Pemindahan Ibu kota Jakarta ke luar pulau Jawa sudah diwacanakan oleh Sang Presiden, secara resmi dalam rapat terbatas kabinetnya pada Senin 29 April 2019. Nampaknya bukan lagi hanya wacana, tetapi sejumlah aksi sudah mulai digulirkan.
Ditengah-tengah panasnya suasana politik di tanah air, Â karena proses real count KPU atas hasil Pemilu serentak masih berjalan, sementara hasil QC membawa pro kontra yang sangat menghebohkan, Presiden Jokowi turun langsung kelapangan meninjau "kandidat lokasi Ibu kota yang baru" di Kalimantan. Mampir melihat Bukit Soeharto, yang nampaknya menjadi pilihan kuat untuk dijadikan Ibu kota negara yang baru.
Pro dan kontra atas wacana dan rencana pemerintah untuk memindahkan Ibu kota Jakarta ke luar Jawa ini, nampaknya Jokowi tidak bergeming untuk terus mengerjakan hal-hal terkait dengan persiapan rencana yang menghebohkan ini.
Mari memberikan sejumlah catatan sebagai bagian dari mencermati rencana ini, terlepas dari mau atau tidak, suka atau tidak, tetapi mari melihatnya dalam perspektif masa depan Indonesia yang di mimpikan oleh kita semua.
1. Membangun Indonesia bukan Jawa Centris
Sejak Jokowi menjabat sebagai orang nomor satu di negeri ini, dan hingga sekarang, dalam banyak kesempatan selalu mengingatkan bahwa membangun Indonesia tidak bisa lagi mulai dari Jawa, atau Jawa Centris. Tetapi Indonesia harus dibangun dari luar Jawa, dari pulau-pulau terluar, dari desa-desa terpencil serta dari perbatasan.
Secara umum Jawa sudah jauh lebih maju dari daerah-daerah luar Jawa. Tanpa dilakukan apa-apapun Jawa sudah bisa berkembang sendiri karena segala macam kemajuan ada di Pulau Jawa.
Hal ini bisa dilihat dari perhatian yang diberikan oleh Joko Widodo untuk daerah-daerah terluar, terpencil dan tersisih selama ini dalam segala macam sektor. Dimulai dari wilayah perbatasan yang saat ini semuanya menjadi daerah "kiclong" dan menjadi tujuan wisata local, yang sekian puluh tahun tidak terjamah.
Lihat pelabuhan, jalan-jalan propinsi di semua wilayah sampai ke Papua. Selama ini daerah-daerah itu hanya mimpi saja membayangkan jalan tol ada di daerah mereka. Tetapi Joko Widodo mengubah semuanya itu. Saya pikir ini fakta yang tidak boleh ada orang yang menutupinya. Terlepas dari besarnya anggaran, sulitnya melakukan itu, dan mungkin banyak korban berjatuhan dalam melakukan itu.
Harus diakui bahwa memindahkan Ibu kota Jakarta ke luar Pulau Jawa menjadi bagian dari implementasi Strategi Pembangunan Indonesia oleh Joko Widodo yang bukan Jawa Centris tetapi Membangun dari luar, pinggir dan perbatasan.
2. Menuju tahun 2045 menjadi Negara ke4 terkuat eknomi di dunia
Dua tahun terakhir sudah sangat banyak kajian dan prediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah negara yang ekonomi nya terkuat di dunia ketika memasuki tahun 2045. Dengan berbagai alasan-alasan akademik yang secara umum bisa dipahami. Walaupun demikian, tidak berarti akan menjadi kenyataan tanpa persiapan, rencana dan strategi yang jelas, tegas dan kuat.
Menarik memang bahwa tahun 2045 itu dianggap menjadi sesuatu yang penting karena genapnya negeri ini 100 tahun sejak merdeka tahun 1945, seperti yang di maknai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrayanti.
