Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Ikut Bimbel: Antara Kebutuhan, Pemborosan, dan Gaya Hidup

11 April 2019   15:23 Diperbarui: 12 April 2019   15:23 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Data-data di atas hendak mengatakan bahwa bimbel merupakan kebutuhan masyarakat di bidang jasa pendidikan ekstra diluar sekolah formal yang diikuti oleh anak-anak didik. Dan karenanya hukum pasar berlaku, yaitu di mana ada demand di sana akan muncul supply. Ada permintaan pasti ada penjualan dan penawaran.

Hukum permintaan dan penawaran inilah yang sekarang berlaku dalam industri jasa bimbel ini. Dan dipastikan penyedia jasa bimbel akan terus menerus mengembangkan diri, melatih skill guru-gurunya, dan memberikan kepastian hasil yang bisa dicapai oleh peserta.

Memang, di sana muncul juga persaingan di antara penyelenggara bimbel itu. Persaingan yang sehat tentunya, karena bersaing memberikan jasa yang terbaik. Akibatnya ya, semakin baik lembaga bimbelnya dipastikan akan semakin mahal harganya. Sebaliknya, kalau lembaganya tidak berkualitas pasti harganya murah.

Perlukah anak-anak diikutkan pada bimbel? Mengapa harus dan mengapa tidak harus.

Seperti narasi di awal, bahwa apabila sistem pendidikan formal berjalan dengan baik dan benar, maka harusnya anak-anak tidak perlu diikutkan di bimbel. Karena kualikasi lulusan sekolah harusnya sudah dipastikan sesuai dengan kebutuhan pada level yang lebih tinggi saat anak-anak masuk ke sana.

Tetapi, problemnya di situ. Sistem kegiatan belajar mengajar di sekolah formal tidak berjalan dengan baik sehingga kualitasnya tidak sesuai harapan. Faktor penyebabnya, tentu sangat banyak, saling tali temali dan seperti benang kusut. Tentu tak semua sekolah mengalami itu, karena ada beberap sekolah yang juga sangat bermutu sehingga anak-anaknya tak perlu lagi ikut bimbel.

Kalau demikian, orangtua dan anak-anak, menjadi pergumulan ketika anak-anak harus memikirkan kelanjutan belajarnya ke level yang lebih tinggi. Dan untuk mengisi kelemahan itu, bimbel menjadi jawaban atas kebutuhan itu.

Semakin mendesak orangtua dan anak-anak untuk mengejar level yang tinggi dengan mutu lebih baik, dan sekolah tidak mampu mengisinya dengan benar maka orangtua pasti cenderung menyuruh anaknya ikut bimbel.

Bagaimana dengan biayanya, apakah bimbel itu mahal? Jawabannya adalah tergantung dan tidak selalu. Tetapi hukum pasar berlaku. Hasil yang baik dan berkualitas pasti harganya cenderung mahal. Begitu juga sebaliknya akan murah kalau kualitasnya rendah. Saya pikir ini sangat wajar dalam hukum ekonomi dan hukum pasar.

Melihat dan mengamati kenyataannya, pada umumnya orangtua akan berusaha untuk mengikutkan anak-anaknya untuk bimbel, walaupun secara ekonomi tidak memadai, tetapi orangtua akan berusaha untuk mencari dana tambahan bagi masa depan anak-anaknya.

Mengapa harus demikian? Karena persaingan pada level pendidikan yang lebih tinggi sangat menyeramkan. Lihat saja misalnya untuk mencari SMP bagi lulusan SD, atau mencari SMU bagi lulusan SMP, bisa saja berdarah-darah mencari yang terbaik. Kalau orangtua tidak mempersiapkan dengan baik, bisa-bisa anaknya terlempar di tempat yang bermutu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun