Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tersedia Rp 695,2 Triliun, Mengapa Ekonomi Anjlok -5,32%?

11 Agustus 2020   18:51 Diperbarui: 11 Agustus 2020   20:02 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via economy.okezone.com

Apa yang selama ini dikuatirkan benar-benar menjadi kenyataan kini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 anjlok sangat dalam, yaitu 5,32%. Angka yang  meluncur dan melewati prediksi dari banyak pihak. Apalagi euforia ekonomi kuartal I yang masih bertumbuh positif di angka 2,97%, seakan menumbuhkan harapan bahwa di kuartal kedua pun tidak sejauh kenyataan saat ini.

Dan bagai mimpi di siang bolong, pengumuman dari Kepala BPS pada tanggal 3 Agustus 2020 yang lalu tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkontraksi sangat serius, mengubah pola pikir semua pihak melihat kenyataan pahit yang sedang mendera republik ini hanya dalam waktu singkat sejak virus corona mengganas di seluruh wilayah negeri ini.

Adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang sejak awal selalu memberikan angka prediksi yang sangat spektakuler, juga terheran-heran dengan anjloknya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode April sampai Juni 2020. Baik Bank Indonesia, maupun Menteri Keuangan hanya menduga defisit ini di sekitar angka 4% saja. 

Padahal Presiden Jokowi sudah menyediakan dana yang tidak sedikit, 695,2 trilun rupiah dalam sejumlah paket stimulus ekonomi untuk menahan laju pertumbuhan ekonomi yang negatif. Lalu, mengapa dan di bagian mana masalahnya?  Betulkah ini jawaban tentang "kemarahan" Jokowi kepada seluruh pembantu-pembantunya pada tanggal 18 Juni 2020 yang lalu?

Baru 21% dari Rp 695,2 T

Ternyata, ini bukan masalah tidak ada uang untuk melawan virus corona ini dan menghadang defisit pertumbuhan ekonomi. Bahkan anggaran yang tersedia "berlimpah ruah". Tetapi, tidak mampu terserap oleh berbagai program stimulus yang sudah direncanakan secara komprehensif dan merata untuk seluruh wilayah.

Harian Umum Kompas tanggal 10 Agustus 2020, menurunkan berita utama dengan judul "Jaga Komitmen Baru Pemulihan" yang mengutip penjelasan dari Ketua Satgas Covid-19 dan PEN, Menteri BUMN Erick Thohir yang menjelaskan realisasi pelaksanaan program stimulus yang sudah digelontorkan oleh pemerintah.

Erick Thohir menjelaskan bahwa dari Rp 695,2 triliun budget yang sudah disediakan, hanya terealisisir sebesar Rp 146,41 triliun. Atau setara dengan 21% dari total dana yang sudah tersedia. 

Bila data ini benar, maka pantaslah Presiden Jokowi "mengamuk" kepada para Menteri yang tidak mampu menyerap anggaran yang sudah disediakan dan akibatnya pertumbuhan ekonomi meluncur bebas dan anjlok sangat dalam di angka 5,32% kuartal II.

Erick Thohir menjabarkan capaian pelaksanaan anggaran  dari 5 komponen utama, yaitu :

  • Realisasi pemulihan kesehatan hanya Rp 6,3 triliun dari Rp 87,55 triliun
  • Realisasi perlindungan sosial hanya Rp 85,3 triliun dari Rp 203,9 triliun
  • Realisasi sektor UMKM hanya Rp 31,21 triliun dari 123,47 triliun yang disediakan
  • Realisasi bidang Pemda hanya Rp 7,4 triliun dari Rp 106,05 triliun
  • Realisasi insentif dunia usaha hanya Rp 16,2 triliun dari Rp 120,6 triliun

Realisasi anggaran yang hanya 21 % menjelaskan ambruknya pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi masyarakat harus menerapkan protokol kesehatan secara ketat, yang menjadi penghambat dinamika dan geliat serta pertumbuhan ekonomi. Pada sisi lain ketika kegiatan ekonomi dibuka akan menjadi pintu berbahaya semakin mengganasnya penyebaran virus corona di seluruh wilayah negeri ini.

Inilah Hambatannya!

Mungkinkah pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih baik dan arahnya positif apabila seluruh anggaran yang sudah disediakan dapat diserap secara signifikan? Kalau pun tetap anjlok, mungkin angkanya tidak sampai di angka -5,32% ini?

Nampaknya, tidak mudah menghitungnya. Karena sesungguhnya yang digempur habis-habisan oleh dampak virus corona ini adalah sistem perekonomian dari sisi pelakunya yaitu manusia. Dan manusia lebih mementingkan kesehatan ketimbang yang lain. Kalau sehat maka yang lain akan mudah mengerjakannya. Sebaliknya, bila kesehatan terganggu maka segala yang lain menjadi tiada berguna.

