Sikap kuatir dan pesimis tentang ekonomi dunia masih sangat kencang, bahkan hingga kini, Bank Dunia masih memprediksi ekonomi global tahun 2020 akan memasuki resesi yang "menakutkan".
Pertumbuhan ekonomi dunia pada kuartal I tahun 2020 nyaris terjun bebas pada level negatif alias minus. Tetapi, Indonesia patut bersyukur karena tetap bertumbuh positif sebesar 2,97% dan merupakan yang sesuatu "banget".
Sebagai akibat dahsyat dari wabah virus corona, estimasi dari Bank Dunia untuk tahun 2020, perekonomian global akan mengalami resesi terburuk sejak perang dunia. Angka negatif 5,2% sebagai indikator PDB ekonomi dunia yang terus berkontraksi, dan melemahkan aktivitas perekonomian se jagad raya. (kompas.com)
Bank Duni juga memprediksi bahwa resesi ini akan didorong oleh pertumbuhan ekonomi kelompok negara maju yang akan menurun hingga angka 7% selama tahun 2020, sebagai konsekuensi dari terganggunya  sisi demand, wilayah supplay, bahkan sektor jasa financial market yang biasanya menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi global.
Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi kelompok negara berkembang? Nampaknya, sama saja dengan yang dialami negara maju. Karena wabah Covid-19 merata dialami oleh lebih 200-an negara di dunia ini, maka dampak pertumbuhan ekonominya juga hampir negative semua.
Lagi-lagi Bank Dunia memprediksi pada angka 2,5% sebagai koreksi pertumbuhan perekonomian di negara-negara berkembang. Artinya, "minus 2,5%" pertumbuhan ekonomi, tentu bukan berita baik, dan sangat mungkin bisa lebih buruk lagi situasinya apabila setiap negara berkembang tidak antisipatif dengan keberanian untuk membuat kebijakan maupun strategi "jitu" mempertahankan pertumbuhan eknominya.
Ekonomi Indonesia Bertumbuh 2,97%
Mengejutkan dan tentu saja menggembirakan bahwa kuartal I tahun 2020 pereknomian Indonesia mencetak pertumbuhan sebesar 2,7%. Kendati angka ini jauh lebih rendah pada periode sama pada tahun sebelumnya, yaitu 5,07% kuartal I 2019, tetap saja harus disyukuri karena memang memberikan indikasi positif dalam banyak hal untuk menuntaskan tahun 2020 di tengah bayang-bayang "maut resesi ekonomi dunia".
Menggembirakan oleh karena sejak wabah Covid-19 mendera dan menguasai Indonesia, Menkeu SMI sudah datang dengan sikap pesimis yang sangat menakutkan.Â
Dengan prediksi nilai dolar AS ke Rp 17.500 dan Rp 21.000 serta prediksi pertumbuhan ekonomiu minus 2%, ternyata hingga kini belum terbukti. Ketika rupiah semakin perkasa terhadap dolar AS, dan sekarang pertumbuhan ekonomi positif yang nyaris 3% untuk kuartal pertama ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan lalu menyatakan, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh sebesar 2,97 persen. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal IV-2019 yang sebesar 4,97 persen, dan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun lalu yang sebesar 5,07 persen. (kompas.com)
Terlepas dari dinamika pertumbuhan kasus positif Covid-19 yang terus menaik hingga saat ini, harus diakui bahwa arah strategi dan kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi terakit perekonomian, sudah berada di jalan yang benar adanya. Sebab, dengan pertumbuhan 2,97% menjadi sinyal yang sangat bagus untuk kuartal II, III dan IV hingga akhir tahun 2020.
Karena sesungguhnya, yang paling berat terjadi di kuartal pertama, karena saat mulai wabah corona ini mendera ekonomi Indonesia dengan sangat luar biasa. Bahkan mengacaukan semua sistem perekonomian, mulai dari sektor UMKM hingga sektor perusahaan berskala besar. Ketika semua orang diharuskan tinggal dirumah, bekerja dari rumah, dan belajar dari rumah.
Bahkan ditengah pro dan kontra berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Jokowi, seperti seakan-akan hanya pro pada kepentingan ekonomi ketimbang nyawa manusia, nampaknya tidak sia-sia dengan pertumbuhan ekonomi yang positif, dibandingkan dengan paling tidak pertumbuhan ekonomi dari 8 negara, karena semuanya mengalami pertumbuhan penurunan bahkan negatif seperti diberitakan oleh kompas.com berikut ini :
- Indonesia 2,97 persen
- Malaysia 0,7 persen
- Thailand -1,8 persen
- China -6,8 persen
- Jepang -2,2 persen
- Jerman -2,2 persen
- Inggris -2 persen
- Singapura -0,7 persen
Faktor Konsumsi Rumah Tangga
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam keadaan sulit seperti saat ini, maka konsumsi rumah tangga menjadi penyanggah kuat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sesuatu yang berbeda dengan negara-negara lain yang kekuatan pertumbuhan ekonomi mereka bukan di konsumsi rumah tangga, tetapi di sektor lain seperti ekport atau sektor jasa lainnya.
Menjadi berkah bagi perekonomian Indonesia, yang populasinya di sekitar 270 juta orang menjadi captive market yang harus dipasok kebutuhan utamanya setiap hari. Hal yang sama terjadi ketika krisis moneter tahun 1998, maka sektor UMKM yang mensuplai kebutuhan rumah tangga dan sangat tidak tergantung pada kegiatan ekspor dan import menjadi katup pengaman perkonomian Indonesia.
Sebagai perbandingan saja, di tahun 2019, pertumbuhan eknomi Indonesia yang menyentuh angka 5,02%, PDB di dominasi oleh konsumsi rumah tangga sebesar 56,85 seperti dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada pertengahan tahun 2019.
Untuk tahun 2019, memang agak signifikan, karena disana ada hajatan besar lima tahunan, yaiitu Pemilihan Umum yang menjadi dinamisator sektor kebutuhan rumah tangga. Namun untuk tahun 2020, ketikan ekspor dan juga import, sektor parawisat, dan lainnya "hancur-hancuran" karena dampak Covid-19, maka sektor Konsumsi Rumah Tangga menjadi penyumbang bagi pertumbuhan ekonomi yang serius.
Kendati sangat berisiko dari sisi kesehatan, kebijakan pemerintah untuk memberlakukan tahapan New Normal Life atau tatanan kehidupan baru, hidup dengan kenormalan baru, patut diapreasiasi. Sebab, kebijakan ini lebih banyak berpihak pada kepentingan pertumbuhan ekonomi ketimbang kesehatan.
Dengan asumsi, selama tiga bulan lebih, harusnya masyarakat sudah memiliki kesadaran dan literasi yang memadai tentang bahaya dari Covid-19. Dengan menerapkan PSBB dan segala protokol kesehatan, maka menjadi bekal untuk mulai menerapkan hidup kenormalan baru.
Memasuki Hidup dengan Kenormmalan Baru
Hari ini, Senin tanggal 15 Juni 2o20, masyarakat Jakarta memasuki hidup dengan kenormalan baru, tatanan kehidupan yang baru. Ditandai dengan ada 80 mall yang ada di DKI akan mulai beroperasi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Tahapan ini disebutkan oleh pemda DKI sebagai PSBB transisi, sebagai cara untuk memasuki secara penuh tahapan kenormalan baru itu. Juga ditandai dengan pemberlakuan office hour dengan dua gelombang di lingkungan DKI Jakarta.
Secara ekonomi harus dimengerti tujuan utama dari kebijakan ini untuk mengawal agar pertumbuhan ekonomi ini tidak seperti yang diramalkan oleh Bank Dunia dengan terminology resesi ekonomi dunia. Dengan 2,97% pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama 2020, menjadi modal dasar bagi Jokowi dan jajarannya untuk menggenjot pertumbuhan ekonimi hingga akhir tahun 2020.
Kendati mungkin agak kesulitas mencapai angka 6% sesuai mimpi awal, tetapi paling tidak bangsa ini mampu bertahan dengan kekuatan dalam negeri yang sesungguhnya sangat luar biasa, dan tidak terseret dengan bayang-bayang pesimistis Bank Dunia dengan resesi yang diprediksinya.
Mencermati kesiapan dari 80 mall yang akan mulai dibuka hari ini, nampaknya akan menjadi acuan yang tegas bagi pembukaan kegiatan ekonomi lainnya. Dan bila ini terus bergulir, nampaknya geliat ekonomi yang akan terjadi akan menjadi pengikat bagi semua publik untuk tetap berjalan dalam koridor protokol kesehatan yang ada.
Sebab, bagaimanapun, tiga bulan lamanya masyarakat WfH, menerapkan social distancing, PSBB, serta sejumlah protokol kesehatan lainnya, telah membentuk sebuah budaya baru, sebutkan saja itu budaya Covid-19. Bahkan ketika vaksin virus corona ditemukanpun, budaya Covid-19 ini akan menjadi kebutuhan masyarakat yang semakin maju.
Momentun membuat perubahan dalam segala aspek ekonomi dan bisnis menjadi tuntutan saat ini. Model bisnis nampaknya harus melakukan perubahan pula. Tidak saja dalam proses produksi, tetapi terutama dalam aspek logistic dan distribusi. Karena masyarakat sudah mulai lebih familiar dengan bertransaksi dengan menggunakan aplikasi.
Bila dicermati apa yang sedang terjadi, maka sebuah kesimpulan sederhana akan muncul, "penerapan revolusi industri 4.0 mendapatkan bentuk dan menjadi konkrit dengan dampak pandemic covid-19".
Manusia semakin disadarkan bahwa kemajuan teknoligi digital dan robootis muncul bukan sebagai ancaman, tetapi untuk membuat hidup manusia menjadi lebih efisien dan efektif. Yang harus dikerjakan sekarang adalah manusia harus berubah secara totak dan holistik. Semakin cepat semakin baik. Sebab Presiden Jokowi pernah mengatakan bangsa yang maju adalah bukan bangsa yang besar tetapi bangsa yang cepat dan cepat !
Yupiter Gulo, 15 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H