Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memiliki Budaya Risiko yang Lemah akan Berujung Maut

25 Februari 2020   00:51 Diperbarui: 25 Februari 2020   01:51 1835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://regional.kompas.com/read/2020/02/24/05100011/sempat-diperingatkan-warga-tak-susur-sungai-pembina-jawab-kalau-mati-di?page=all

Sempat diperingatkan warga tak susur sungai, Pembina Jawab "Kalau Mati di Tangan Tuhan"- Kompas.com

Kutipan diatas merupakan  salah satu judul berita kompas.com tentang rangkaian kisah tragis kecelakaan pada acara susur Sungai Sempor  yang diikuti oleh ratusan siswa di SMPN 1 Turi Sleman, dan merenggut nyawa meninggal dunia sebanyak 10 orang siswa disamping sekitar 23 orang yang mengalami luka-luka.

Sungguh tragis karena sepertinya yang bertanggungjawab terhadap acara yang sangat berbahaya ini, malah menggampangkan dan mengabaikan risiko yang akan terjadi, dan memang benar-benar terjadi, dengan ungkapan salah seorang pembina pramuka itu dengan berkata bahwa "kalau mati di tangan Tuhan". Ungkapan ini direkam dan diungkapkan oleh salah seorang siswa yang selamat bernama Tita, dan bahkan  sempat berjuang untuk menyelamatkan dua orang adek-adek kelasnya, namun tidak kuat menahan deras arus air yang dikabarkan mendadak menerjang para siswa SMP ini.

"Sama warga sudah diingetin. Saya mendengar ada warga yang memperingatkan," kata Tita, seperti dilansir Kompas TV. Namun, lanjut Tita, peringatan tersebut disambut kata-kata tak enak dari pembinanya. "Katanya, 'Enggak apa-apa, kalau mati di tangan Tuhan', kata kakak pembinanya," ujar Tita yang mengaku mendengar langsung jawaban pembinanya tersebut.

Kejadian  kecelakaan yang dialami oleh para siswa SMPN 1 Turi Sleman ini, tentu saja bukan yang pertama. Ada banyak kejadian kecelakaan yang memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebutkan saja sejumlah kecelakaan lalu lintas di jalan raya, begitu banyak korban berjatuhan. Seperti kecelakaan beruntun di km 97 ke arah Bandung pada pertengahan tahun 2019 yang lalu, yang melibatkan puluhan kendaraan dan sejumlah korban jiwa seketika di tempat.

Kejadian risiko tentang kecelakaan yang merenggut nyawa manusia, sesungguhnya bisa diperhitungkan sebelumnya agar tidak memakan korban jiwa. Kalaupun ada korban, dapat di minimalkan jumlah korban. Tentu saja sangat disayangkan sikap pembina pramuka yang tidak mengindahkan peringatan warga masyarakat tentang risiko yang akan dihadapi oleh peserta susur sungai tersebut. Dan dengan sesumbar malah "menantang Tuhan dengan keputusan konyol melakukan susur sungai tanpa pengamanan yang memadai".

Inilah sesungguhnya masalah mendasar dan akut yang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Yaitu rendahnya kesadaran tentang risiko yang akan dihadapi dalam melakukan banyak hal.  Harus diakui, bahwa budaya risiko di negeri ini sangat rendah, bahkan sangat miskin, sehingga setiap terjadi bencana dan kecelakaan, selalu berujung dengan maut, kematian yang sering jumlahnya tidak sedikit.

Pentingnya Budaya Risiko

Sikap terhadap risiko, kemampuan mengelola risiko menjadi salah satu ukuran kemajuan negara, sekelompok masyarakat, bahkan para profesional dalam bidang masing-masing. 

Artinya semakin maju suatu negara maka semakin tinggi kesadaran terhadap risiko, bahkan memiliki budaya risiko yang kuat. Dan sebaliknya negara-negara yang belum maju dan terbelakang, memiliki budaya risiko yang rendah bahkan mengabaikan risiko dalam setiap kegiatan yang dilakukan. 

Itu sebabnya, di negara-negara maju memiliki kesadaran yang tinggi terhadap risiko, sangat sensitif dan patuh terhadap setiap aturan yang sudah ditetapkan, rambu-rambu yang sudah dibuat, dan mereka rela berkorban secara material asalkan jiwa bisa diselamatkan. Hal sebaliknya yang dialami oleh negara-negara yang masih terbelakang.

