Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Ikut Bimbel: Antara Kebutuhan, Pemborosan, dan Gaya Hidup

11 April 2019   15:23 Diperbarui: 12 April 2019   15:23 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lagi dengan keinginan orangtua agar anak-anaknya bisa masuk perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Persaingannya sangat super ketat, karena yang diterima sedikit sementara yang mendaftar membludak.

Jawaban dari semua kegelisahan ini adalah bimbel. Anak-anak harus ikut bimbel untuk mengurangi kegalauan dan ketegangan orangtua dalam memilih sekolah yang lebih tinggi dan lebih baik.

Dalam praktik, yang sering terjadi adalah bimbel menjadi gaya hidup keluarga-keluarga tertentu. Artinya, sebenarnya anak-anaknya tidak perlu ikut bimbel karena sekolahnya bagus, hasil studinya bagus. Tetapi karena memiliki sumber daya yang lebih banyak, memiliki kekuatan keuangan yang baik, maka anak-anak harus ikut bimbel.

Sebetulnya, di bagian inilah jasa bimbel itu sering terasa menjadi mahal bagi banyak keluarga. Karena penyedia jasa menggunakan patokan orang-orang kaya untuk menentukan harga jasa bimbelnya.

Saya mengenal sebuah LBB yang termasuk terbaik di Jakarta. Kalau mau anak-anak masuk ke universitas negeri terbaik di Indonesia, LBB ini bisa menggaransi masuk. Bahkan ada jaminannya, uang akan kembali bila gagal.

Dan Anda tahu bagaimana proses bimbelnya? Sangat baik, sangat ketat, bahkan anak-anak dilatih habis-habisan agar bisa lolos. Setahun sebelum masuk perguruan tinggi, bimbel sudah dimulai dengan tes seleksi kemampuan dahulu agar guru-guru bimbel bisa mengajar dengan efektif.

Biasanya ada periode waktu di mana anak-anak bimbelnya akan menjalani belajar intensif sepanjang hari dalam satu bahkan dua minggu.

Nampaknya memang tidak manusiawi, tetapi itulah yang disebut target belajar. Dan menariknya, anak-anak yang mengikuti bimbel ini umumnya yang pintar-pintar di sekolahnya. Ya...gurunya enak ngajarnya.

Biayanya juga sangat mahal, dalam setahun bisa di atas 10 jutaan harus dibayar oleh orangtua siswa. Sehingga pemain dalam usaha jasa bimbel menjadi segmented, artinya ada bimbel yang pesertanmya rata-rata anak-anak pintar dan biayanya mahal. Tetapi ada juga yang sebaliknya. Tapi, inilah hukum pasarnya.

Melihat kenyataan-kenyataan seperti ini, maka harusnya menata dengan benar sistem pendidikaan nasional, terkait dengan jasa bimbel itu. Karena fakta juga memperlihatkan bahwa ada banyak guru-guru yang mengajar di bimbel sebenarnya juga guru-guru di sekolah formal.

Pertanyaan yang menarik, lha, kenapa guru-guru ini bisa mengajar dengan hebat di LBB dibandingkan dengan di sekolah formal yang dia sendiri menjadi tenaga tetap dan dibiayai hidupnya oleh sekolah itu?

Ini perenungan yang harus digali dan dicermati secara bijaksana.

Yupiter Gulo, 11 April 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun