Malam itu, aku hanya duduk di depan benda pipih yang sudah satu tahun ini menjadi teman baik kala aku sepi.
Sepi dari jauhnya orang tua, saudara, bahkan teman-teman seperjuangan yang sama dalam satu negeri.
Dulu, waktu masih di negeri sendiri, semua terasa mudah saja aku mengatakan, "Nanti kalau sudah sama-sama di Taiwan kita ketemuan, ya?"
Faktanya?
"Aku nggak bisa libur. Maaf, ya?"
"Nenekku nggak bisa ditinggal. Dia pikunnya kumat!"
Dan sederet alasan yang lain.
Memang tak bisa dipungkiri, sebagai BMI (Buruh Migran Indonesia) di negeri non-muslim ini, menjadikanku banyak belajar memahami.
Memahami bahwa hidup bukan hanya tentang diri kita pribadi, tapi juga orang lain. Jika di negeri sendiri sering beryanya suku dan lainnya, di Taiwan atau bahkan negeri lainnya, cukup jawaban "Aku daei Indonesia." Sudah barang tentu tanggapannya;
"Wah, ternyata kita satu negara!"
Hal yang sama ketika awal aku berteu dengannya. Seorang teman baik yang lebih tua satu tahun dari usiaku. Tapi pengalaman di Taiwan, sudah cukup membuatku kagum.
"Aku sudah tujuh tahun di Taiwan. Itu belum seberapa berat ujiannya untukmu, sabar saja. Abaikan kalau perlu," katanya sambil menjilati gagang sate yang tinggal satu tusuk.
"Memang mbak pernah mengalami hal lebih menegangkan daripada marah-marahan sama majikan?" tanyaku pula menimpali.
"Di Taiwan itu, hampir semua sama rata. Sama rasa. Marah-marahan sama majikan, sama ejensi, bahkan sama teman pun sudah tak perlu terlalu dipikirkan," jawabnya lantas melanjutkan, "Sudahlah, jalani saja. Kalau dia nanti main tangan, laporkan!"
Aku hanya tersenyum. Mudah saja, ya? Memahami jalan pemikiran orang. Mesko melakukan sendiri, belum tentu terasa ringan, bukan?
Dia menepuk pundakku lembut lalu bertanya pelan, "Masih berminat buat pulang cuti kamu?"
Aku terkesiap. Membiarkan tusuk sate menghadap ke wajahnya.
"Hati-hati tusuk satemu ah!" katanya sambil menyingkirkan tanganku.
"Hehehe maaf, Mbak," kekehku lalu membuang tusuk sate ke tong sampah terdekat. "Insya Allah aku jadi pulang buat cuti."
"Yakin? Nggak kasihan sama nenek di sini?"
"Ada kasihan, sih! Tapi keluargaku pasti juga kan rindu buat bertemu, Mbak. Samalah dengan perasaanku," tuturku sambil mengelap ingus sebab kepanasan.
Oh, ya! Taiwan sedang musim panas. Ada di antara Kompasioner yang mau libur lebaran ke Taiwan? Hehehe
Sambil terus makan masakan yang sudah dihidangkan, masing-masing kami tenggelam dalam perasaan yang sedikit berlainan.
***
[Habis dari mana tadi?] tanya seorang kawan di pesan WhatsApp.
[Keluar sama temen. Kenapa?]
[Nggak kenapa. Hati-hati, ini malam lebaran, lho!]
[Iya, tahu.]
[Malam lebaran di mana?]
[Di deket klenteng tadi. Nungguin bunyi lonceng ama dupa.]
[Kamu mau ngepet? Hahaha]
[Iya, ngepetin hatimu. Wkwkwk]
[Aku siap terbang ke situ.]
[Sini kalo bisa!]
[Nanti kamu malu nggak ketemu aku?] godanya lalu mengirimiku emot tersenyum malu-malu.
[Elaahh, bakal nyampe juga kagak!]
[Ya udah, selamat hari raya, ya? Maap kalo aku banyak salah sama kamu,] katanya mulai serius.
[Siaappp. Maafin aku juga, ya?] balasku sambil memberi emot orang berkaca-kaca matanya.
Saat semua drama lebaran selesai, satu hal yang kutahu:
"Perihal rindu, aku masih bisa menahan sampai kapan pun waktu. Tapi perihal cemburu---sebab lebaran jauh dari keluarga---menjadi perasaanku tak menentu."
Aku menangis di hadapan gawai. Membiarkan cerita-cerita bahkan bualan yang baru terselesaikan itu merengkuh lembutnya air mataku.
-selesai-
Taiwan, 5 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H