, tampar aku saja jangan sakiti Ibu, Dimas mohon !"

"Aragh, anak dan ibu sama-sama menyusahkan kalian berdua silahkan pergi dari sini!"

"Baik Mas, saya akan pergi tapi saya mohon sebab saya tak punya keluarga dan rumah, saya titip Dimas disini."

"Dimas gak mau bu, Dimas mau sama Ibu, Ibu jangan tinggalin Dimas Dimas mohon, Ibuuuuuuuuuu..."

"Ibu janji nanti ibu jemput kamu, nanti ibu bakalan sekolahin kamu dan kuliahin kamu, kamu baik-baik ya disini nak."

."Ibuuuuuuu... jangan tinggalin Dimasbawa Dimas buuuuu... Dimas mohon."

Saat itu, adalah saat terakhir aku melihat Ibuku, seminggu setelah Ibu pergi menjadi Tenaga Kerja ke luar Negeri, Ayahku mengusirku dari rumah, dengan alasan aku ini hanya menambah beban. Aku pun pergi, dengan hati gundah dan tak tentu arah aku berjalan. Aku tak tahu harus apa, harus kemana dan bagaimana hidupku sekarang. Saat teman seusiaku melanjutkan sekolah ke SMA aku hanya bisa termenung sendiri. Saat itu aku coba untuk menumpang di rumah Bibiku dia adalah adik dari Ibuku, dua bulan aku menetap di sana. Namun, lama-lama rupanya Bibi bosan mengurusku dan menyuruhku untuk mencoba merantau mencari uang agar tidak menyusahkannya.

Aku diusir oleh ayahku, sekarang aku diusir juga oleh Bibiku, Ya Allah aku tahu kau sayang padaku, aku tahu kau sedang menyapaku dengan kasih sayangmu. Tak ada jalan lain selain aku harus pergi jauh dari sini. Ampuni hamba Ya Allah hamba menangis bukan karena hamba mendustakkan semua karuniamu, hamba menangis sebab hamba manusia yang terdzalimi.

Aku tersungkur menangis, meratapi setiap jejak langkah yang membawaku semakin jauh dari tempat di mana aku dilahirkan. Yang ada dalam benakku adalah menanti Ibu dan menjemputnya di bandara.

Hidupku semakin terlunta, tak tentu arah hingga akhirnya aku bertemu Bang Agung.

"Heh bocah, kulihat dari kemarin kau hanya merenung menangis sendiri di trotoar jalan, kau pengemis baru di sini ?"

"Bukan Bang, aku bukan pengemis Bang, aku hanya numpang duduk dan istirahat."

"Halah kau ini, kau asalnya dari mana? Kau pasti bukan orang sini?"

"Ia Bang saya perantauan."

"Hahahaha.. perantauan, kau ini masih bocah mana ada perantauan bocah kalau bukan pengemis, ya sudah dari pada kau ditangkap satpol PP lebih baik kau ikut denganku jadi kernet bus kota, bagaimana?"

"ia Bang, aku mau oh ia nama Abang siapa? Nama aku Dimas Bang."

"Nama saya Agung Panggil saja saya Bang AG."

Dua tahun aku menjalani pekerjaan itu, dengan upah harian berkisar antara dua puluh sampai tiga puluh ribu, uang itu aku kumpulkan agar aku bisa ke bandara, untuk menjemput ibu sebab ibu pernah bilang kalau kontraknya hanya dua tahun.

Firasatku hari itu sangat bahagia, nampak seperti helaian lembar daun yang terbelai hembusan angin . Uangku sudah terkumpul dan mungkin ini cukup untuk pergi ke bandara menjemput ibu.

Hatiku, kala itu sangat bahagia sekali akhirnya aku akan memeluk ibu kembali. Perjalanan jauh dan lama seolah tak aku rasa, yang aku tahu hanya hangatnya pelukkan ibu dan senyum manis ibu. Saat aku turun dari bus, aku coba hitung sisa uangku, rupanya hanya tersisa lima belas ribu.

Sesampai di bandara aku dipanggil oleh Petugas Keamanan Bandara. 

"Heh, kamu gembel kotor kenapa kamu di sini ? Kamu tak boleh masuk apalagi mengemis disini !"

"Ammpuun Pak, saya bukan pengemis Pak ".

"Sudahlah ayo pergi (menyeret dan menorong)"

Baiklah, aku harus bersabar. Aku akan tunggu Ibu di sini di luar bandara. Tiga jam sudah aku menunggu, tapi Ibu tak kunjung tiba, setiap orang yang lihat aku terus pandangi barang kali ada Ibu.

"Bu, Ibu kok gak dateng-dateng. Udah lama Dimas nunggu, Dimas kangen Ibu, banyak yang ingin Dimas ceritakkan sama Ibu. Ibu, Dimas yakin Ibu pasti pulang.

Hari sudah berganti minggu, dan setiap harinya aku selalu datang ke bandara ini untuk melihat dan memastikan apakah Ibu sudah tiba.

Hari itu hujan sangat deras, sudah berhari-hari aku hanya makan makanan sisa di dekat bandara. Dari jauh aku mendengar suara adzan, aku bergegas lari untuk shalat, bajuku hanya satu dan itu-pun sudah kusut dan kusam tapi aku takkan pernah meninggalkan ibadah.

Aku mungkin tak kaya akan harta, ilmuku masih rendah dan aku tak memiliki siapapun, tak ada satu orangpun yang mau menerimaku, tak ada satu manusia-pun yang menganggapku baik. Tapi aku tak berputus asa, aku masih memiliki Tuhan, Tuhan yang satu-satunya selalu ada denganku selalu memelukku selalu menjagaku bahkan saat semua manusia mengusir dan menganggapku hina.

Doa, adalah caraku berdialog dengan sang Maha Pemberi, hanya doa yang selalu aku utarakan setiap detik waktu yang penuh harap "Tuhan, aku merindukkan Ibu."

Setelah aku shalat aku sadar satu hal, aku tak tahu apakah ibuku masih hidup atau sudah tiada. Aku Ikhlas, karena hakikatnya semua hal itu bukan atas nama manusia, tetapi atas nama Allah, semua tak terkecuali adalah milikNya, tak ada satupun yang menjadi hak milikku selain jawaban atas ibadaku.

Waktu terus berjalan, dituduh sebagai pencuri, pencopet bukan hal biasa bagiku. Aku yakin, Ibukku pergi agar aku bisa menjadi pribadi yang kuat. Pribadi yang selalu bersabar dan bersyukur meskipun air matakku selalu membasahi bahkan sampai basah baju ini.

Waktu terus berjalan, empat tahun sudah Ibukku tak kunjung tiba, aku ikhlas ya Allah. Sekarang aku bekerja sebagai pedagang asongan. Mungkin aku takkan pernah lagi menemui Ibuku, tapi aku yakin kasih sayang ibuku akan terus terjaga hingga nanti Tuhan mempertemukan aku dengan Ibuku.

Ibu, di manapun Ibu berada Dimas yakin Ibu terus mendoakan Dimas,

Astagfirullah, kenapa aku malah mengenang kejadian itu lagi. Harusnya aku fokus berjualan, aku harus pergi ke sebrang jalan sana.

Sebelum Dimas sampai ke seberang jalan tiba-tiba dirinya tertabrak oleh mobil bus yang ternyata tidak lain dikendarai oleh Ayahnya sendiri. Dimas remaja hebat yang tak kenal lelah kini ia telah terbaring lemah bersimbah darah, perjuangannya menanti Ibunda nampaknya terhenti sampai saat itu. 

Allah sangat menyayangimu Dimas, sekarang saatnya kau beristirahat dan damai di sana .

Saat kejadian itu, Ayah Dimas ditetapkan sebagai tersangka tunggal karena kelalaian dalam mengemudi yang menyebabkan korban meninggal dunia dan akhirnya mendekam dipenjara.

Keluarga adalah harta terindah, anak adalah perhiasan dari harta terindah di dunia. Tak ada satu pun yang menginginkan harta atau perhiasannya diambil. Maka, jaga dan bersyukurlah sebab dunia itu sesaat dan kesesaatan itulah penentu kelak dikeabadian.

Selesai.........................................................................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun