Bulog Menuju Kedaulatan Pangan dengan Brand KITA
Apakah Anda mengenal Bulog ? Maksud saya apakah Anda tahu Bulog itu kepanjangan dari kata apa ? Â Lalu, apakah Anda juga mengerti tugas dan fungsi pokok dari Bulog ini ?.Â
Bila Anda lahir dan besar di era Orde Baru, saya masih yakin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Kalaupun tidak langsung atau lengkap jawaban Anda, paling tidak bisa menjelaskan Bulog ini dekat-dekat dengan "masalah apa", begitu.
Tetapi, coba tanyakan kepada generasi milenial atau generasi zaman now. Kira-kira apa jawaban mereka tentang Bulog dan produk-produknya ? Semoga Anda tidak terkaget-kaget akan faktanya.
Selama seminggu saya coba melakukan survey sederhana dalam empat kelas mata kuliah yang saya ampu. Jumlah mereka kurang lebih 114 mahasiswa, usia mereka rata-rata 21 tahun, jadi kelahiran tahun 1997/1998-an, rata-rata berada di semester 6,5, berimbang antara jumlah wanita dan laki-laki. Kepada mereka saya minta mengisi quesionaire tentang : Sebutkan singkatan dari kata Bulog, organisasi apa bulog ini, tugas utama Bulog apa, tujuannya apa, sebutkan produk yang dihasilkan oleh Bulog, dan apakah Anda pernah mendengar atau melihat atau membeli brand KITA ?
Anda tahu apa jawaban mereka ? Nyaris semuanya tidak bisa menjawab dengan benar. Bahkan istilah Bulog saja hanya sekitar 10% yang bisa menjawab dengan benar. Apalagi pertanyaan yang lain, praktis jawaban mereka kosong sama sekali.
Tetapi, lalu saya memberikan kesempatan lagi kepada mereka untuk menjawab kembali semua pertanyaan itu, dan saya memperbolehkan untuk menggunakan labtop dan gawai mereka untuk mencari di internet, selama 20 menit. Dan hasilnya, hampir 90% bisa menjawab dengan benar semua pertanyaan dalam quesionare itu.
Walaupun hasil survey sederhana ini tidak mewakili keseluruhan komunitas Indonesia, tetapi menjadi menarik untuk dicermati. Artinya, bila hasil survey ini dipakai untuk mewakili generasi milineal di Indonesa, yang saat ini usianya bergerak dari 15-34 tahun maka jumlahnya  sekitar 34,45% dari total populasi, tentu saja ini menjadi "permasalahan serius bagi Bulog". Sebab, 10 sampai 20 tahun kedepan generasi inilah yang akan memiliki peran dalam dinamika ekonomi dan bisnis masyarakat Indonesia ini.
Tentu saja yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa generasi ini tidak mengenal Bulog dan semua produk-produknya? Atau generasi milenial tidak perlu mengenal Bulog dan sepak terjangnya? Artinya, buat apa mereka harus mengenal Bulog kalau tidak ada relevansinya dengan kegiatan dan kehidupan mereka?
Bulog dan Orde Baru
Mendengar nama Bulog tentu saja tidak lepas dari pemerintahan era sebelumnya, yaitu Orde Baru atau ORBA. Bulog sebagai, Perum Bulog, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau disingkat Perum Bulog adalah sebuah lembaga pangan di Indonesia yang mengurusi tata niaga beras. Bulog dibentuk pada tanggal 10 Mei 1967 berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/Kep/1967.
Bulog lahir dan bertumbuh dan menjadi besar dalam era kepemimpinan Soerharto yang identik dengan Pemimpin Orde Baru. Sehingga segala persoalan yang muncul dalam pengelolaan tata niaga beras selalu terkait dengan permsalahan pada era ini. Tak bisa dipungkiri, Bulog menjadi warisan dari sebuah sistem dan kepemimpinan serta manajemen masa orde baru itu.
Artinya, dengan sentralisasi kepemimpinan yang ada, maka urusan tata niaga beraspun relatif bisa dikendalikan, baik kebutuhan masyarakat maupun pasokan yang dibutuhkan. Bahkan ketika kekurangan pasokanpun pemerintah dengan mudah bisa melakukan import sesuai kebutuhan. Dan kelihatannya, semua oke-oke saja, Para petanipun relatif tidak ada gejolak untuk semua kebijakan yang diambil pemerintah.
Walaupun, "nasib petani tetap berada pada level yang tidak menguntungkan", yaitu petani identik dengan kemiskinan, dan karenanyapun banyak orang tidak mau jadi petani, bila ada pilihan lain untuk bekerja.
Bulog dan Pasar
Memasuki era reformasi serta abad ke 21, Bulog memasuki dinamika pasar yang jauh lebih terbuka. Pelaku pasar memiliki kesempatan untuk menjadi pelaku dalam pemasokan maupun pembelian produk dan jasa, termasuk kebutuhan-kebutuhan primer seperti kebutuhan pokok masyarakat, beras, minyak goreng, gula, daging dan lain sebagainya. Situasi ini tentu ada jeleknya bagi Bulog maupun ada baiknya.
Jeleknya adalah dalam memasarkan produk-produk unggulannya harus bersaing dengan pemasok lainnya, yang kualitas dan harga produknya lebih baik dari Bulog. Bahkan cenderung Bulog selalu tertinggal beberapa langkah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain dalam memasok produk unggulan yang dimilikinya.
Berita baiknya, dalam kondisi demikian, Bulog harus berkerja keras, kreatif dan inovatif, tidak saja dalam meluncurkan produk barunya, tetapi terutama dalam mengelola saluran distribusinya. Kalau tidak maka segment pasarnya tidak berubah, yaitu segment tertentu saja yaitu kelas menengah kebawah.
Strategi Brand KITA
Keberanian Bulog untuk mengembangkan sektor komersialnya, patut diapresiasi dengan 5 bintang. Dengan produk unggulannya dibawah "bendara Brand KITA" yang fokus pada produk Beras, Minyak Goreng, Daging, Gula dan Terigu. Ini adalah salah satu indikator kuat Bulog mau berubah dan mau keluar dari zona nyamannya selama ini.
Sebagai permulaan tentu saja sangat baik dan perlu disupport. Tetapi, tidaklah mudah untuk tetap eksis apalagi menguasai pasar sebagai pemimpin pasar. Bulog membutuhkan waktu yang cukup dengan upaya yang terus menerus dan konsisten untuk menjaga keberadaan produk ini. Sebab, di pasar tidaklah seindah yang diharapkan, karena disana aka banyak mafia-mafia untuk memanipulasi pasar dan produk agar mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Masalah yang dihadapi oleh Bulog paling tidak ada beberapa yaitu, pertama, apakah spesifikasi dan kualitas produknya sudah sesuai dengan kebutuhan pasar yang ditargetkan ?, kedua, apakah harganya mampu bersaing dengan yang lain ?, ketiga, apakah salurah distribusinya memadai atau tidak ?, dan keempat sejauhmana promosi yang dilakukan efektif untuk mencapai segemen pasarnya. Sebetulnya ini adalah masalah klasik yang semua perusahaan faham betul bagimana amengelola Marketing Mixnya.
Kalau melihat hasil surbey sederhana yang saya lakukan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa promosi produk unggulan Bulog belumlah efektif. Perlu pengkajian lebih mendalam untuk segment pasar lainnya. Jangan-jangan mereka juga tidak kenal produk Bulog itu. Bila ini benar, maka segeralah strategi dirubah.
Saya mencoba menanyakan kepada beberapa Ibu Rumah Tangga apakah memilih Beras Kita untuk dibeli ? Pada umumnya reaksi mereka pertama Beras Kita itu apa? Saya lanjutkan bahwa itu produk unggulan Bulog. Dan umumnya mereka jawab, "tidak ah, kualitasnya gak enak". Ini tidak reprenstative tetapi bisa jadi sebuah indikasi kecil untuk di kaji lebih lanjut.
Meendermati Strategi brand KITA menjadi menarik. Secara semantik konsepnya memang terkesan "nasionalis", tetapi mungkin tidak menggigit apalagi kalau generasi milenial mendengarnya mereka agak resistan. Kenapa, generasi Y atau Milenial itu cenderung memiliki "ego yang tinggi", sehingga ketika mendengar kata KITA, mereka merasa berbeda.
Yang harus dilakukana oleh Bulog adalah usaha memasyaraktkan Bulog dengan Strategi Brand Kita ini. Dibutuhkan upaya extra dan terus menerus agar Brand ini menjadi icon ditengah-tengah pasar. Apakah Bulog mampu melakukannya? Ini tak mudah karena promosi besar-besaran yang dilakukan pesainnya akan menenggalamkan upaya yang pas-pasan saja.
Menuju Kedaulatan Pangan
Memahami tujuan besar Bulog adalah bersama mewujudkan kedaulatan pangan, berarti melakukan pekerjaan besar, dengan sumberdaya besar dan tentu saja pilihan Strategi yang jitu. Difahami bahwa kedaulatan pangan itu merupakan konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Mungkinkah Bulog mampu mewujudkan kedaulatan pangan ini  Kenapa tidak ! Sangat mungkin, apabila pilihan strateginya tidak salah. Kalau Bulog sendiri yang menjalankan mimpi ini, tentu saja mustahil dalam waktu singkat maupun panjang (?). Pilihannya adalah melibatkan seluruh stakeholders, terutama berbagai jaringan pemain dalam pemenuhan kedaluatan pangan ini.
Kalau demikian mungkin Strategi Aliansi menjadi pilihan yang cocok untuk dijalankan. Dengan strategi ini maka Bulog harus membangun kerjasama dengan semua pihak strategis yang terkait, mulai dari proses pensuplaian bahan baku, proses produksi, sampai pada distribusi. Dan tidak kalah penting adalah kerjasama dalam promosi besar-besaran produk unggulan bulog. Era pasar bebas, Bulog harus mensejajarkan produknya dengan produk-produk lainnya. Sehingga konsumen dapat memilih mana yang sesuai dengan kebutuhannya.
Inilah masalah Perilaku Konsumen yang harus mampu dibaca dan diantisipasi oleh Bulog, dan diarena itulah sesungguhnya medan pertarungan dan persaingan bisnis berada. Yaitu merebut loyalitas konsumen untuk jangka panjang, kalau perlu untuk seumur hidup.
Dengan strategi aliansi maka kemungkinan itu bisa diatasi dengan efektif, terutama ketika bicara saluran distribusi yang sangat panjang untuk menjangkau sebanyak mungkin dan sejauh mungkin masyarakat Indonesia sebagai target pasarnya. Bekerja sama dengan semua Supermarket, Hypermarket, Minimarket, Midimarket, Koperasi maupun yang lainnya.
Sosialisasi kepada seluruh stakeholders untuk mewujdukan kedaulatan pangan di Indonesia, menjadi agenda yang tidak boleh berhenti. Sebab, ada kesan sangat kuat bahwa untuk mewujudkan kedaulatan pangan itu hanya menjadi tanggungjawab pemerintah saja, khususnya hanya menjadi tanggungjawab Bulog sendirian. Ini tidak boleh terjadi karena menjadi tanggungjawab semua pihak strategis yang terkait !
Yup. 26/05/18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H