Sesungguhnya, ini menyangkut kedalaman pemahaman masyarakat tentang pentingnya makna kehidupan yang mendasar, yang semata-mata bukan hanya demi material saja. Karena nyawa manusia jauh lebih utama dan penting ketimbang harta benda. Dan karenanya, seharusnya dalam segala hal, kejadian risiko harus benar-benar diperhitungkan. Paling tidak bisa di antisipasi dengan tindakan-tindakan mitigasi bila terjadi kecelakaan atau kejadian risiko.

Budaya risiko menjelaskan  nilai-nilai, keyakinan, pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang risiko secara bersama-sama oleh kelompok orang dengan memiliki tujuan yang sama dalam mengelola kehidupan yang dimiliki. Pemahaman ini berlaku tidak hanya untuk sebuah organisasi, perusahaan, tetapi juga bagi sebuah negara, sebuah kelompok masyarakat dalam segala aspek.

Artinya pula, bahwa budaya risiko yang merupakan sistem nilai dan perilaku yang harus ada dan dimiliki oleh seluruh organisasi dalam bentuk pengambilan kebijakan dan keputusan terkait dengan risiko yang diidentifikasi akan terjadi dalam dinamika organisasi. Dengan demikian, maka budaya risiko akan mempengaruhi siapapun yang mengelola organisasi dalam mengambil keputusan manajerial dengan menimbang antara manfaat yang akan didapatkan dengan risiko yang akan ditanggung.

Dalam konteks itu, sangat mungkin sebuah kegiatan tidak jadi dilakukan apabila risikonya sangat besar ketimbang manfaatnya. Seperti yang dilakukan oleh program Susur Sungai Sempor di Sleman sana. Apabila si pembuat keputusan, yang bertanggungjawab atas program ini tidak yakin akan risiko yang berat, dia harus memutuskan untuk tidak melakukan kegiatan tersebut. Harusnya dia memiliki informasi dan data yang lengkap tentang situasi yang akan dijalani oleh ratusan siswa yang mengikuti progra,  susur sungai ini. Walaupun acara ini merupakan agenda rutin tahunan, tetapi itu bukan alasan untuk mengabaikan risiko yang akan menimpa para siswa.

Membangun Budaya Risiko

Hidup dan kehidupan memang tidak ada yang bebas dari risiko. Sebab itulah hakekat sebuah kehidupan yang tidak bisa dihindari. Karena hanya orang yang sudah mati yang bebas dari risiko. Setiap langkah bahkan tarikan nafas makhluk hidup selalu diikuti oleh risiko yang akan terjadi, bisa besar atau kecil.

Namun, kejadian risiko itu terjadi dimasa depan dan bukan masa yang lalu. Artinya, sesungguhnya, karena risiko itu terjadi kedepan dan bukan ke belakang, maka risiko itu bisa dihitung, bisa diperkirakan dan karenanya bisa di antisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan inilah hakekat dari manajemen risiko itu sendiri.

Risiko yang bisa di identifikasi merupakan risiko yang bisa diukur, dan karena risiko bisa diukur maka risiko itu bisa dikelola. Sebaliknya yang terjadi, apabila risiko tidak bisa dikenali atau diidentifikasi maka risiko itu tidak bisa diukur, yang pada akhirnya juga tidak bisa dikelola. 

Hidup yang benar, kehidupan yang bertanggungjawab akan diwujudkan dalam kemampuan mengelola risiko itu sendiri. Kalau tidak, maka hidup hanya akan dijalani dalam kekonyolan saja. Dan itu berarti hidup akan menjadi sia-sia tidak ada gunanya.

Membentuk dan membangun budaya risiko dalam diri setiap orang tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab ini menyangkut sistem nilai, mindset, bahkan sikap dan perilaku yang mempribadi dalam diri individual. Oleh karenanya, budaya risiko ini sudah harus mulai dibentuk sejak usia dini, baik di lembaga pendidikan dan lembaga institusi sosial lainnya, dan tentu saja terutama dalam keluarga sendiri. Paling tidak, hidup yang dijalani sungguh-sungguh dengan disiplin yang tinggi.

Ada beberapa tahap yang harus di bangun untuk bisa terbentuk budaya risiko itu, yaitu :

  1. Tahap tahu 
  2. Tahap sadar 
  3. Tahap mampu 
  4. Tahap Mau
  5. Tahap berubah pola pikir dan perilaku
  6. Tahap budaya risiko

Agar budaya risiko terbentuk maka harus dimulai dari tahap awal yaitu setiap orang harus mememiliki pengetahuan tentang setiap risiko itu. Tahap tahu atau mengetahui ini menjadi pondasi dasar untuk sebuah bangunan kebiasaan yang kokoh. Dan untuk itu, agar setiap orang tahu mereka harus diberitahukan, karena mereka tidak akan pernah tahu bila tidak pernah diberitahukan tentang risiko itu. Nah, pada tahap awal inilah penting dan urgensi dari program atau kegiatan sosialisasi.  Harus diakui, banyak kebijakan dan keputusan strategis tidak berhasil dalam implementasi karena gagal melakukan sosialisasi.

Tahap kedua adalah orang akan SADAR, dan memiliki kesadaran tentang risiko yang akan dihadapi setelah mengetahui tentang hal itu. Dalam praktek, banyak orang sudah memiliki pengetahuan tetapi tidak memiliki atau rendah sekali kesadaran akan risiko itu. Cara untuk mendorong munculnya kesadaran risiko, maka setiap orang harus melihat manfaat dan bahaya dari kejadian risiko yang akan terjadi. Unsur manfaat dan bahaya akan menjadi pemicu bagi setiap orang untuk memiliki kesadaran. Apabila bahayanya sampai mengancam jiwanya maka kesadaran itu akan lebih kuat dan tinggi. Begitu juga dengan manfaat, semakin besar manfaat atau keuntungan yang didapatkan dari kejadian risiko itu, maka kesadaran akan semakin kencang juga.

Tahap ketiga disebut sebagai MAMPU. Artinya seseorang memiliki kemampuan untuk menghadapi risiko yang akan terjadi. Tahapan mampu akan muncul setelah seseorang mencapai kesadaran yang signifikan. Memang tidak otomatis setiap orang memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi risiko itu. Untuk itu, yang dilakukan adalah pelatihan atau training tentang cara-cara memitigasi sebuah risiko. Ini latihan yang sistematis dengan kasus-kasus konkrit yang dihadapi setiap saat oleh setiap orang.

Tahap MAU merupakan pintu kritis mengalami perubahan. Karena seseorang yang memiliki kemampuan saja tidak menjamin apakah dia akan mau melakukan tindakan menghadapi risiko yang akan terjadi. Agar seseorang terdorong untuk memiliki kemauan keras melakukannya maka perlu dibuat program penghargaan atau sebaliknya diberikan sanksi bila tidak melakukannya. Ini sudah menyentuh soal kepatuhan untuk melakukan atau tidak mau melakukan sesuatu yang sudah digariskan. Sebaliknya juga, bagi orang-orang yang setia dan loyal melakukannya diberikan reward dan apresiasi atas kepatuhan melakukan sesuatu yang menyelamatkan jiwa orang banyak.

Kalau empat tahpan dasar yaitu TAHU, SADAR, MAMPU dan MAU bisa dijlankan maka dipastikan akan mulai terjadi perubahan Pola Pikir dan Perilaku dalam mengelola risiko. Dan apabila pola pikir dan perilaku itu dilakukan terus menerus, bahkan secara bersama sama dalam kelompok atau komunitas, maka dipastikan budaya risiko akan terbentuk dengan baik. 

Hanya dengan budaya risiko yang kuat maka setiap kejadian risiko, setiap kecelakaan, setiap bencana yang menimpa akan mampu dikelola oleh setiap orang dan setiap kelompok. Tidak menunggu sampai risiko terjadi, apalagi hendak menantang Tuhan segala, tetapi akan dilakukan langkah-langkah mitigasi, mengurangi risiko sehingga korban jiwa bisa dihindari, bahkan kerugian material pun bisa dihindari secara masif.

Memahami Indonesia yang berada dalam ring fire bencana alam, dan juga Indonesia yang merupakan negara kepulauan, serta banyak bencana alam yang muncul, maka membangun budaya risiko yang kuat menjadi tuntutan kebutuhan yang segera harus dimulai dipenuhi agar korban-korban jiwa tidak terus berjatuhan.

"Jika risiko tidak bisa diidentifikasi, maka risiko tidak bisa diukur. Jika risiko tidak bisa diukur, maka kita tidak bisa mengelola risiko"

Yupiter Gulo, 24 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun