Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Ikut Bimbel: Antara Kebutuhan, Pemborosan, dan Gaya Hidup

11 April 2019   15:23 Diperbarui: 12 April 2019   15:23 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lembaga Bimbingan Belajar atau LBB, lebih dikenal dengan bimbel, merupakan kenyataan yang hadir dan ada di dalam sistem pendidikan di Indonesia, yang tidak bisa dihilangkan dan memang tidak perlu dihilangkan. Karena sesungguhnya bimbel ini hadir karena ada kebutuhan masyarakat di bidang layanan pendidikan.

Keberadaan lembaga bimbel ini seakan melengkapi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh lembaga pendidikan formal yang menjadi keharusan bagi setiap anak yang bersekolah, karena menjadi instrumen hukum formal bagi anak-anak untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah yang dibutuhkan untuk berbagai kepentingan.

Harus diakui bahwa kehadiran bimbel merupakan indikator kuat lemahnya sistem pendidikan formal yang ditawarkan oleh pemerintah melalui kementerian dan departemen terkait. Artinya, lembaga pendidikan formal, mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMU, hingga Perguruan Tinggi, pada dasarnya belum mampu untuk mengisi seluruh kualifikasi yang dituntut untuk berjalannya sistem pendidikan formal itu.

Lahir dan bertumbuhkembanglah LBB ini untuk mengisinya. Sebagai contoh sederhana, anak-anak ikut bimbel untuk memastikan bahwa dia bisa lolos pada level pendidikan lebih tinggi, seperti masuk perguruan tinggi atau universitas dengan jurusan atau fakultas yang diminati.

Harusnya, hal itu bisa dijawab melalui kegiatan belajar mengajar di lembaga pendidikan formal agar mereka tidak mengikuti lagi bimbel. Inilah fenomena yang terus menerus dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia.

Ini memperlihatkan belum efektifnya sistem pendidikan nasional di Indonesia. Yang terjadi adalah terpisah-pisah, terkotak-kotaknya setiap bagian dalam sistem pendidikan yang ada. Tidak saling menyambung dan membutuhkan.

Gap inilah yang diisi oleh kegiatan bimbel yang selalu menjamur dan bertumbuh terus menerus hingga saat ini.

Berdasarkan Sensus Ekonomi yang diadakan oleh BPS pada tahun 2016, memperlihatkan jumlah badan usaha pendidikan yang tersebar di Indonesia sebanyak 619.947 unit usaha. Angka ini setara dengan 2,32% dari kelompok usaha yang ada di Indonesia. Dan yang paling banyak adanya di Jawa sekitar 56,56%, disusul Sumatera sebesar 22,03%. Sisanya tersebar di wilayah lain Indonesia.

Dari jumlah unit usaha itu paling banyak ukurannya yang mikro dan kecil sekitar 97,96% atau setara dengan 607.283 unit usaha. Sisanya termasuk yang besar-besar ke atas.

Menariknya adalah jumlah unit usaha yang disebut bimbel itu hanya 1.866 unit usaha yang terdaftar dengan resmi di Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan. Data statistik menunjukkan pertumbuhan dari tahun ke tahun.

Data-data di atas hendak mengatakan bahwa bimbel merupakan kebutuhan masyarakat di bidang jasa pendidikan ekstra diluar sekolah formal yang diikuti oleh anak-anak didik. Dan karenanya hukum pasar berlaku, yaitu di mana ada demand di sana akan muncul supply. Ada permintaan pasti ada penjualan dan penawaran.

Hukum permintaan dan penawaran inilah yang sekarang berlaku dalam industri jasa bimbel ini. Dan dipastikan penyedia jasa bimbel akan terus menerus mengembangkan diri, melatih skill guru-gurunya, dan memberikan kepastian hasil yang bisa dicapai oleh peserta.

Memang, di sana muncul juga persaingan di antara penyelenggara bimbel itu. Persaingan yang sehat tentunya, karena bersaing memberikan jasa yang terbaik. Akibatnya ya, semakin baik lembaga bimbelnya dipastikan akan semakin mahal harganya. Sebaliknya, kalau lembaganya tidak berkualitas pasti harganya murah.

Perlukah anak-anak diikutkan pada bimbel? Mengapa harus dan mengapa tidak harus.

Seperti narasi di awal, bahwa apabila sistem pendidikan formal berjalan dengan baik dan benar, maka harusnya anak-anak tidak perlu diikutkan di bimbel. Karena kualikasi lulusan sekolah harusnya sudah dipastikan sesuai dengan kebutuhan pada level yang lebih tinggi saat anak-anak masuk ke sana.

Tetapi, problemnya di situ. Sistem kegiatan belajar mengajar di sekolah formal tidak berjalan dengan baik sehingga kualitasnya tidak sesuai harapan. Faktor penyebabnya, tentu sangat banyak, saling tali temali dan seperti benang kusut. Tentu tak semua sekolah mengalami itu, karena ada beberap sekolah yang juga sangat bermutu sehingga anak-anaknya tak perlu lagi ikut bimbel.

