Wajah Pendidikan Kita
Acara debat Cawapres 2019 pada Minggu 17 Maret 2019 yang lalu, antara Ma'aruf Amin dan Sandiaga Uno mengangkat kembali problems dunia pendidikan yang sedang dihadapi oleh Indonesia dengan menyebutkan istilah DUDI oleh Cawapres-01 dan Link and Match oleh Cawapres-02.
Ini tentu saja sangat penting, menarik dan perlu di-adressing terus menerus sebagai dasar pemahaman bahwa suatu Negara hanya bisa berkembang, bertumbuh, maju dalam segala peradabannya hanya apabila masyarakatnya memiliki kualitas yang baik. Kualitas manusia yang semakin kuat, hanya bisa dicapai melalui pendidikan sejak dari dalam kandungan hingga meninggal dunia.
Publik memahami bahwa dunia pendidikan di negara ini masih dianggap "porak-poranda", belum mapan sistem yang dijalankan. Bahkan terkesan ganti pemimpin ganti sistem, ganti kebijakan. Ganti menteri ganti pola dan mekanisme. Selalu saja itu yang terjadi dari waktu ke waktu hingga saat ini.
Akibatnya adalah "masyarakat menjadi bingung" menghadapi dan menjalankan proses pendidikan yang ada. Setiap keluarga selalu saja was-was, kuatir, takut dan bingung ketika anak-anak mereka tidak mampu memasuki sekolah yang terbaik. Disana dirasakan ada ketidakadilan bagi semua masyarakat.
Dalam banyak kasus, materi atau uang, koneksi dan jaringan akses, lebih banyak menentukan ketimbang prestasi anak-anak. Belum lagi kita bicara tentang mahalnya biaya pendidikan sekarang ini. Orangtua pontang panting memenuhi semua tuntutan lembaga pendidikan kalau tidak anak tidak bisa sekolah. Miris sekali !
Tidak saja sekolah swasta, sekolah negeripun semakin mahal dari waktu ke waktu. Lihat misalnya, 10 tahun yang lalu, ketika seorang anak masuk sekolah kedokteran gigi di suatu Univeristas Negeri terbesar di negara ini  harus membayar uang kuliah sebesar Rp 2 juta persemester.
Setelah 5 tahun, angka itu berubah menjadi Rp 10 juta setiap semester. Bahkan di salah satu fakultas sekolah bisnis disebuah institute nomor satu di negeri ini, mahasiswa harus membayar 25 juta rupiah per-semester, walaupun si mahasiswa lolos seleksi melalui jalur SNMPTN, atau jalur undangan.
Dari DUDI hingga Corpu
Indonesia menghadapi persoalan besar dalam dunia pendidikan mulai dari PUAD hingga Universitas. Karena seakan-akan tidak berada dalam sebuah sistem terintegrasi secara efisien dan efektif. Sehingga kesan kuat, anak-anak energinya habis untuk terus sekolah sesuai tuntutan peraturan undang-undang, lalu lambat terintegrasi dengan dunia nyata, dunia bisnis, dunia industri, dunia kerja dan sebaginya.
Apa yang disetir oleh 2 orang Cawapres tentang DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri), serta Link and Match sesungguhnya sama saja maknanya. Yaitu tidak sejalan, tidak sepadan, tidak terkait dan terintegrasi antara dunia pendidikan dengan dunia usaha atau dunia bisnis serta dunia nyata.
Seakan-akan ilmu yang sudah didapatkan oleh anak-anak dengan susah payah, ketika memasuki dunia kerja, seakan-akan semua tidak terpakai. Mubazir, sia-sia, tak ada gunanya, dan hanya menjadi kebanggaan orangtua saja bahwa anaknya sudah Sarjana! Itu saja.
DUDI yang diangkat oleh Ma'aruf Amin terkait dengan dunia penelitian yang ada dibawah naungan Kemenristek dan Pendidikan Tinggi yang seakan-akan tidak terintegrasi dengan dunia usaha dan bisnis. Alasan klasik terbatasnya sumber pendanaan dapat diatasi dengan tersedianya endowement-fund atau dana abadi bagi kegiatan penelitian.
"Kita sudah sepakat untuk menyediakan dana abadi riset disamping dana abadi pendidikan kebudayaan. Dengan berbagai upaya itu kami yakin riset kita di masa yang akan datang akan berhasil memajukan negara kita dan menuju 5 year challange,". "Mengefisienkan lembaga, menyatukan lembaga yang menangani riset karena itu penanganan lebih efektif,"Â kata Ma'aruf Amin.
Demikian juga dengan Link-Match yang diangkat oleh Sandiaga Uno, bukan istilah baru, sebab sudah lama issue ini diangkat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Link and match itu merupakan kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang dikembangkan untuk meningkatkan relevansi Sekolah Menengah Kejuruan  atau SMK dengan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha serta dunia industri khususnya.
Kebijakan ini diluncurkan pada era tahun 1990-an yang dipopulerkan oleh Prof. Wardiman Joyonegoro sebagai Menteri Pendidikan saat itu. Hampir semua dinamika pendidikan sejak saat itu selalu diwarani oleh Link and Match.
Tanpa disadari bahwa Link and Mtach lebih fokus dan menyasar pada penyelenggaraan pendidikan kejuruan di Indonesia, bahkan melalui  peluncuran Inpres no 9 tahun 2016 tentang revitalisasi SMK, Link and match menjadi  item penting yang harus menjadi perhatian  penuh oleh kalangan pengelola sekolah-sekolah kejuruan di Indonesia.
