"Aku sudah tujuh tahun di Taiwan. Itu belum seberapa berat ujiannya untukmu, sabar saja. Abaikan kalau perlu," katanya sambil menjilati gagang sate yang tinggal satu tusuk.
"Memang mbak pernah mengalami hal lebih menegangkan daripada marah-marahan sama majikan?" tanyaku pula menimpali.
"Di Taiwan itu, hampir semua sama rata. Sama rasa. Marah-marahan sama majikan, sama ejensi, bahkan sama teman pun sudah tak perlu terlalu dipikirkan," jawabnya lantas melanjutkan, "Sudahlah, jalani saja. Kalau dia nanti main tangan, laporkan!"
Aku hanya tersenyum. Mudah saja, ya? Memahami jalan pemikiran orang. Mesko melakukan sendiri, belum tentu terasa ringan, bukan?
Dia menepuk pundakku lembut lalu bertanya pelan, "Masih berminat buat pulang cuti kamu?"
Aku terkesiap. Membiarkan tusuk sate menghadap ke wajahnya.
"Hati-hati tusuk satemu ah!" katanya sambil menyingkirkan tanganku.
"Hehehe maaf, Mbak," kekehku lalu membuang tusuk sate ke tong sampah terdekat. "Insya Allah aku jadi pulang buat cuti."
"Yakin? Nggak kasihan sama nenek di sini?"
"Ada kasihan, sih! Tapi keluargaku pasti juga kan rindu buat bertemu, Mbak. Samalah dengan perasaanku," tuturku sambil mengelap ingus sebab kepanasan.
Oh, ya! Taiwan sedang musim panas. Ada di antara Kompasioner yang mau libur lebaran ke Taiwan? Hehehe