Kalau demikian, orangtua dan anak-anak, menjadi pergumulan ketika anak-anak harus memikirkan kelanjutan belajarnya ke level yang lebih tinggi. Dan untuk mengisi kelemahan itu, bimbel menjadi jawaban atas kebutuhan itu.

Semakin mendesak orangtua dan anak-anak untuk mengejar level yang tinggi dengan mutu lebih baik, dan sekolah tidak mampu mengisinya dengan benar maka orangtua pasti cenderung menyuruh anaknya ikut bimbel.

Bagaimana dengan biayanya, apakah bimbel itu mahal? Jawabannya adalah tergantung dan tidak selalu. Tetapi hukum pasar berlaku. Hasil yang baik dan berkualitas pasti harganya cenderung mahal. Begitu juga sebaliknya akan murah kalau kualitasnya rendah. Saya pikir ini sangat wajar dalam hukum ekonomi dan hukum pasar.

Melihat dan mengamati kenyataannya, pada umumnya orangtua akan berusaha untuk mengikutkan anak-anaknya untuk bimbel, walaupun secara ekonomi tidak memadai, tetapi orangtua akan berusaha untuk mencari dana tambahan bagi masa depan anak-anaknya.

Mengapa harus demikian? Karena persaingan pada level pendidikan yang lebih tinggi sangat menyeramkan. Lihat saja misalnya untuk mencari SMP bagi lulusan SD, atau mencari SMU bagi lulusan SMP, bisa saja berdarah-darah mencari yang terbaik. Kalau orangtua tidak mempersiapkan dengan baik, bisa-bisa anaknya terlempar di tempat yang bermutu.

Belum lagi dengan keinginan orangtua agar anak-anaknya bisa masuk perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Persaingannya sangat super ketat, karena yang diterima sedikit sementara yang mendaftar membludak.

Jawaban dari semua kegelisahan ini adalah bimbel. Anak-anak harus ikut bimbel untuk mengurangi kegalauan dan ketegangan orangtua dalam memilih sekolah yang lebih tinggi dan lebih baik.

Dalam praktik, yang sering terjadi adalah bimbel menjadi gaya hidup keluarga-keluarga tertentu. Artinya, sebenarnya anak-anaknya tidak perlu ikut bimbel karena sekolahnya bagus, hasil studinya bagus. Tetapi karena memiliki sumber daya yang lebih banyak, memiliki kekuatan keuangan yang baik, maka anak-anak harus ikut bimbel.

Sebetulnya, di bagian inilah jasa bimbel itu sering terasa menjadi mahal bagi banyak keluarga. Karena penyedia jasa menggunakan patokan orang-orang kaya untuk menentukan harga jasa bimbelnya.

Saya mengenal sebuah LBB yang termasuk terbaik di Jakarta. Kalau mau anak-anak masuk ke universitas negeri terbaik di Indonesia, LBB ini bisa menggaransi masuk. Bahkan ada jaminannya, uang akan kembali bila gagal.

Dan Anda tahu bagaimana proses bimbelnya? Sangat baik, sangat ketat, bahkan anak-anak dilatih habis-habisan agar bisa lolos. Setahun sebelum masuk perguruan tinggi, bimbel sudah dimulai dengan tes seleksi kemampuan dahulu agar guru-guru bimbel bisa mengajar dengan efektif.

Biasanya ada periode waktu di mana anak-anak bimbelnya akan menjalani belajar intensif sepanjang hari dalam satu bahkan dua minggu.

Nampaknya memang tidak manusiawi, tetapi itulah yang disebut target belajar. Dan menariknya, anak-anak yang mengikuti bimbel ini umumnya yang pintar-pintar di sekolahnya. Ya...gurunya enak ngajarnya.

Biayanya juga sangat mahal, dalam setahun bisa di atas 10 jutaan harus dibayar oleh orangtua siswa. Sehingga pemain dalam usaha jasa bimbel menjadi segmented, artinya ada bimbel yang pesertanmya rata-rata anak-anak pintar dan biayanya mahal. Tetapi ada juga yang sebaliknya. Tapi, inilah hukum pasarnya.

Melihat kenyataan-kenyataan seperti ini, maka harusnya menata dengan benar sistem pendidikaan nasional, terkait dengan jasa bimbel itu. Karena fakta juga memperlihatkan bahwa ada banyak guru-guru yang mengajar di bimbel sebenarnya juga guru-guru di sekolah formal.

Pertanyaan yang menarik, lha, kenapa guru-guru ini bisa mengajar dengan hebat di LBB dibandingkan dengan di sekolah formal yang dia sendiri menjadi tenaga tetap dan dibiayai hidupnya oleh sekolah itu?

Ini perenungan yang harus digali dan dicermati secara bijaksana.

Yupiter Gulo, 11 April 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun