Tingginya kasus perceraian di tanah air selama lima tahun terakhir sebagaimana dipaparkan di atas tentu menimbulkan dampak yang kurang bagus terhadap keberlangsungan kehidupan rumah tangga, terutama terhadap kaum perempuan dan anak. Fakta menunjukkan bahwa perceraian khususnya cerai gugat tidak mudah dilakukan dengan capaian keadilan bagi perempuan. Berkenaan dengan akibat hukum perceraian telah diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian antara lain;
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Sedangkan dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan suami/isteri telah memuat ketentuan imperatif bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib;
- Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhul.
- Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
- Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila qabla ad dukhul.
- Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Apabila dicermati dari kedua ketentuan tersebut terdapat perbedaan. Dalam Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik untuk perkara cerai talak maupun cerai gugat, sedangkan Pasal 149 KHI hanya mengatur tentang akibat hukum perceraian yang diajukan oleh suami (cerai talak) saja. Berdasarkan ketentuan Pasal 149 KHI bahwa dalam perkara cerai gugat pada umumnya hakim tidak menghukum suami untuk memberikan mut'ah dan nafkah iddah.
Tidak mengherankan, jika sampai saat ini masih belum banyak putusan Cerai gugat yang belum menyertakan amar putusan yang berusaha memberikan hukuman kepada tergugat untuk memberikan nafkah mut'ah dan iddah kepada Pengggugat dengan beberapa alasan dan pertimbangan, antara lain;
- Gugatan penggugat tidak menyebutkan petitum yang menuntut tergugat memberikan nafkah mut'ah iddah kepada Pengggugat.
- Gugatan penggugat tidak menyebutkan petitum yang menetapkan penggugat sebagai pemegang hak asuh anak dan tidak juga menuntut tergugat memberikan nafkah anak kepada Penggugat.
- Selama pemeriksaan perkara, sebagian besar tergugat tidak pernah datang ke persidangan, sehingga perkara diputus secara verstek.
Dari paparan di atas, perlu dilakukan tela'ah dan kajian secara lebih mendalam dan terarah guna memberikan perlindungan hukum dan memenuhi hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tahun 2018 Mahkamah Agung telah memberikan pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan melalui SEMA No.3 tahun 2018. Salah satu rumusannya terdapat pada huruf A Angka 3 Rumusan Hukum Kamar Agama yang isinya sebagai berikut;
"Mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, maka isteri dalam perkara Cerai Gugat dapat diberikanmut;ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz."
Untuk memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian diperlukan upaya serius dengan pendekatan sebagai berikut;
- Secara internal, dengan cara menyediakan format/blanko standar gugatan Cerai Gugat yang di dalamnya terdapat dan posita dan petitum yang meminta ditetapkannya penggugat sebagai pemegang hak asuh anak serta menghukum pihak suami (tergugat) memenuhi kewajibannya memberikan mut'ah, nafkah iddah dan nafkah anak kepada isteri (Penggugat) sebelum pengambilan akta cerai.
- Â Secara eksternal dengan membuat sebuah Sistem Interkoneksi pelaksanaan putusan pengadilan, yakni sebuah sistem yang dibuat dengan tujuan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraiandengan melibatkan lembaga non yudikatif secara terintegrasi sesuai kewenangan masing-masing tanpa melalui proses permohonan eksekusi.
Hak-Hak Perempuan Dalam Perkawinan
Perempuan sebagai manusia didalam perkawinan, juga mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh hukum teutama Hukum Keluarga Islam sehingga didalam perkawinan tujuan utama dari perkawinan dapat terpenuhi dengan sempurna, yaitu terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah dan penuh rahmat, hak-hak perepmpuan diatas meliputi :
- Hak Dalam Memilih Pasangan.
      Terdapat beberapa pandangan yang menyatakan bahwa disamping manusia diciptakan Allah mempunyai bentuk yang sebaik-baiknya, mempunyai tugas untuk beribadah kepada Allah, berusaha untuk mencari ilmu dan sebagainya, manusia diberi pula hak memilih untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan dirinya cita-cita dan agamanya, sehingga dengan demikian diharapkan ia akan mencapai tujuan hidupnya, bahagia dunia dan akhirat.
- Hak Mendapatkan Maskawin (Mahar).