Mohon tunggu...
Yurika Simanjuntak
Yurika Simanjuntak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan Kader Klinik Etik dan Advokasi Tahun 2023

saya adalah mahasiswi fakultas hukum yang masih menempuh pendidikan hukum di universitas mulawarman, saya sangat menyukai membaca dan saya ingin sekali menjadi penulis sejak saya kecil, dan pengambilan keputasan yang selalu saya ambil berdasarkan bentuk nyata dan data, saya juga mahir dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan saya, berkomunikasi dengan baik terhadap lingkungan dan saya sangat mempunyai motivasi yang sangat tinggi dan saya memiliki kepribadian yang perfectsionis, maka dari itu saya sangat berhati-hati dalam bertindak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Pengadilan Agama dalam Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak

2 Oktober 2023   12:45 Diperbarui: 2 Oktober 2023   12:59 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebijakan Peradilan Agama dalam Mengupayakan Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak

Peradilan agama adalah sistem peradilan yang berfokus pada penyelesaian sengketa hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah agama, khususnya dalam konteks hukum keluarga dan perkawinan. Sistem peradilan agama biasanya ada dalam negara-negara yang memiliki populasi yang mayoritas beragama Islam, meskipun ada juga sistem peradilan agama dalam konteks agama lain, seperti Kristen dan Yahudi. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung sejalan dengan tiga lingkungan peradilan lain, yaitu peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kewenangan absolut Peradilan Agama tercantum dalam Pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Kewenangan Peradilan Agama mencakup sengketa di antara orang-orang beragama Islam dalam bidang: a) perkawinan; b) waris; c) wasiat; d) hibah; e) wakaf; f) zakat; g) infaq; h) shadaqah; dan i) ekonomi syariah. Sistem peradilan agama dapat beroperasi secara paralel dengan sistem peradilan sipil atau peradilan umum dalam suatu negara. Keputusan pengadilan agama dapat memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan keluarga dan masyarakat, terutama dalam komunitas yang menganut keyakinan agama yang kuat. Namun, dalam banyak kasus, keputusan pengadilan agama dapat diuji ulang atau dilengkapi dengan proses hukum sipil untuk memastikan keadilan dan kepatuhan terhadap hukum negara yang lebih luas.

Peradilan Agama dalam kurun waktu satu dekade terakhir (sejak tahun 2005) atau sejak diterapkannya sistem peradilan satu atap (one roof system of judiciary), telah melakukan berbagai pembenahan dalam administrasi peradilan untuk mendukung upaya pembaruan peradilan yang berlandaskan pada asas transparansi dan aksesibilitas bagi seluruh lapisan masyarakat pencari keadilan (the justice seeker). 

Peradilan Agama berupaya mereformasi beberapa sub-sistem dalam sistem peradilan yang selama ini dianggap belum mencerminkan pemerataan akses bagi pencari keadilan serta perlindungan atau keberpihakan terhadap hak-hak serta akses hukum kaum perempuan, anak, dan kaum lemah ekonomi (the poor). Peradilan Agama memiliki perhatian khusus pada upaya pemberdayaan kaum perempuan yang dalam keluarga sering kali dipersepsi sebagai pihak yang inferior dan berada di bawah dominasi kaum laki-laki. Ade Irma Sakina dan Dessy Hasanah dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa budaya patriarki masih langgeng berkembang di tatanan masyarakat Indonesia.

Budaya patriarki ini terwujud dalam berbagai aspek dan ruang lingkup kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga hukum sekalipun. Implikasi dari budaya seperti demikian adalah munculnya berbagai masalah sosial yang membelenggu kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan, secara normatif, terlihat dari penormaan mengenai cara mengajukan gugatan perceraian, baik oleh pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Ketentuan mengenai pengajuan gugatan cerai di Peradilan Agama (baik cerai gugat maupun cerai talak) menunjukkan adanya responsivitas gender.

