Dalam beberapa tahun terakhir adanya utas mengenai Geopolitik Energi dalam mengeksplorasi  energi, keamanan, dan politik internasional menjadi sebuah hal yang subjektif. Turning pointnya terjadi pada tahun 2011 dimulai berangkat dari hal untuk meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana permintaan dan pasokan energi membentuk politik internasional juga sebaliknya.Â
Hal Ini jugalah yang mendorong untuk menginformasikan pembuat atau pemangku kebijakan dan mahasiswa tentang adanya tantangan utama untuk keamanan energi global dan, jika memungkinkan, untuk mengusulkan cara berpikir baru dan mengatasi masalah ini. Proyek ini berfokus pada energi konvensional dan alternatif, karena keduanya akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sebuah realitas geopolitik.
 Pekerjaan ini dimulai dari sebuah premis bahwa energi telah lama membentuk sistem internasional, menentukan kekuatan yang besar serta infiltrasi dalam perang. Negara-negara kaya akan batu bara adalah yang pertama melakukan industrialisasi dimulai pada tahun 1800-an.Â
Peralihan energi minyak dari batu bara selama beberapa abad berikutnya membawakan peningkatan kepentingan strategis di Timur Tengah. Demikian pula, keputusan-keputusan yang dibuat mengenai energi dewasa ini  memengaruhi seperti apa dunia di masa depan, sama halnya peristiwa politik dan keamanan hari ini, apakah itu hadirnya Arab Spring  atau kejadian alam lainnya baik secara organik atua non-organik.
Terlepas dari sebuah impian untuk beralih dari bahan bakar fosil, minyak dan gas akan tetap menjadi primadona dalam bauran energi global dan dunia energi akan terus dikonsumsi oleh kebutuhan untuk menemukan minyak dan gas untuk memenuhi permintaan global yang terus meningkat.
Bagai 2 sisi mta uang  politik dan keamanan akan terjalin erat dalam pencarian ini. Pada saat yang bersamaan tekanan iklim dan keamanan adalah nyata dan, seiring waktu berjalan. Teknologi dan kebijakan akan memungkinkan dunia beralih dari fossil fuel ke sumber energi yang lebih ramah.
Dalam perjalanannya sejarah mencatat, dengan adanya pergeseran bauran energi global tentu akan membawa serta dampak perubahan ekosistem politik dan keamanan yang besar. Bersama-sama, faktor tersebutlah yang mendorong untuk menemukan minyak dan gas dan peralihan ke energi alternatif akan menjadi penentu penting dunia tempat kita tinggal.
 Mendefinisikan geopolitik energi sebagai 'pengaruh faktor-faktor geografis, seperti layaknya distribusi penawaran dan permintaan, pada tindakan tersebut hadirnya negara dan non-negara untuk memastikan pasokan yang memadai, terjangkau, dan tepat sasaran.  Persaingan atas akses ke bahan bakar fosil, khususnya minyak, telah menjadi komponen kunci dari banyak kajian geopolitik sejak krisis minyak pada  tahun 1970-an.
Cakrawala geopolitik telah dilatih tentang perselisihan dan ketegangan di bagian dunia yang kaya minyak seperti Teluk Persia, Kaspia, dan Arktik, atau titik sempit seperti Selat Hormuz. Belakangan, itu juga termasuk ketegangan atas gas alam antara UE dan Rusia.
PARADIGMA GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI ENERGI DI KAWASAN SEBAGAI CENTER OF ATTENTION
Munculnya konsepsi Indo-Pasifik dikawasan sebagai isu politik yang sering digaungkan yang termotivasi untuk menselaraskan sebuah capaian politik praktis di Kawasan. Sebuah point of view tentang kebangkitan China sebagai poros ekonomi dan politik raksasa di Asia bahkan dunia menyebabkan adanya perimbangan kekuatan melawan serta menandingi negara adidaya lainnya termasuk di Kawasannya.
        Wacana konstruksi geopolitik dan geostrategi dikawasan melalui pergeseran kekuatan dari barat ke timur berdampak perebutan pola pandang dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Power Politics inilah yang mempunya tujuan memperluas dan mempertahankan pengaruhnya di Kawasan. Ditambah Prakarsa China dengan Jalur Suteranya (OBOR). Pemahaman tentang perkembangan geostrategi Kawasan baiknya diberikan sebuah gambaran tentang upaya-upaya suatu negara dalam prosesnya baik secara SDM ataupun Resourcesnya.
        Kei Koga, dalam sebuah tulisannya, "Japan's Indo-Pasific' Question: Countering China or Shapping a New Regional Order". Bisa dibilang hal itu menjadi penekanan pentingnya sebuah eksistensi dalam membentuk tataran regional pada sebuah aktualisasinya di Kawasan.
        Dalam scope geopolitik Indo-Pasifik lainnya yang berdampak langsung pada situasi energi dan keamanan adalah Jepang. Akibatnya, karena Jepang bertujuan untuk meningkatkan keamanan energinya, Jepang juga berupaya untuk meningkatkan situasi keamanannya secara menyeluruh guna menghadapi  kehadiran ekonomi dan militer China di wilayah tersebut.
        Jepang mempunyai kekhawatiran atas pengaruh status, dan keamanannya sendiri mungkin terancam. Oleh karenanya, Jepang mencoba meningkatkan pengaruh China dengan secara aktif membangun hubungan dengan negara-negara lain di kawasan dengan menciptakan sekutu dan mitra, meningkatkan hubungan perdagangan energi, dan melakukan investasi besar dalam proyek infrastruktur regional. Jepang menilai langkah China dalam mengklaim dan menggunakan kendali atas sebagian besar Laut China Selatan (LCS) sebagai ancaman yang sangat berbahaya terhadap keamanan Jepang serta wilayah kawasan.
        Sebagian besar pengiriman minyak mentah dan sejumlah besar pengiriman LNG yang ditujukan ke Asia Timur harus melewati Laut Cina Selatan. Dalam hal ini  data tercatat  sekitar  92 persen impor minyak mentah dan 50 persen impor LNG pada 2016 melalui SCS. 2 Selat Malaka menghubungkan LCS dengan Samudera Hindia dan merupakan Check point  utama di Asia, yang dilalui sekitar sepertiga pengiriman minyak mentah maritim dunia.
Kawasan ini merupakan sebuah tempat transit penting untuk berbagai jenis perdaganan termasuk LNG. Pada Selat Malaka, yang menghubungkan LCS serta Samudera Hindia merupakan asset penting dan negara-negara seperti China, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan bergantung di wilayah ini.
        Pertikaian yang terjadi China dan Taiwan atau Amerika Serikat dan China di kawasan dapat mengganggu perdagangan internasional yang dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi status ekonomi global.
        Hubungan ekonomi tentu saja menjadi factor penting bagi aspek politic internasional. Dapat ditinjau dari perspektif domestic, ekonomi merupakan sumber kekuatan utama suatu negara yang berfungsi menyediakan sumber daya baik material dan intelektual.
        Hal ini yang menjadi inisiasi dari lahirnya sejumlah negara-negara di Kawasan seperti Amerika, Jepang,India bahkan Australia dengan melalui berbagai cara atau skema dalam bingkai konsep Indo-Pasific.
        Sama halnya dengan jepang, India juga menunjukan minat besarnya terhadap konsep geostrategi Indo-Pasifik. Tidak seperti negara lain yamg mengadopsi konsep Indo-Pasifik versi barat, pandangan India relative berbeda. India mendefinisikan mega-kawasan yang membentang jauh dari pantai Afrika hingga Amerika. Oleh karena itu prioritas India di Kawasan ini adalah membangun hubungan yang lebih serius dalam visi ekonomi-stratejik, tidak hanya dengan Asia Timur dan Tengara, tetapi juga dengan Kawasan di Samudera Hindia, Laut China Selatan(LCS)dan Pasific untuk memperkuat posisinya di Kawasan.
        Dengan letak geografis India sebagai Center of Excellence di Kawasan Indo-Pasific menjadikannya selalu berhati-hati dalam memperjuangkan inklusivitas agar tetap diterima oleh negara di seluruh wilayah Kawasan.
INDONESIA SEBAGAI AKSELERATOR GEOPOLITIK ENERGI DI KAWASAN
      Cita-cita menjadikan Indonesia sebagai kekuatan maritim dunia yang berlandaskan Poros Maritim dunia semakin menguat seiring adanya tren baru bernama konsep Kawasan Lingkar Indo-Pasifik, dimana kawasan yang menjadi atau dinotice oleh negara adidaya. Dalam rangka mewujudkan visi Poros Maritim Dunia setidaknya diperlukan strategi dasar yang terdiri atas menggiatkan pemahaman tentang Konsepsi Wawasan Nusantara dan Deklarasi Juanda 1957.
    Dalam sebuah percaturan geopolitik dan geoekonomi dunia dulu tergabung menjadi satu kesatuan, dewasa ini hal tersebut nampaknya tidak terjadi khususnya oleh Indonesia. Geopolitik Indonesia yang saat ini mungkin masih teradopsi dari Washington serta Geoekonomi-nya terafiliasi oleh China.
      Hal inilah yang seharusnya dimaksimalkan oleh Indonesia sebagai bandul dari negara-negara yang ada di kawasan Indo-Pasifik. Sehingga membangun ruang bersama untuk koeksistensi dan membangun keyakinan negara berkembang lainnya. Dan juga membangun sebuah sistem baru dengan mekanisme yang efektif untuk memelihara perdamaian,stabilitas dan supermasi hukum yang akan berlaku. Dengan memiliki peran dan kemampuan untuk menghimpun membuat Indonesia dilirik sebagai negara yang paling realistis sebagai poros penyeimbang dari negara para negara adidaya sebagai pemeran utamanya.
      Indonesia sebagai epicentrum dari konsep Indo-Pasifik yang terbentuk dari ilustrasi yang berkembang secara dinamis dan organik dari berbagai suduat pandang, salah satunya meninjau dari aspek biografis yang menghubungkan dua lautan besar dunia yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Fakta geopolitik dan geostrategi ini yang seharusnya menjadi barometer Indonesia sebagai mitra stratejik negara-negara major power.
     Dan sudah seharusnya Indonesia memantapkan konsep Trisakti dari Founding Father Ir.Soekarno yang masih belum efektif dalam sebuah relevansi dinamika global yang mana hanya sering kali menjadi hipotesa belaka.
    Sebuah perspektif sosial tentang energi yang merupakan dimensi penting dari kesejahteraan masyarakat. Maka, pengelolaan energi yang tepat perlu disoroti agar terbangun kehidupan yang lebih adil dan setara. Dalam dinamika perkembangan energi khususnya EBT memang membutuhkan fleksibilitas dalam berbagai macam katalog yang tersedia.  Sebab kunci utama dalam transisi energi terbarukan yaitu adanya berbagai bauran sumber Energi Baru dan Terbarukan(EBT) yang sebenarnya dapat diaplikasikan oleh suatu negara untuk pengembangannya. Transformasi energi yang saat ini dimotori dengan adanya perkembangan energi terbarukan yang sangat pesat dapat membawa perubahan dalam ruang lingkup dan dampak dari geopolitik yang sudah terbangun selama ini.
    Selain itu komitmen politik menjadi pondasi penting dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) sebagai pemasok utama sumber energi nasional. Dengan adanya komitmen, regulasi akan mudah dilahirkan sebagai bridging kebutuhan industri dan investor energi terbarukan. Kebijkan luar negeri Indonesia tampaknya mulai nyata dalam sebuah terminologi lainnya, sehingga Indonesia gigih dan terus  melanjutan promosi dan memperjuangan haknya sebagai negara kawasan yang juga berdaulat sebagai indentitas bangsa.
Dengan berazaskan falsafah Pancasila dan haluan yang bebas aktif sudah layaknya merangkul negara-negara major power dalam menjalin kesepahaman antar negara di kawasan diluar dari diskursus politik global yang tersedia. Terutama mewujudkan konsep Indo-pasifik sebagai bingkai kerjasama multilateral pada leading sector geopolitik energi secara massive.
Yuwono Setyo Widagdo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H