"Sebab aku terlampau kotor, dan hanya api neraka saja yang bisa
menghapusnya. Bukankah Dia itu Hakim Maha Adil? Tentunya kesalahan
tak dihapus begitu saja. Bukankah menurut kitab suci yang pernah aku
baca perbuatan buruk sebesar zarah sekalipun akan mendapat
balasannya?"
"Jadi menurutmu Tuhan itu bagaimana?"
"Dia Maha Adil. Dia pasti menepati janji. Aku ingat dulu ustad di
desaku mengatakan begitu. Dia akan menghukumku..." sampai di sini
dia menangis lagi.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. tampak jelas dia begitu
masygul."Terlalu banyak orang yang seperti dia" katanya dalam hati.
Tapi ia sadar bahwa pelacur itu sudah banyak mendapat nasihat, jadi
dia merasa tak perlu memberinya nasihat lagi.
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang sejenak dia berkata: "Kau tertekan sekali. Hidupmu demikian pedih karena Tuhanmu menghendaki begitu, kan? Tak memberimu pilihan selain melacur, dan tentu akan menghukummu, " katanya, mengulang kata-katanya yang tadi telah diucapkan.
Sambil terisak pelacur itu mengangguk, "Ya, Dia tak memberiku banyak
pilihan."
"Jadi kalau begitu Tuhanmu itulah sumber masalahnya,sebab Dia-lah
yang menjadikanmu tertekan begini."
Mendengar ini, pelacur itu agak ragu. Benarkah Tuhannya yang menjadi
sumber masalah? Benarkah takdir-Nya yang menciptakan semua persoalan
yang menimpanya kini? Ia jadi bimbang, tak tahu apa yang
mesti dikatakan. Seketika pikirannya kosong, kalut. Ia jadi takut
sendiri.
Apakah takdir Tuhan yang mempermainkannya? Ia tiba-tiba ingat betapa para lelaki di lereng Merapi yang tidur lelap bersama istri mereka yang sah tersapu oleh hawa panas dan desa mereka hancur, sementara itu para lelaki kaya yang selingkuh dan menidurinya tak tersentuh sama sekali oleh bencana ini.
Apakah penduduk desa itu lebih jahat daripada lelaki kaya yang menidurinya? Apakah penduduk desa itu lebih bejat moralnya ketimbang penduduk kota? Apakah perbuatan maksiat di sana lebih banyak dan lebih
dahsyat ketimbang di kota? Jika tidak, kenapa bencana itu menimpa
mereka?
Ia lalu membandingkannya dengan nasibnya sendiri. Ia ingat bekas suaminya, ia ingat germonya. Ia ingat maka kecilnya. Ia ingat suara anak-anak desa yang mengaji. Ia ingat penduduk desanya yang rajin bertani, mencari nafkah secara halal, tetapi tak kunjung makmur. Ia ingat lelaki yang menidurinya, yang mencuri, korupsi tetapi hidupnya makmur.
Jadi di mana keadilan Tuhan? Jadi apakah Tuhan selama ini hanya
mempermainkan manusia? Lagipula, adakah jaminan penduduk yang
tertimpa bencana itu masuk sorga? Siapakah yang bisa memastikan para
lelaki yang menidurinya itu kelak mati sebelum bertobat?
Dan kepalanya seperti melayang,ia bingung. Tapi ia menjadi jengkel,
sebab lelaki ini justru menambah persoalan bagi dirinya. Bukankah
lebih baik dia mati tadi?