Mohon tunggu...
Yunk GAN
Yunk GAN Mohon Tunggu... -

"dalam kehidupan kita sehari-sehari, kita dpt melihat bahwa bukan kebahagiaan yang membuat kita berterima kasih. Namun rasa terima kasihlah yang membuat kita bahagia....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah: Seorang Pelacur yang Membunuh Tuhannya

26 Maret 2010   15:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Jika menurutmu Tuhan itu sumber masalah, kau abaikan saja Dia,
atau... "sejenak dia berhenti. Lalu dengan pelan berkata sambil
tersenyum misterius:"Bunuhlah Dia. Kujamin masalahmu hilang,"
Dan pelacur itu kaget lalu bertambah jengkel. Membunuh Tuhan? "Apa
maksud paman?"

"Ya, tinggalkan dia. Hiduplah tanpa Tuhan."
Pelacur itu jadi ragu, jangan-jangan lelaki ini tak waras. Tapi,
setelah berpikir agak lama, rasanya anjurannya tampak masuk akal.
Jika ia tak memikirkan Tuhannya lagi, tak memikirkan sorga neraka,
tentunya ia tak perlu takut lagi, walau hati kecilnya masih cemas
tentang keadaannya setelah mati.

Tetapi jika ia tak takut lagi kepada Tuhannya yang keras itu,
bukankah ia dapat hidup dengan lebih nyaman dan tenang?
Ketidakpastian nasibnya di akhirat akan lenyap, sebab ia telah membunuh Tuhan yang menguasai dunia-akhirat. Memikirkan hal ini, seketika hatinya menjadi tenang, terbitlah terang di pikirannya.

Ya, ia akan bunuh atau tinggalkan saja Tuhannya itu. Ia akan menapak
hidup ini dengan riang dan bebas dari beban dosa dan kecemasan akan
murka-Nya. Ia merasa bebas.

Langit masih biru, awan mulai berarak dan tiupan angin menyusut.
Daun gemerisik di kejauhan.

Jadi demikianlah, pelacur itu, setelah berterima kasih kepada lelaki
itu, pulang ke lokalisasi. Dia kini merasa siap menentukan nasibnya
sendiri. Ia tak mau tunduk pada takdir yang menetapkannya jadi
pelacur.

Karena ia sudah membunuh Tuhan, bukankah takdir itu sudah tak
berlaku lagi? Maka dengan mantap ia bilang kepada germonya untuk
berhenti sebagai pelacur. Ia siap cari kerja lagi, apa saja,
asal bukan melacur.

Pikirannya kini dipenuhi banyak rencana, dan seiring dengan semakin tenangnya pikirannya itu, ia merasakan banyak kesempatan terbuka lebar di hadapannya. Ia punya rencana jadi TKW, atau pembantu domestik. Ia juga punya rencana untuk membuka warung makan. Modalnya bisa pinjam temannya. Pokoknya sejak ia membunuh Tuhan, pilihan tak lagi terbatas. Ia tak lagi hanya punya pilihan melacur!

Takdir-Nya sudah dihancurkan! Ah, benar sekali nasihat lelaki itu:
membunuh Tuhan yang jadi sumber masalah. Kenapa tidak dari dulu
saja! Kini ia jadi pembantu. Sekarang dia tenang dan bahagia dengan
keadaannya yang sekarang. Pagi itu ia merasa dadanya sangat lapang.
Majikannya akan pergi selama seminggu, dan dia boleh pergi ke mana
saja selama seminggu ini. Dia ingin berlibur, dan tempat pertama
yang muncul di pikirannya adalah ngarai itu. Ya, ngarai yang
mengubah jalan hidupnya.

Pagi buta dia berangkat. Setelah tiga jam sampailah dia di sana.
Pemandangannya masih sama, masih sepi dan masih berangin. Hanya saja
burung yang berputar di angkasa tak ada. Ia duduk di batu tempat dia
berbincang dengan lelaki itu. Ia tersenyum ketika mengenang pertemuan itu.

Angin dingin kembali berhembus, menyejukkan wajahnya, dan angin itu juga yang menyibakkan rambut menutupi wajahnya. Ia memejamkan matanya, menarik nafasdalam-dalam, seolah-olah hendak menghisap masuk semua kesunyian yang tenang itu ke dalam hatinya, seolah hendak menyimpannya dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun