I. OTT KPK
Gebrakan Pimpinan KPK di awal tahun 2020 sungguh mengejutkan publik dan mungkin antara percaya atau tidak percaya. KPK melakukan OTT dengan dua kasus dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu OTT Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Saya sendiri sangat mengapresiasi bahkan mengangkat jempol tinggi-tinggi buat Pimpinan KPK, disebabkan dua hal. Pertama, karena baru 20 hari dilantik untuk memimpin lembaga antirasuah yang sangat fenomenal di negeri ini, tetapi sudah mampu melakukan OTT.Â
Kedua, karena publik sudah sangat tidak percaya dan yakin lagi bahwa KPK mampu melakukan OTT. Mengingat adanya organ baru dalam KPK yaitu Dewan Pengawas atau Dewas. Sebab, melakukan OTT kini harus seizin Dewas dahulu.
Publik antusias mengikuti berita OTT yang dilakukan awal tahun ini. Tentu saja kasus OTT komisioner KPU yang dianggap sebagai gunung es berbagai isu dan masalah "permainan" yang selama ini tidak lepas dari aktivitas KPU, mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah.
Masyarakat juga nampaknya sudah pasrah tentang berbagai permainan yang dimaksud, seakan-akan KPU dan utamanya KPUD itu merupakan organisasi powerful yang tidak bisa dikontrol atas semua "permainan" yang selama ini dialami oleh masyarakat saat pemilu diadakan.
Terjaringnya Wahyu Setiawan sebagai Komisioner KPU Pusat dalam OTT, seakan mengonfirmasi tentang berbagai isu permainan di dalam tubuh KPU, ternyata memang nyata adanya.
Hanya saja, selama ini nyaris tidak mudah bagi publik untuk membawa bukti-bukti dari permainan dimaksud, sehingga publik berharap banyak agar kasus Wahyu Setiawan ini menjadi pintu baru untuk membereskan berbagai permainan dalam penyelenggaraan pemilu oleh KPU, agar kepercayaan masyarakat tidak semakin hancur.
II. Benarkah KPK Diperlemah?
Gebrakan dengan OTT sekaligus menegaskan kepada publik bahwa sesungguhnya KPK tidak semakin lemah atau diperlemah fungsi dan perannya dalam pemberantasan dan pencegahan praktik-praktik bejat para koruptor yang merusak negeri ini secara masif, terstruktur, dan sistimatis.
Walaupun ada sejumlah opini pertanyaan dari publik yaitu apakah praktik OTT dua kasus itu benar-benar sudah mendapatkan restu dan izin dari Dewas sebagaimana diatur dalam revisi UU KPK yang baru? Tetapi, ini tentu soal lain yang memang menjadi isu yang perlu dicermati.
Akan tetapi, ternyata praktik OTT terhadap Komisoner KPU tidak hanya berhenti pada tokoh utamanya yaitu Wahyu Setiawan. Tetapi juga menyerempet dan terkait dengan salah satu partai politik besar di negeri ini yang merupakan pemenang pada Pemilu tahun lalu, yaitu PDIP.
Masalahnya adalah bukan saja soal proses PAW salah satu anggota DPR RI dari PDIP, tetapi juga karena disebut melibatkan petinggi kunci dalam PDIP, khususnya Sekjen Hasto Kristiyanto yang diduga memiliki peran penting dalam proses itu hingga penyediaan sumber pendanaan.
Tempo.co menurunkan pemberitaan dengan judul "Bersekongkol Menyelamatkan Hasto", menulis bahwa kasus OTT Wahyu Setiawan menyeret Hasto sehingga KPK berusaha melakukan penggeledahan dan mungkin juga penyegelan kantor Hasto.
Tetapi proses ini gagal karena dianggap tidak memenuhi syarat dan prosedur. Sejumlah petinggi KPK pun tidak menetapkan Hasto sebagai tersangka.
Keadaan ini menjadi indikasi serius terhadap ketidakberdayaan dari Pimpinan KPK untuk menambah jumlah tersangka menjadi 5 orang, yang sebelumnya sudah ditentukan hanya 4 orang. Kendati publik melihat KPK memiliki alat bukti permulaan yang bisa menjerat Hasto sebagai tersangka.
Mengapa menjadi indikasi serius, karena kalau Pimpinan KPK tidak berkutik terhadap satu parpol ini saja, maka dipastikan juga akan menjadi perseden bagi parpol bahkan lembaga-lembaga politik lain yang terlibat dalam praktik korupsi.
Kekhawatiran publik semakin menjadi-jadi terhadap kemampuan dan keberanian Pimpinan KPK di bawah revisi UU KPK yang baru. Terutama kalau menyentuh kasus-kasus besar semacam megakorupsi, baik yang sudah terjadi, maupun yang mungkin akan terjadi.
Sejak awal publik sudah mempersoalkan Ketua KPK baru yang dianggap ada cacat etisnya. Sangat mungkin ini menjadi bumerang sedemikian rupa sehingga tidak berani untuk menyentuh kasus-kasus korupsi besar, yang notabene pada umumnya mendapat backing-an dari petinggi-petingi lembaga semacam parpol.
III. Indeks Korupsi Melorot
Kenyataan pahit harus ditelan oleh Presiden Jokowi. Ketika menutup tahun 2019, indeks korupsi di Indonesia bukan semakin baik, tetapi semakin menurun. Bahkan Indonesia dilewati oleh negeri tetangga seperti Malaysia yang jauh meninggalkan Indonesia.
Ini akan menjadi beban sekaligus juga ujian bagi Jokowi untuk menuntaskan periode keduanya sebagai Presiden, agar indeks korupsi bisa semakin baik.
Selama ini, beliau sudah identik dengan antikorupsi, namun langkah akhir sebelum berakhir periode pertamanya menjadi berbalik. Khususnya ketika pengesahan revisi UU KPK membawa bencana besar bagi republik ini dengan demo berhari-hari bahkan memakan korban jiwa.
Memulihkan kepercayaan masyarakat tentu saja tidak mudah, apalagi dalam waktu singkat. Pun demikian, publik pasti akan lebih smart, dan cermat, karena sangat mungkin kepercayaan kepada Pimpinan negeri ini terhadap pemberantasan korupsi tidak sekencang dahulu.
Semoga ujian kekhawatiran publik ini sebagai langkah awal di tahun 2020, menjadi pedoman bagi Pimpinan KPK untuk membuktikan pula kepada masyarakat bahwa mereka mampu melakukan dengan benar dan cepat tanpa berada dalam kendali pimpinan Parpol maupun eksekutif.
YupG. 14 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H