"Jangankan jatuh korban 225 orang, satu orang korban jiwa saja tidak bisa dinilai dengan duit sekarung atau perjuangan material lainnya. Sebab, jiwa manusia tidak ada yang bisa membeli dan menggantikan dengan uang"
Walaupun proses perhitungan suara, real count oleh KPU masih terus berjalan, tetapi sangat sulit untuk mengatakan bahwa Pemilu Serentak 17 April 2019 berhasil, sementara korban jiwa terus berjatuhan.
Bayangkan saja, hingga hari ini jumlah petugas KPPS yang sudah meninggal sebanyak 225 orang, dan yang menderita sakit sudah menyentuh angka 1.470 orang. Menurut KPUÂ angka ini akan terus bertambah.
Tanpa mengabaikan berbagai usaha dan perjuangan yang sudah dilakukan oleh semua pihak penyelenggara Pemilihan Umum untuk Pilpres dan Pileg, namun korban jiwa menjadi klimaks bagi kita untuk menyimpulkan tentang prestasi pesta demokrasi lima tahunan ini.
Jangankan jatuh korban 100 orang, satu orang korban jiwa saja tidak bisa dinilai dengan duit sekarung atau perjuangan material lainnya. Sebab, jiwa manusia tidak ada yang bisa membeli dan menggantikan dengan uang.
Jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit, sangat mencoreng wajah pesta demokrasi yang diapresiasi oleh dunia internasional.
Ada kesan yang sangat kuat bahwa pelaksanaan Pemilu serentak dibawah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 itu sepertinya dipaksakan, atau keteledoran yang terlalu mengabaikan semua proses yang ada, serta tidak bijak dalam implementasi proses karena "ketakutan melanggar undang-undang", Â kendati oleh KPU sudah dilakukan simulasi dari semua tahapan yang ada.
KPU dengan semua petugas KPPS di lapangan sudah berusaha dan berjuang mati-matian untuk melakukan sesuai dengan aturan yang sudah dibuat. Dan dengan berbagai keterbatasan, kendala yang menghadang, serta anggaran yang sangat terbatas itu memproduksi berbagai korban jiwa dan jatuh sakit.
Apabila penerapan Sistem Pemilu serentak ini adalah efisiensi biaya penyelenggaraan, rasanya koq tidak make-sense, terutama korban jiwa berjatuhan yang merata terjadi seluruh wilayah Indonesia, tidak saja di daerah pedalaman, tetapi juga di wilayah Jawa seperti Jawa Barat misalnya.
Dana sebesar sekitar 25 trilun rupiah yang dianggarkan dalam APBN sejak tahun 2017, tidak bisa diperhadapkan dengan korban jiwa petugas KPPS yang di mandatkan oleh negara. Karena sesungguhnya jiwa manusia tidak bisa dibayar dengan uang sebesar apapun.
Jatuhnya korban jiwa menjadi takaran kunci untuk mengatakan bahwa penerapan sistem pemilu serentak 2019 "menemui kegagalan". Dan karenanya, demi harga jiwa manusia, menjadi tuntutan untuk dilakukan review total kelayakan Undang-undang tentang Pemilu ini.
Berdasarkan pengalaman dari sejumlah teman-teman yang kebetulan menjadi petugas di KPPS, mereka menyimpulkan bahwa tugas dan tanggungjawab ini sangat melelahkan, dan seakan-akan terjebak semuanya karena sudah ada penugasan yang sah dari KPU beradasarkan Undang-undang.
Petugas KPPS merasa tertekan dengan waktu yang sangat ketat, serta melayani pemilih yang memiliki ketegangan tersendiri dengan banyak parpol yang terus mengawasi.
Mengapa harus demikian, karena Pasal 383 ayat dua itu mensyaratkan bahwa harus selesai semuanya sampai perhitungan suara tanpa jeda waktu.
(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan suara berakhir.
(2) Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara.
Pasal inilah yang di banyak KPPS dianggap sebagai sumber ketegangan dalam melaksanakan pemilu serentak. Pada umumnya petugas di KPPS membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk bisa menuntaskan semua proses atau tahapan pemilu yang nampaknya tidak sesuai dengan daya tahan atau kemampuan fisik orang-orang yang bertugas.
Apabila kegagalan utama sistem pemilu serentak ini adalah jatuhnya korban jiwa hingga ratusan orang, maka kegagalan kedua yang tidak kalah pentingnya adalah Pemilihan Legislatif yang sangat tidak representantif untuk memilih yang terbaik oleh setiap pemilih.
Singkatnya, pemilihan legislatif, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten tidak sesuai dengan hasilnya. Banyak pemilih, yang merasa tidak kenal sama sekali dengan semua orang yang ada dalam daftar yang sangat lebar dan panjang dengan puluhan parpol.
Sehingga yang terjadi didalam bilik TPS beberapa kemungkinan, yaitu :
- Pemilih langsung memilih calon-calon legislatif yang memang dia sudah kenal
- Tidak kenal, tetapi harus memilih salah satu caleg, maka kemungkinannya adalah (i) Memilih parpol yang dia kenal dan sembarang memilih caleg, atau (ii) Memilih parpol dan mengenal nama dan foto orangnya, kalau sesuai selera dia akan pilih.
- Karena tidak kenal sama sekali caleg-caleg itu, dan juga tidak antusias terhadap sebuah parpol maka dia memutuskan untuk tidak mencoblos para Caleg.
Nampaknya fakta tentang jumlah Golput yang menyentuh angka 30% untuk Pileg menjadi indikasi tentang berbagai kemungkinan diatas, tentang Pemilu serentak khususnya Pileg.
Di bagian ini, harus dipertanyakan tentang kualitas Pileg itu seberapa mencapai sasaran yang diinginkan. Untuk sementara, harus diduga bahwa Pemilu Legislatif-pun kita gagal, hanya kerana pemaksaan sistem yang serentak.
Betul, bahwa kita menghasilkan sejumlah Anggota Legislatif, tetapi apakah sungguh-sungguh mewakili aspirasi pemilih, ini yang harus direview habis-habisan.
Sebagai pebanding dengan Pemilu yang sebelumnya, yang terpisah, maka kualitas mungkin lebih baik dari sekarang.
Pertanyaannya menjadi begini, apakah sistem pemilu serentak itu baik Pilpres maupun Pileg hanya menghemat anggaran APBN saja tetapi kualitas Anggota Legislatifnya memble, bahkan golput meningkat, partisipasi pemilih menurun.
Harusnya tidak lagi hanya karena pertimbangan biaya yang murah. Sebab, yang hendak dicapai untuk Pemilu adalah mencari dan memilih "Pimpinan-pimpinan Negeri" selama 5 tahun kedepan. Dan efeknya akan berlangsung untuk jangka panjang kedepan.
Anggota komisioner KPU, mengatakan bahwa biarlah sistem serentak ini pertama dan terakhir menjadi refleksi pemahaman tentang beratnya pelaksanaan Undang-undang Nomor 7/2017 ini yang tidak setimpal dengan hasil yang dicapai keseluruhan. Ini menjadi perenungan seluruh komponen bangsa dan negeri ini.
Bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang terus belajar dan pengalaman masa lalu, dan tidak mengulangi kesalahan fatal di masa yang lalu, tetapi mampu membuat sistem yang jauh lebih baik dan maju untuk membawa perubahan penting bagi kehidupan seluruh manusia dalam negaranya.
YupG., 27 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H