Mohon tunggu...
Yunita Endah Sulistiyowati
Yunita Endah Sulistiyowati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Unissula. Dosen : Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H.

Hanya manusia yang butuh lebih banyak cahaya matahari pagi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Perempuan Karir Bukan Egois, Hanya Realistis

18 Oktober 2021   14:23 Diperbarui: 19 Oktober 2021   19:34 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski pada zaman sekarang baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam urusan mengenyam pendidikan maupun melanjutkan ke jenjang karier yang diinginkan, pada praktek ada sedikit perbedaan perlakuan bagi keduanya. 

Tidak seperti laki-laki yang diwajibkan memiliki karir guna memenuhi kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga, perempuan sering kali dihadapkan pada pilihan seperti ingin menikah atau cari keja dulu? atau bila sudah menikah apa enggak capek ngurus rumah sambil kerja? dan beragam pilihan lain yang seperti menyaratkan para perempuan untuk pilih pekerjaan atau keluarga.

Tidak jarang pula perempuan karier mendapatkan pandangan tidak begitu menyenangkan dari orang awam. 

Selayaknya anggapan bila mengambil dua peran, di rumah dan di kantor, maka seseorang tidak akan bisa benar-benar bisa bersikap adil pastinya akan ada masa untuk berat sebelah. 

Entah urusan kantor yang tertnda atau keabsenan dalam memberikan peran di keluarga, tidak jarang pula bila kedua sisi seimbang justu akan berbalik menyerang kesehatan dari si perempuan. 

Ada beberapa anggota dalam kelompok masyarakat yang mendukung keaktifan perempuan dalam hal meraih pendidikan dan meniti karir tapi hanya selama dia belum menikah. Ada pula yang beranggapan jika perempuan yang menjadi pimpinan eksekutif dalam sebuah perusahaan lebih rentan untuk mengalami perceraian dibandingkan laki-laki dengan tingkat karier yang sempurna. Tapi jika ingin dipikirkan kembali, apakah perempuan karier itu egois?

Alasan yang paling sering dijumpai adalah terkait kebutuhan ekonomi, entah karena pendapatan pihak laki-laki yang tidak dapat memenuhi semua pengeluaran dalam waktu satu bulan hingga diperlukan adanya sumber penghasilan lainnya, tapi juga seringkali ditemui kasus tentang ketidakhadiran figur laki-laki dalam sebuah keluarga. 

Para perempuan tentu berhak untuk mengambil alih peran itu, bahkan diwajibkan, agar tetap bisa bertahan di arus perkembangan dunia yang sellau bertambah cepat. 

Ada juga perempuan yang memiliki semangat kerja untuk berterima kasih pada kedua orang tua yang telah menyekolahkan dirinya, membahagiakan orang tua melalui ilmu yang bermanfaat pastilah keinginan semua anak. 

Hal-hal seperti ini tentunya bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan egois. Entah laki-laki ataupun perempuan yang sering kali dicap sebagai pribadi yang egois, penulis yakin jika dibalik semua langkah yang diambil pastilah telah melakukan beberapa pertimbangan yang tidak mudah.

Dalam sila kedua Pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab yang mana menjadi dasar utama atas pilar kemanusiaan yang dijunjung oleh bangsa kita. Pengakuan atas persamaan derajat dan hak serta kewajiban yang bersifat asasi bukan hanya sekedar sebagai jembatan untuk perbedaan suku, keturunan, agama, kepercayaan, kedudukan sosial, dan warna kulit tetapi jauh lebih sederhana lagi, hal itu juga menjamin tentang kesetaraan baik laki-laki maupun perempuan.

Dimata bangsa kita tidak terdapat istilah kata laki-laki atau perempuan, yang ada hanya warga negara Indonesia yang satu, bulat serta utuh.

Pancasila dengan jelas telah menjamin bila negara Indonesia sangat mendukung adanya kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan karena bilamana dalam lingkup yang sederhana seperti itu saja tidak dapat teratasi bagaimana bisa negara ini menjaminkan sebuah kesetaraan dalam lingkup perkara yang lebih luas?

Para pendiri negara kita melalui Pancasila telah menitipkan sebuah harapan agar dimasa mendatang perempuan bisa memiliki kesetaraan untuk memperoleh hak serta kewajiban yang asasi. Suatu hal yang pada masa mereka belum bisa terlaksana secara sepenuhnya. Pancasila tidak semata-mata memperjuangkan harkat dan martabat para perempuan melainkan siapapun yang merasa mengalami ketimpangan dan ketidakaadilan—sekali lagi—tak peduli apapun jenis kelamin dan gender-nya. Permasalahan-permasalahan sederhana namun mengakar kuat dalam budaya serta kehidupan sehari-hari bangsa ini jauh sebelum adanya kemerdekaan Indonesia, yang mungkin belum juga bisa benar-benar dihilangkan secara sepenuhnya. 

Selain itu, bila ada beberapa pihak yang mengatakan bila perempuan karir telah menyalahi kodrat sebagai mana perempuan yang seharusnya berada di dalam rumah, dalam pandangan islam perempauan memang dianjurkan untuk berada di rumah namun tidak ada satupun petunjuk maupun ketetapan yang menyatakan bahwa wanita dilarang bekerja diluar rumah khususnya jika pekerjaan tersebut membutuhkan peran dan penanganan wanita. 

Menurut hukum Islam, perempuan berhak memiliki harta dan membelanjakan, menggunakan, menyewakan menjual atau menggadaikan atau menyewakan hartanya. Mengenai hak perempuan yang bekerja diluar rumah, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam memandang wanita karena peran dan tugasnya dalam masyarakat sebagai ibu dan isteri sebagai peran yang mulia. 

Dari Mu‘âdh ibn Sa‘ad diceritakan bahwa budak perempuan Ka‘ab ibn Mâlik sedang menggembala kambingnya di Bukit Sala’, lalu ada seekor kambing yang sekarat. Dia sempat mengetahuinya dan menyembelihnya dengan batu. Perbuatannya itu ditanyakan kepada Rasulullah Saw. Beliau menjawab, “Makan saja!” (H.r. al-Bukhârî)

Meski begitu Islam tidak serta merta melepaskan perempuan untuk terjun bebas dalam dunia kerja, ada beberpa aturan yang pastilah harus ditaati guna tidak menyalahi khodrat yang dimilikinya. 

Maka janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakan ucapan sehingga membuat condong orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan berkata-katalah dengan perkataan yang ma’ruf/baik”.(TQS. Al-Ahzab: 32) 

Tetap menutup aurat yang mana merupakan kewajiban selayaknya tercantum dalam An-Nur (24):31 

Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram) dan memelihara kehormatan mereka dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka, kecuali yang zahir daripadanya. Dan hendaklah mereka menutup belahan baju mereka dengan tudung kepala mereka.“ 

Disarankan untuk menghindari tempat yang mana memungkinkan laki-laki dan perempuan untuk berbaur, ini bertujuan demi kebaikan si perempuan  agar terhindar dari fitnah baik yang sudah menikah ataupun yang belum menikah.  Mendapatkan izin dari orang tua maupun wali yang mana dapat dipertanggungjawabkan serta pekerjaan yang diambil tidak membuat seorang perempuan itu lalai dalam tugasnya baik sebagai umat beragama ataupun tanggung jawabnya dalam keluarga selayaknya yang tercantum dalam An-Nisa (4) : 34.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”

Tidak ada yang salah bila perempuan memutuskan untuk memperjuangkan karirnya terlebih dahulu maupun membuat keputusan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Yang salah adalah mereka yang menganggap salah satu dari keduanya lebih unggul dan membuat pihak lainnya terlihat lebih rendah, kuno, dan sebagainya. Semua perempuan berhak untuk memilih akan seperti apa dirinya hari ini dan esok hari tanpa perlu dicap egois.

Sejalan dengan Pancasila yang tidak pernah mempermasalahkan setiap perbedaan yang ada dan justru mampu menempatkan banyak pendapat untuk tetap bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, seseorang baru dinilai salah apabila dia memandang rendah pada yang lain, yang bukan termasuk dengan golongannya. Berpandangan bila kelompok tempatnya berada adalah yang paling benar sedangkan yang lainnya salah.

(Dr. Ira Alia Maerani, M.H., dosen Fakultas Hukum UNISSULA, Semarang; Yunita Endah Sulistiy0wati, mahasiswa Fakultas Teknologi Industri (FTI) Prodi Teknik Informatika UNISSULA, Semarang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun