Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memiliki Budaya Risiko yang Lemah akan Berujung Maut

25 Februari 2020   00:51 Diperbarui: 25 Februari 2020   01:51 1835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://regional.kompas.com/read/2020/02/24/05100011/sempat-diperingatkan-warga-tak-susur-sungai-pembina-jawab-kalau-mati-di?page=all

Ada beberapa tahap yang harus di bangun untuk bisa terbentuk budaya risiko itu, yaitu :

  1. Tahap tahu 
  2. Tahap sadar 
  3. Tahap mampu 
  4. Tahap Mau
  5. Tahap berubah pola pikir dan perilaku
  6. Tahap budaya risiko

Agar budaya risiko terbentuk maka harus dimulai dari tahap awal yaitu setiap orang harus mememiliki pengetahuan tentang setiap risiko itu. Tahap tahu atau mengetahui ini menjadi pondasi dasar untuk sebuah bangunan kebiasaan yang kokoh. Dan untuk itu, agar setiap orang tahu mereka harus diberitahukan, karena mereka tidak akan pernah tahu bila tidak pernah diberitahukan tentang risiko itu. Nah, pada tahap awal inilah penting dan urgensi dari program atau kegiatan sosialisasi.  Harus diakui, banyak kebijakan dan keputusan strategis tidak berhasil dalam implementasi karena gagal melakukan sosialisasi.

Tahap kedua adalah orang akan SADAR, dan memiliki kesadaran tentang risiko yang akan dihadapi setelah mengetahui tentang hal itu. Dalam praktek, banyak orang sudah memiliki pengetahuan tetapi tidak memiliki atau rendah sekali kesadaran akan risiko itu. Cara untuk mendorong munculnya kesadaran risiko, maka setiap orang harus melihat manfaat dan bahaya dari kejadian risiko yang akan terjadi. Unsur manfaat dan bahaya akan menjadi pemicu bagi setiap orang untuk memiliki kesadaran. Apabila bahayanya sampai mengancam jiwanya maka kesadaran itu akan lebih kuat dan tinggi. Begitu juga dengan manfaat, semakin besar manfaat atau keuntungan yang didapatkan dari kejadian risiko itu, maka kesadaran akan semakin kencang juga.

Tahap ketiga disebut sebagai MAMPU. Artinya seseorang memiliki kemampuan untuk menghadapi risiko yang akan terjadi. Tahapan mampu akan muncul setelah seseorang mencapai kesadaran yang signifikan. Memang tidak otomatis setiap orang memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi risiko itu. Untuk itu, yang dilakukan adalah pelatihan atau training tentang cara-cara memitigasi sebuah risiko. Ini latihan yang sistematis dengan kasus-kasus konkrit yang dihadapi setiap saat oleh setiap orang.

Tahap MAU merupakan pintu kritis mengalami perubahan. Karena seseorang yang memiliki kemampuan saja tidak menjamin apakah dia akan mau melakukan tindakan menghadapi risiko yang akan terjadi. Agar seseorang terdorong untuk memiliki kemauan keras melakukannya maka perlu dibuat program penghargaan atau sebaliknya diberikan sanksi bila tidak melakukannya. Ini sudah menyentuh soal kepatuhan untuk melakukan atau tidak mau melakukan sesuatu yang sudah digariskan. Sebaliknya juga, bagi orang-orang yang setia dan loyal melakukannya diberikan reward dan apresiasi atas kepatuhan melakukan sesuatu yang menyelamatkan jiwa orang banyak.

Kalau empat tahpan dasar yaitu TAHU, SADAR, MAMPU dan MAU bisa dijlankan maka dipastikan akan mulai terjadi perubahan Pola Pikir dan Perilaku dalam mengelola risiko. Dan apabila pola pikir dan perilaku itu dilakukan terus menerus, bahkan secara bersama sama dalam kelompok atau komunitas, maka dipastikan budaya risiko akan terbentuk dengan baik. 

Hanya dengan budaya risiko yang kuat maka setiap kejadian risiko, setiap kecelakaan, setiap bencana yang menimpa akan mampu dikelola oleh setiap orang dan setiap kelompok. Tidak menunggu sampai risiko terjadi, apalagi hendak menantang Tuhan segala, tetapi akan dilakukan langkah-langkah mitigasi, mengurangi risiko sehingga korban jiwa bisa dihindari, bahkan kerugian material pun bisa dihindari secara masif.

Memahami Indonesia yang berada dalam ring fire bencana alam, dan juga Indonesia yang merupakan negara kepulauan, serta banyak bencana alam yang muncul, maka membangun budaya risiko yang kuat menjadi tuntutan kebutuhan yang segera harus dimulai dipenuhi agar korban-korban jiwa tidak terus berjatuhan.

"Jika risiko tidak bisa diidentifikasi, maka risiko tidak bisa diukur. Jika risiko tidak bisa diukur, maka kita tidak bisa mengelola risiko"

Yupiter Gulo, 24 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun