Jatuhnya korban jiwa menjadi takaran kunci untuk mengatakan bahwa penerapan sistem pemilu serentak 2019 "menemui kegagalan". Dan karenanya, demi harga jiwa manusia, menjadi tuntutan untuk dilakukan review total kelayakan Undang-undang tentang Pemilu ini.
Berdasarkan pengalaman dari sejumlah teman-teman yang kebetulan menjadi petugas di KPPS, mereka menyimpulkan bahwa tugas dan tanggungjawab ini sangat melelahkan, dan seakan-akan terjebak semuanya karena sudah ada penugasan yang sah dari KPU beradasarkan Undang-undang.
Petugas KPPS merasa tertekan dengan waktu yang sangat ketat, serta melayani pemilih yang memiliki ketegangan tersendiri dengan banyak parpol yang terus mengawasi.
Mengapa harus demikian, karena Pasal 383 ayat dua itu mensyaratkan bahwa harus selesai semuanya sampai perhitungan suara tanpa jeda waktu.
(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan suara berakhir.
(2) Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara.
Pasal inilah yang di banyak KPPS dianggap sebagai sumber ketegangan dalam melaksanakan pemilu serentak. Pada umumnya petugas di KPPS membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk bisa menuntaskan semua proses atau tahapan pemilu yang nampaknya tidak sesuai dengan daya tahan atau kemampuan fisik orang-orang yang bertugas.
Apabila kegagalan utama sistem pemilu serentak ini adalah jatuhnya korban jiwa hingga ratusan orang, maka kegagalan kedua yang tidak kalah pentingnya adalah Pemilihan Legislatif yang sangat tidak representantif untuk memilih yang terbaik oleh setiap pemilih.
Singkatnya, pemilihan legislatif, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten tidak sesuai dengan hasilnya. Banyak pemilih, yang merasa tidak kenal sama sekali dengan semua orang yang ada dalam daftar yang sangat lebar dan panjang dengan puluhan parpol.