Bahkan hasil-hasil kajian paling terakhir, di estimasi bahwa waktunya bisa lebih cepat, yaitu tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara 4 besar yang ekonomi kuat diantara 10 negara berkembang, seperti yang diprediksi oleh Bloomberg.
Dalam banyak kesempatan Presiden Joko Widodo selalu mengingatkan akan pentingnya Indonesia menjadi salah satu Negara terkuat di dunia memasuki tahun 2045. Dan dengan demikian, semua strategi dan program pembangunan harus diarahkan untuk mewujudkan cita-cita itu.
Keleluasaan membangun Indonesia yang hanya terpusat di Jawa dan Jakarta saja, dipastikan akan menjadi hambatan tersendiri dalam membuat Indonesia menjadi negara kuat ekonomi secara merata.
Sebab selama ini, indikator kemajuan pembangunan lebih banyak didominasi oleh Pulau Jawa dan Jakarta. Memindahkan Ibu kota menjadi salah satu cara yang efektif untuk membuat Indonesia maju secara merata.
Dalam Rapat Terbatas secara tegas Joko widodo mengingatkan salah satu alasan pemindahan Ibu kota adalah karena kebutuhan dan kepentingan negara dalam upayanya menuju Negara Maju.
Artinya pula, bisa dipahamai bahwa salah satu penyebab mengapa negeri ini selama ini tidak berkembang dengan cepat, karena semuanya terkonsentrasi di Jawa dan Jakarta. Bila ini benar, maka kesalahan ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Ibu kota harus dipindahkan.
3. Menyambut bonus demografi 2030
Banyak kajian sudah dilakukan tentang Indonesia akan menikmati bonus demografi yang akan efektif pada tahun 2030. Dimana mayoritas tenaga kerja yang tersedia adalah mereka yang masuk dalam generasi milenial, yang lahir sejak tahun 1990/2000. Yang pada tahun 2030 nanti usia mereka berada di angka sekitar 30.
Dunia melihat ini sebagai berkah yang luar biasa yang dimiliki oleh Indonesia, karena usia tenaga kerjanya merupakan orang orang muda yang penuh semangat, produktifiitas, inovasi, kreatif dan sebagainya.
Ini harus disiapkan 10 tahun kedepan agar bonus demografi ini menjadi efektif dalam proses pembangunan bangsa ini dalam semua sektor, dalam segala lini dan area pekerjaan. Kaum milenial harus diberikan kesempatan melalui tantangan-tantangan yang ada.
Memindahkan Ibu kota akan menjadi sebuah tantangan dan peluang baru bagi para milenial untuk ikut berkiprah dab berproduksi secara profesional.
Pemilu serentak yang diadakan 17 April 2019 yang lalu, generasi milenial sudah mulai unjuk gigi untuk ikut bersaing dalam anggota legislatif. Hasilnya sangat menarik, kendati belum lolos ke Senayan, tetapi di DPRD Propinsi dan Kabupaten Kota mereka banyak mengalahkan partai-partai tua.
Ini sebuah indikasi yang sangat kuat tentang bonus demografi. Walaupun, pemerintah harus terus mengawal generasi untuk untuk menjadi pemain utama memasuki tahun 2030 hingga 2045.
4. Pemindahan Ibu kota sebenarnya final.
Melihat urgensi, kebutuhan dan semua aspek dari berbagai kajian nampaknya pemindahan Ibu kota keluar Jawa harus segera dilakukan. Karena bukan hal yang tabu atau tidak boleh sama sekali. Sebab keberadaan Jakarta sama sekali tidak lagi layak menjadi Ibu kota Negeri ini.
Sejarah di dunia sudah melakukan hal yang sama untuk memindahkan Ibu kota Negara mereka. Untuk menyebutkan sejumlah contoh misalnya adalah Amerika Serikat dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sydney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, Brazil dari Rio De Janeiro ke Brasillia, Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, Myanmar dari Yangoon ke Naypyitaw, Pantai Gading dari Abidjan ke Yamossoukro, Rusia dari St. Petersburg ke Moskow, Nigeria dari Lagos ke Abuja, Pakistan dari Karachi ke Islamabad, India dari Delhi ke New Delhi, Kazakhstan dari Almaty ke Astana.
Kalau saja negara-negara lain bisa, maka harusnya Indonesia juga bisa. Persoalan akan muncul masalah, repot, dan segala macam asesorisnya, itu sesuatu yang wajar saja sebagai konsekuensi dari sebuah keputusan.
Barangkali bisa disederhanakan dengan mengatakan bahwa untuk mencapai dan mewujudkan rencana besar, mimpi besar bagi Indonesia sebagai negara besar pasti membutuhkan waktu, biaya, tenaga, dan proses yang pasti tidak mudah dan tidak seperti membalik tangan.
5. Butuh 446 trilun rupiah dan 40.000 hetare
Dalam sebuah diskusi yang sangat hangat diantara teman-teman akademisi, sebuah pertanyaan mendasar diajukan bahwa darimana pemerintah mendapatkan dana sebesar Rp. 446 triliun itu, dengan lahan hamparan kosong seluas 40 ribu hekatere?
Pertanyaan itu sebenarnya adalah apakah pemerintah akan mengutang hanya untuk memindahkan Ibu kota dengan dana segede gajah itu? Bukankah dana sebesar itu bisa membangun hal-hal yang jauh lebih menjawab persoalan kebutuhan masyarakat miskin, masalah pembangunan, masalah pendidikan, kesehatan dan pekerjaan?
Bagian ini tidak bisa dipungkiri banyak benarnya. Kalau saya rakyat yang berada dibawah garis kemiskinan tidak akan rela uang sebesar 446 trilun hanya habis untuk memindahkan Ibu kota ke luar Jawa.
Bayangkan saja, kalau RAPBN Indonesia sekitar rp 2.500 triliun maka biaya pemindahan ini sekitar 20%, wow...
Selama seminggu terakhir ini, Presiden Joko Widodo sudah menjamin bahwa anggaran pemindahan Ibu kota tidak akan mengganggu RAPBN, dan sedang diminta Menteri Keuangan untuk membuat skema pembiayaan pemindahan Ibu kota negara ini.
Juga oleh Kepala Bappenas menjelaskan bahwa pembiayaan pemindahan ini akan dianggarkan dalam lima tahun anggaran negara. Berarti, kalau total biayanya sekitar 500 triliun, maka setiap tahun akan ada anggaran sekitar 100 triliun untuk proses pemindahan Ibu kota Negara Indonesia ini.
Hmm..masuk akal juga. Tetapi, tetap kita tunggu seperti apa skema pembiayaan ini yang katanya akan melibatkan juga pihak swasta. Atau dalam istilah Presiden Joko Widodo, proses pemindahan Ibu kota harus inklusif dan tidak boleh eksklusif. Artinya akan transparan, terang benderang bagi masyarakat Indonesia.
Kalau demikian, apalagi yang ditunggu. Saya sendiri tidak sabar untuk melihat sebuah kota baru yang akan di sulap menjadi Ibu kota Negara RI di luar Jawa. Mungkin di Kalimantan.
Dan saya sendiri tidak sabar melihat bagaimana dampak dan multiplier effect yang akan terjadi bagi pembangunan di wilayah yang baru itu. Pasti disana akan ada pemerataan yang selama ini ditunggu-tunggu oleh publik.
Saya sendiri juga tidak sabar untuk menyaksikan Jakarta menjadi sebuah kota yang akan berubah fungsinya. Saya tidak tahu jadi apa. Tetapi bisa menjadi pusat bisnis, pusat hiburan, pusat perdagangan atau yang lain.
Semoga semua mimpi ini menjadi kenyataan untuk Indonesia maju menuju 2030 dan 2045 dengan suatu saat Presidennya seorang milenial!
Yupiter Gulo, 8 Meu 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H