Dan selama lebih satu decade terakhir istilah yang muncul kembali adalah Pendidikan Vokasional, yang sesungguhnya jiwanya sama dengan Link and Match itu. Sebab bicara tentang Vokasional berarti selalu terkait dengan pendidikan kejuruan, pendidikan yang berorientasi pada coach, training pada spesifikasi kompetensi dasar yang sangat dibutuhkan oleh dunia industri dan dunia usaha.
Lalu, pendidikan Vokasional menyatu dengan BLK atau Balai-balai Latihan Kerja. Pelatihan kerja dimaksudkan sebagai keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
Pada pemahaman operasional sepeti itulah, diyakini bahwa Vokasional itu akan membentuk kemampuan anak-anak atau tenaga kerja dalam melakukan eksplorasi masalah pendidikan dan pekerjaan, penilaian terhadap kemampuan diri yang dikaitkan dengan masalah pekerjaan, perencanaan masalah pekerjaan, pengambilan keputusan dalam pemilihan pekerjaan.
Untuk itu, pendidikan Vokasional menjadi sangat spesifik, spesialisasi yang dibutuhkan oleh setiap item dunia usaha, dunia industri. Yang dihasilkan bukan oran-orang generalis tetapi orang-orang spesifik. Dengan demikian, setiap orang akan menjadi profesional dalam bidang pekerjaan yang ditekuninya.
Kemudian muncul apa yangn disebut dengan CORPU, singakatan dari Corporate Univeristy. Di Indonesia diakui fenomena Corpu ini mulai dieksplor pada awal tahun 2000an, ketika sejumlah perusahaan besar mendirikan universitas perusahaannya.
Perintis awal misalnya dilakukan oleh sejumlah BUMN seperti PT Telkom, kemudian PT PLN dengan PLN Corporate University, dan juga ada IPC Corporate University yang didirikan dan dimiliki oleh PT Pelindo. Dari waktu ke waktu semakin banyak. Tidak hanya BUMN tetapi juga perusahaan-perusahaan besar milik swasta, utamanya industri finansial perbankan.
Fenomena Corpu ini harus dilihat secara objektif. Kendati orientasinya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelatihan internal bagi karyawannya dalam rangka memulai kerja bagi karyawan baru, dan pengembangan bagi karyawan lama, tetapi sesungguhnya ini menjadi masukan dan kritik pada penyelenggaraan Perguruan Tinggi di Indonesia.
Artinya, disana ada kesenjangan atau gap antara hasil perguruan tinggi dengan kebutuhan SDM di dalam setiap perusahaan. Lulus perguruan tinggi tidak siap kerja di perusahaan. Mahasiswa hanya siap dilatih dan bukan siap kerja sehingga perusahaan membutuhkan extra pendidikan dan latihan untuk mapping dengan pekerjaan yang dijalankan.
Nampaknya, disinilah sebetulnya tidak terjadi Link and Match-nya. Itulah masalah yang harus diselesaikan dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia agar semua lulusan harus siap kerja dan bukan siap dilatih. Karena konsekuensinya menjadi sangat mahal dalam segala hal. Dan tentu saja Indonesia akan ketinggalan dalam banyak hal untuk mengejar kemajuan yang semua negara didunia melakukannya.
Revolusi Industri 4.0 dan Dunia Pendidikan Indoensia
Dunia terus berubah kearah yang semakin bertumbuh dan maju, sebagai konsekuensi dari upaya manusia untuk terus menerus mencari solusi bagi masalah-masalah kehidupan yang dihadapi.
Tidak saja dalam bidang sosial kemanusiaan, tetapi terlebih dalam bidang teknologi, informasi, dan komunikasi. Perubahan yang terjadi sedemikian rupa cepat dan sulit diduga, sehingga membawa serta berbagai masalah yang kehidupan suatu bangsa dan negara.
Hanya mereka yang terus setia mengikuti perubahan dan dinamika yang terjadi bisa eksis dan mampu memanfaatkan semua perubahan yang ada demi kemajuan kehidupan yang dikelola dan dihadapi.
Revolusi Industri 4.0 dan era disrupsi telah mendorong perubahan yang mendasar dalam dunia pendidikan di dunia ini. Semua kegiatan cenderung dikelola dengan berbasis pada kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan aplikasi dengan digitalisasi.
Begitu dahsyatnya perubahan yang dibawa, sehingga semua struktur kegiatan bisnis, industri juga berubah secara total, termasuk begitu banyaknya jenis job atau pekerjaan yang terpaksa harus hilang karena dapat digantikan dengan mesin atau robot.
Harus diakui, dunia pendidikan Indonesia semakin "runyam" adanya, ketika belum memiliki sistem yang mapan untuk menjawab berbagai persoalan penyelenggaran pendidikan, tiba-tiba revolusi industri 4.0 harus dihadapi dengan cepat dan cermat.
Intinya menjadi kunci yaitu sistem perguruan tinggi harus berubah kalau masih mau tetap hidup. Atau kalau tidak mau berubah  menyesuaikan dengan revolusi industri, maka Perguruan Tinggi, Universitas akan menjadi sekedar museum saja. Tidak mampu lagi menyiapkan SDM yang mampu mengelola DUDI.
Semoga dinamika yang sedang dialami dalam rangka Pilpres 2019, dapat menjawab tantangan yang sedang dihadapi oleh Dunia Pendidikan di Indonesia.
Demi Indonesia Maju dan Indonesia Menang!
Yupiter Gulo, 22 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H