Ketentuan hukum demikian memberi kemudahan bagi kaum perempuan untuk merespons gugatan perceraian karena persidangan dilaksanakan di Pengadilan yang meliputi kediamannya. Seorang perempuan (istri) yang disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga tidak seharusnya direpotkan dengan kewajiban menghadiri sidang di Pengadilan yang lokasinya jauh dari tempat tinggalnya. Jika ini terjadi, maka hukum telah membebani perempuan dengan beban tambahan yang seharusnya tidak perlu dipikul. Sebenarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991) telah memberi perlindungan pada perempuan dengan memperbolehkan kumulasi perkara perceraian dengan gugatan harta bersama dan hadhanah, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberikan kewenangan pada hakim untuk menetapkan akibat cerai yang harus dipenuhi oleh suami dengan ada atau tidaknya tuntutan dari perempuan, begitu juga dengan nafkah apabila jelas-jelas anak tersebut ikut ibunya.

Contohnya Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah diatur secara khusus tentang akibat cerai sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Pasal 8 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 dimana suami wajib menafkahi mantan istrinya sebesar dari gajinya jika tidak punya anak, 1/3 dari gaji jika punya anak sampai istri tersebut menikah lagi dan 1/3 lagi untuk anak sampai anaknya dewasa. Namun ketentuan ini tidak terealisir sebagaimana mestinya karena faktor keengganan bendaharawan gaji memotong langsung gaji suami setiap bulannya. Keengganan ini disebabkan karena bendaharawan di instansi menganggap bahwa tidak ada hubungan structural antara Pengadilan dengan instansinya sehingga mereka berpandangan bahwa Pengadilan tidak dapat secara langsung memerintahkan bendaharawan untuk memotong langsung gaji yang bersangkutan tanpa adanya instruksi atau petunjuk dari atasannya.

Kemudian dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, pada huruf C angka (1) disebutkan bahwa: Dalam rangka pelaksanaan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca-perceraian, maka pembayaran kewajiban akibat perceraian, khususnya nafkah iddah, mut'ah, dan nafkah madliyah, dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum pengucapan ikrar talak. 

Ikrar talak dapat dilaksanakan bila istri tidak keberatan atas suami tidak membayar kewajiban tersebut pada saat itu. Peradilan Agama telah memberikan upaya nyata terhadap keberpihakannya pada perempuan dan anak dengan melaksanakan regulasi tersebut, sehingga dapat menghapus segala bentuk diskriminasi dan disfungsi hukum terhadap penegakkan hak-hak hukum kaum perempuan yang berhadapan dengan hukum. Meskipun demikian, ternyata masih terdapat beberapa kendala sehingga instrumen-instrumen yang ada belum mendukung eksekusi dari akibat cerai tersebut, berbeda di negara Yordania, Malaysia, dan Australia.

cara yang tepat dan efektif dalam pelaksanaan eksekusi putusan yang didalamnya terdapat kewajiban memberikan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian

Tingginya kasus perceraian di tanah air selama lima tahun terakhir sebagaimana dipaparkan di atas tentu menimbulkan dampak yang kurang bagus terhadap keberlangsungan kehidupan rumah tangga, terutama terhadap kaum perempuan dan anak. Fakta menunjukkan bahwa perceraian khususnya cerai gugat tidak mudah dilakukan dengan capaian keadilan bagi perempuan. Berkenaan dengan akibat hukum perceraian telah diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian antara lain;

  • Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
  • Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
  • Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Sedangkan dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan suami/isteri telah memuat ketentuan imperatif bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib;

  • Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhul.
  • Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
  • Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila qabla ad dukhul.
  • Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Apabila dicermati dari kedua ketentuan tersebut terdapat perbedaan. Dalam Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik untuk perkara cerai talak maupun cerai gugat, sedangkan Pasal 149 KHI hanya mengatur tentang akibat hukum perceraian yang diajukan oleh suami (cerai talak) saja. Berdasarkan ketentuan Pasal 149 KHI bahwa dalam perkara cerai gugat pada umumnya hakim tidak menghukum suami untuk memberikan mut'ah dan nafkah iddah.

Tidak mengherankan, jika sampai saat ini masih belum banyak putusan Cerai gugat yang belum menyertakan amar putusan yang berusaha memberikan hukuman kepada tergugat untuk memberikan nafkah mut'ah dan iddah kepada Pengggugat dengan beberapa alasan dan pertimbangan, antara lain;

  • Gugatan penggugat tidak menyebutkan petitum yang menuntut tergugat memberikan nafkah mut'ah iddah kepada Pengggugat.
  • Gugatan penggugat tidak menyebutkan petitum yang menetapkan penggugat sebagai pemegang hak asuh anak dan tidak juga menuntut tergugat memberikan nafkah anak kepada Penggugat.
  • Selama pemeriksaan perkara, sebagian besar tergugat tidak pernah datang ke persidangan, sehingga perkara diputus secara verstek.

Dari paparan di atas, perlu dilakukan tela'ah dan kajian secara lebih mendalam dan terarah guna memberikan perlindungan hukum dan memenuhi hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada tahun 2018 Mahkamah Agung telah memberikan pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan melalui SEMA No.3 tahun 2018. Salah satu rumusannya terdapat pada huruf A Angka 3 Rumusan Hukum Kamar Agama yang isinya sebagai berikut;

"Mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, maka isteri dalam perkara Cerai Gugat dapat diberikanmut;ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz."

Untuk memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian diperlukan upaya serius dengan pendekatan sebagai berikut;

  • Secara internal, dengan cara menyediakan format/blanko standar gugatan Cerai Gugat yang di dalamnya terdapat dan posita dan petitum yang meminta ditetapkannya penggugat sebagai pemegang hak asuh anak serta menghukum pihak suami (tergugat) memenuhi kewajibannya memberikan mut'ah, nafkah iddah dan nafkah anak kepada isteri (Penggugat) sebelum pengambilan akta cerai.
  •  Secara eksternal dengan membuat sebuah Sistem Interkoneksi pelaksanaan putusan pengadilan, yakni sebuah sistem yang dibuat dengan tujuan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraiandengan melibatkan lembaga non yudikatif secara terintegrasi sesuai kewenangan masing-masing tanpa melalui proses permohonan eksekusi.

Hak-Hak Perempuan Dalam Perkawinan

Perempuan sebagai manusia didalam perkawinan, juga mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh hukum teutama Hukum Keluarga Islam sehingga didalam perkawinan tujuan utama dari perkawinan dapat terpenuhi dengan sempurna, yaitu terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah dan penuh rahmat, hak-hak perepmpuan diatas meliputi :

  • Hak Dalam Memilih Pasangan.

            Terdapat beberapa pandangan yang menyatakan bahwa disamping manusia diciptakan Allah mempunyai bentuk yang sebaik-baiknya, mempunyai tugas untuk beribadah kepada Allah, berusaha untuk mencari ilmu dan sebagainya, manusia diberi pula hak memilih untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan dirinya cita-cita dan agamanya, sehingga dengan demikian diharapkan ia akan mencapai tujuan hidupnya, bahagia dunia dan akhirat.

  • Hak Mendapatkan Maskawin (Mahar).

Konsep tentang maskawin/mahar adalah menjadi bagian yang essensial dalam pernikahan. Tanpa maskawin/mahar tidak dinyatakan telah melaksanakan pernikahan dengan benar. Maskawin/mahar adalah menjadi hak eksklusif perempuan. Perempuan berhak menentukan jumlahnya dan menjadi harta pribadinya. Disisi lain al-Quran memerintahkan kepada laki-laki yang akan menikahi perempuan dengan memberi maskawin/mahar, karena memperoleh keuntungan. Al-Qur'an menjelaskan dalam surat An-Nisa' ayat 24 sebagai berikut : "Dan(diharamkan juga kalian mengawini) perempuan yang bersuami kecuali budak-budak yang kalian miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian (yaitu) mencari istri dengan harta kalian untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang bagi kalian telah merelakannya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".

  • Hak Dalam Memberikan Nafkah.

            Al Qur'an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk memberi nafkah kepada istrinya, meskipun istri mempunyai kekayaan dan pendapatan. Istri tidak diwajibkan memberi suaminya apa yang didapatkan atas jerihnya sendiri.

            Adapun sebab wajib nafkah atas suami kepada istri adalah, karena dengan selesainya akad yang sah, wanita menjadi terikat dengan  hak suaminya, yaitu untuk menyenangkan nya, wajib taat kepadanya, harus tetap tinggal dirumah untuk mengurusi rumah tangganya mengasuh anak-anaknya dan mendidiknya, maka sebagai imbalan yang demikian Islam mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah kepada istrinya.

  •  Hak Dalam Poligami.

Salah satu persoalan fikih munakahat yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi ramai dan pelik adalah masalah poligami. Pelik terutama bagi perempuan. Islam sendiri "gara-gara" pesan tekstual tentang pembolehan poligami pembolehan poligami dalam al-Qur'an, kerap dikecam sebagai anti demokrasi dan HAM dalam kehidupan suami-istri karena poligami dilihat sebagai salah satu bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan.

            Perceraian diperbolehkan dalam Islam karena pernikahan dianggap sebagai sebuah kontrak, yang dapat diputuskan baik karena kehendak keduanya atau karena kehendak salah satu pihaknya. Bertentangan dengan kepercayaan umum, Islam juga memperbolehkan perempuan mempunyai hak cerai. 

Seorang perempuan dapat membatalkan pernikahannya dalam bentuk perceraian yang dikenal dengan khulu'. Walaupu Islam membolehkan, tapi ketentuan ini nampaknya ambigu. Talak dan umumnya putusan perkawinan walaupun dihalalkan, tetapi merupakan hal yang tidak disukai oleh Allah. Sebagai ajaran moral ilahiyyah, Islam sangat tidak menyukai peceraian. Secara moral, perceraian adalah sebuah pengingkaran. Akan tetapi, sadar bahwa tidak mungkin perceraian sama sekali dihindari dalam kehidupan yang nisbi ini, maka dengan penuh penyesalan, demi alasan yang sangat khusus, Islamun terpaksa menerima kemungkinan tejadinya. Ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW yang penuh ambiguitas.

Hak Anak Akibat Perceraian Kedua Orang Tua:

  • Setiap anak berhak mendapat pemeliharaan, pendidikan, kesehatan, rumah dan lingkungan tempat tinggal yang baik lahir dan batin termasuk mendapatkan curahan kasih sayang.
  • Semua biaya kehidupan anak menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya.
  • Hak untuk bertemu ayah dan ibunya bagi setiap anak pasca perceraian ayah dan ibunya.

DAFTAR PUSTAKA

Istilah women headed diperkenalkan oleh Julia Cleves yang berarti memikul tanggung jawab tunggal menghidupi keluarganya. Lihat Ernawati, Menyibak Perempuan Kepala Keluarga, MUWZH, Volume 5, Nomor 2, Desember 2013, hlm. 156

https://www.hukumonline.com/berita/a/amran-suadi-gagas-sistem-interkoneksi--solusi-pelaksanaan-putusan-perceraian-lt622f14fa76f93/.

Zusiana Elly Triantini, Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan (Studi Komparatif Pemikiran An-Nawawi Al-Bantani dan Masdar Farid Mas'udi), 2012. Hlm 29-31.

[1] Dr. Hj. Istibsyaroh, S.H., M.A. Hak-Hak Perempuan (Relasi Jender Menurut

Heniyatun, Heniyatun, Puji Sulistyaningsih, and Siti Anisah. "PEMBERIAN MUT'AH DAN NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA CERAI GUGAT." Profetika: Jurnal Studi Islam 21, no. 1 (July 21, 2020): 39--59.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun