Atas dasar tiga alasan di atas sang koruptor uang negara dalam proyek e-ktp, maka di bebaskan dari lapas gunung sindur yang jauh tidak nyaman ketimbang lapas Sukamiskin di tengah-tengah kota Bandung.
Nampaknya ketiga alasan diatas tidak terlalu sulit bagi seorang Setnov maupun bagi orang lain untuk memenuhinya. Tetapi, apakah napi lain yang bukan seorang Setnov bisa juga di pindah ke lapas Sukamiskin kalau 3 alasan diatas di penuhi?
Mencermati penanganan kasus Setnov seperti ini, semakin membuktikan begitu "buruknya" manajemen Lapas di Indonesia, dan upaya kearah perbaikan yang lebih modern dan profesional semakin jauh saja.
Kasus-kasus napi melarikan diri, sipir lapas berkolaborasi dengan napi, lapas sebagai "pusat" pengendalian peredaran narboba, dan masih banyak lagi, seakan mengukuhkan kesan kuat semua pada sedang bermain-main saja.
Kasus kakap semacam Setnov harusnya menjadi peluang bagi pemerintah mengubah manajemen lapas yang betul-betul tidak sedang bermain-main.
Kalau saja kasus-kasus hukum yang harus berakhir di penjara bagi para oknum dan sejumlah penjahat, tidak diurus dengan benar, maka menjadi indikasi yang sangat kuat tentang lemahnya penegakan hukum secara benar di negeri ini.
Kelemahan di area penegakan hukum ini, akan menjadi bumerang yang sangat berbahaya karena akan mempengaruhi dinamika pembangunan lainnya keseluruhan. Terutama pandangan publik, seakan hukum betul-betul hanya tajam bagi mereka yang ada di bawah, sementara ke atas, tidak saja tumpul tetapi juga menjadi lumpuh tiada gunanya.
Selamat buat Setnov sudah lulus di lapas Sindur, dan pindah kelas kelas yang lebih baik yaitu Lapas Sukamiskin!
YupG. 17 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H