Paling tidak, 3 hal inilah yang menjadi hambatan mendasar mengapa akhirnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ambruk kuartal kedua pada angka merisaukan diatas -5%, yaitu :

1. Protokol kesehatan mendorong mendorong dan memaksa setiap orang untuk mengurangi aktifitasnya. Lebih baik di rumah saja. Bila tidak sangat terpaksa jangan keluar rumah. 

Inilah sumber utamanya, karena berdampak langsung pada aktifitas ekonomi. Teori pembangunan klasik menjelaskan bahwa mobilisasi manusia itu indikator dasar kemajuan suatu negara. Bila hanya di rumah saja, maka menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena aktifitas setiap orang yang dilakukan sepanjang hari di luar rumah, semuanya menjadi alasan adanya kebutuhan dan penyediaan barang dan jasa dalam segala lini.

Saat setiap orang berada di rumah maka sama saja menghentikan dan mematikan secara mendadak dan tragis semua sektor usaha yang terkait dengan itu. Mulai dari kebutuhan convience hingga kebutuhan mendasar dan jangka panjang.

2. Berapapun stimulus dana yang digelontorkan kepada masyarakat, maka trickle down effeck-nya menjadi sangat kecil. Tidak bisa mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi dan bisnis lainnya. 

Ibaratnya, orang diberikan sejumlah dana, semacam Bansos dan atau BLT, maka dana itu tidak mampu bergulir lebih panjang karena banyak mata rantai yang putus, mati dan terhenti.  Apalagi kalau realisasi stimulus itu baru sekitar 21 % menjadi sangat tidak berarti untuk mendorong pertumbuhan ekonomi itu.

Ini dapat dilihat dari berbagai indikator bisnis dan ekonomi yang ada. Misalnya bisnis ritel sejak kuartal II anjlok sangat besar bahkan di atas 15%. Padahal ini sektor yang sangat dinamis karena terkait langsung dengan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang jumlahnya sangat besar dengan populasi 270-an juta orang.

3. Ketidaksiapan sektor suplai atau dunia usaha untuk mengubah model bisnis mereka dalam waktu singkat. Terutama implementasi bisnis berbasis aplikasi teknologi internet. Sedemikian rupa, menjadi penyebab banyak perusahaan mengurangi volume kegiatannya dan pada akhirnya berdampak pada meningkatnya pengangguran di hampir semua sektor dunia usaha dan industri.

Kuartal II Menjadi Pertarungan

Kuartal III 2020 menjadi pertarungan yang sangat menentukan bagi Indonesia. Karena bila kuartal ketiga ini pertumbuhan ekonomi di bawah nol, artinya anjlok dan negatif maka Indonesia termasuk memasuki resesi. Sebagai salah syarat teknis sebuah negara mengalami resesi ekonomi bila berturut-turut dua kuatal defisit pertumbuhan ekonominya. Dengan anjlok -5,32% maka para analis sangat kuat memperkirakan kalau Indonesia akan memasuki resesi pada bulan Oktober 2020. Dan nampaknya pihak pemerintah memberikan signal tentang ini, yang bisa dicermati dari perubahan kebijakan penangan Covid-19 dan PEN yang dijelaskan oleh Ketua Satgasnya Erick Thohir seperti diberitakan oleh Harian Umum Kompas pada 10 Augustus 2020.

Laju pertumbuhan kasus positif virus corona yang terus menancap ke langit, serta total kasus yang sudah  berada di atas 128.776 per hari ini 11 Augustus 2020, serta tekanan dari masyarakat dan dunia internasional agar Indonesia fokus pada pekesehatan ketimbang ekonomi juga menjadi indikasi kinerja ekonomi pada kuartal ke tiga.

Masih tersedia 1,5 bulan hingga akhir September mengakhiri kuartal III ini, harusnya optimisme melawan dan menurunkan laju kasus Covid-19 dengan penuh komitmen dari seluruh masyarakat menerapkan protokol kesehatan secara ketat, sambil terus berakitifitas ekonomi secara maksimal menjadi keprithatinan dari semua pihak.

Pembukaan kegiatan ekonomi sejak minggu kedua Juli 2020, serta kendornya pelaksanaan protokol kesehatan, telah membuktikan laju pertumbuhan covid-19 menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi. Dan karenanya bukan lagi mana tarik menaraik, tetapi pilihan yaitu utamakan kesehatan baru ekonomi, dan bukan ekonomi dulu baru kesehatan, dan juga bukan seakan berjalan secara bersama.

Inipun semua pihak maklum dengan seksama, tetapi implementasinya menjadi masalah lain. Karena lain yang ada di pikiran dan di mulut dengan yang dilakukan. Indikator yang terus muncul setiap hari, menjadi sangat mengkuatirkan karena virus ini menjadi momok bagi masyarakat.

Yupiter Gulo, 11 Augustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun