Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Menguji Kekhawatiran Publik tentang Pelemahan KPK

14 Januari 2020   14:38 Diperbarui: 15 Januari 2020   08:47 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempo.co menurunkan pemberitaan dengan judul "Bersekongkol Menyelamatkan Hasto", menulis bahwa kasus OTT Wahyu Setiawan menyeret Hasto sehingga KPK berusaha melakukan penggeledahan dan mungkin juga penyegelan kantor Hasto.

Sepatutnya kita memberi hormat kepada tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dengan gigih berupaya menangkap Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto. Di tengah merosotnya kepercayaan publik kepada KPK, mereka berani melawan berbagai tekanan ketika membongkar kasus dugaan suap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang ikut menyeret Hasto.

Tetapi proses ini gagal karena dianggap tidak memenuhi syarat dan prosedur. Sejumlah petinggi KPK pun tidak menetapkan Hasto sebagai tersangka.

Keadaan ini menjadi indikasi serius terhadap ketidakberdayaan dari Pimpinan KPK untuk menambah jumlah tersangka menjadi 5 orang, yang sebelumnya sudah ditentukan hanya 4 orang. Kendati publik melihat KPK memiliki alat bukti permulaan yang bisa menjerat Hasto sebagai tersangka.

Mengapa menjadi indikasi serius, karena kalau Pimpinan KPK tidak berkutik terhadap satu parpol ini saja, maka dipastikan juga akan menjadi perseden bagi parpol bahkan lembaga-lembaga politik lain yang terlibat dalam praktik korupsi.

Kekhawatiran publik semakin menjadi-jadi terhadap kemampuan dan keberanian Pimpinan KPK di bawah revisi UU KPK yang baru. Terutama kalau menyentuh kasus-kasus besar semacam megakorupsi, baik yang sudah terjadi, maupun yang mungkin akan terjadi.

Sejak awal publik sudah mempersoalkan Ketua KPK baru yang dianggap ada cacat etisnya. Sangat mungkin ini menjadi bumerang sedemikian rupa sehingga tidak berani untuk menyentuh kasus-kasus korupsi besar, yang notabene pada umumnya mendapat backing-an dari petinggi-petingi lembaga semacam parpol.

III. Indeks Korupsi Melorot
Kenyataan pahit harus ditelan oleh Presiden Jokowi. Ketika menutup tahun 2019, indeks korupsi di Indonesia bukan semakin baik, tetapi semakin menurun. Bahkan Indonesia dilewati oleh negeri tetangga seperti Malaysia yang jauh meninggalkan Indonesia.

Ini akan menjadi beban sekaligus juga ujian bagi Jokowi untuk menuntaskan periode keduanya sebagai Presiden, agar indeks korupsi bisa semakin baik.

Selama ini, beliau sudah identik dengan antikorupsi, namun langkah akhir sebelum berakhir periode pertamanya menjadi berbalik. Khususnya ketika pengesahan revisi UU KPK membawa bencana besar bagi republik ini dengan demo berhari-hari bahkan memakan korban jiwa.

Memulihkan kepercayaan masyarakat tentu saja tidak mudah, apalagi dalam waktu singkat. Pun demikian, publik pasti akan lebih smart, dan cermat, karena sangat mungkin kepercayaan kepada Pimpinan negeri ini terhadap pemberantasan korupsi tidak sekencang dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun