"Dimas gak mau bu, Dimas mau sama Ibu, Ibu jangan tinggalin Dimas Dimas mohon, Ibuuuuuuuuuu..."
"Ibu janji nanti ibu jemput kamu, nanti ibu bakalan sekolahin kamu dan kuliahin kamu, kamu baik-baik ya disini nak."
."Ibuuuuuuu... jangan tinggalin Dimasbawa Dimas buuuuu... Dimas mohon."
Saat itu, adalah saat terakhir aku melihat Ibuku, seminggu setelah Ibu pergi menjadi Tenaga Kerja ke luar Negeri, Ayahku mengusirku dari rumah, dengan alasan aku ini hanya menambah beban. Aku pun pergi, dengan hati gundah dan tak tentu arah aku berjalan. Aku tak tahu harus apa, harus kemana dan bagaimana hidupku sekarang. Saat teman seusiaku melanjutkan sekolah ke SMA aku hanya bisa termenung sendiri. Saat itu aku coba untuk menumpang di rumah Bibiku dia adalah adik dari Ibuku, dua bulan aku menetap di sana. Namun, lama-lama rupanya Bibi bosan mengurusku dan menyuruhku untuk mencoba merantau mencari uang agar tidak menyusahkannya.
Aku diusir oleh ayahku, sekarang aku diusir juga oleh Bibiku, Ya Allah aku tahu kau sayang padaku, aku tahu kau sedang menyapaku dengan kasih sayangmu. Tak ada jalan lain selain aku harus pergi jauh dari sini. Ampuni hamba Ya Allah hamba menangis bukan karena hamba mendustakkan semua karuniamu, hamba menangis sebab hamba manusia yang terdzalimi.
Aku tersungkur menangis, meratapi setiap jejak langkah yang membawaku semakin jauh dari tempat di mana aku dilahirkan. Yang ada dalam benakku adalah menanti Ibu dan menjemputnya di bandara.
Hidupku semakin terlunta, tak tentu arah hingga akhirnya aku bertemu Bang Agung.
"Heh bocah, kulihat dari kemarin kau hanya merenung menangis sendiri di trotoar jalan, kau pengemis baru di sini ?"
"Bukan Bang, aku bukan pengemis Bang, aku hanya numpang duduk dan istirahat."
"Halah kau ini, kau asalnya dari mana? Kau pasti bukan orang sini?"
"Ia Bang saya perantauan."