Setiap negara utamanya mereka yang masuk negara maju selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk liga olahraga di negaranya sendiri, dengan harapan akan menyedot atensi masyarakat dunia untuk datang atau sekedar mengikuti kompetisi yang diadakan di negaranya itu.
Premier League atau dikenal dengan Liga Inggris menjadi salah satu liga yang hingga saat ini masih menarik untuk disaksikan. Bahkan penggemarnya kini mulai pede mendeklarasikan jika Liga Inggris adalah liga terbaik di dunia. Apakah mereka salah?
Tentu saja tidak. Saya pun sedikit banyak setuju dengan sebutan EPL kini adalah liga terbaik di dunia, bukan karena latar belakang saya yang fans Manchester United, jangan emosi dulu kalian, saya punya alasan konkret versi diri saya sendiri.
Alasan pertama adalah Inggris menjadi rumah dari banyak sekali klub besar Eropa. Terhitung ada Manchester United, Liverpool, Chelsea, Arsenal, Tottenham Hotspur dan Manchester City. Itu belum termasuk dari sederetan klub besar yang lagi ngampas macam Newcastle United dan kawan-kawannya.
Banyaknya klub besar yang bermain di Liga Inggris juga memberikan banyak laga big match pula. Ada North West Derby yang mempertemukan dua penguasa tanah Britania yaitu Manchester United dan Liverpool, ada Derby London, baik yang biasa maupun yang bertajuk London Utara, ada juga Derby Manchester. Itu baru big match yang mempertemukan antar tim big six, belum derby-derby yang lain macam Rose Derby antara Leeds dan MU, Derby Merseyside Liverpool kontra Everton dan lain sebagainya yang tidak kalah mampu memanaskan suasana.
Berbeda dengan Liga Spanyol yang tiap tahunnya hanya mengandalkan El Classico dan Derby Madrid. Itu saja El Classico tensinya sudah berkurang sejak Ronaldo pindah kerja ke Italia.
Persaingan yang tersaji di Liga Inggris juga sangat seru untuk diikuti, dimana setiap musimnya perebutan gelar juara selalu tidak bisa ditebak akan jatuh ke siapa. Coba ingat-ingat kembali, apakah dulu kalian menyangka jika Leicester City bisa menyabet gelar Premier League? Saya yakin seratus persen jawabannya tidak.
Itu pula yang membuat Liga Inggris selalu berwarna-warni dan tidak membosankan seperti liga lain yang dimana kompetisi belum dimulai saja sudah pada tahu siapa yang akan jadi juaranya.
Sebut saja Bundesliga yang berslogan "Semua akan Munchen pada waktunya." Diikuti Serie-A diatas tahun 2010 yang tidak ada warnanya, hitam putih mulu itu liga macam televisi tahun 90an.
La Liga? Halah apalagi ini, paling kalo nggak Barca ya Madrid. Sevilla aja bosen noh ngliatnya, sampe mereka hijrah ke Liga Malem Jumat untuk berburu trofi.
Faktor selanjutnya yang membuat Liga Inggris banyak disukai adalah karena jadwal mereka yang padat. Apalagi jika sudah memasuki penghujung tahun, meriah sekali pokoknya itu liga macam pasar malem abis lebaran. Hadirnya boxing day atau pertandingan yang diadakan sehari setelah perayaan natal juga menjadi pembeda dari liga Eropa lainnya. Di saat liga lain sudah memasuki hari libur, Liga Inggris justru sedang seru-serunya karena adanya boxing day ini.
Nah, di fase akhir paruh musim mulai terlihat makin serunya perjalanan Liga Inggris, karena pasti banyak tim besar yang mulai oleng. Ditambah tim kuda hitam yang tiba-tiba superior memberikan perlawanan sengit.
Tim papan bawah inilah yang sebenarnya menjadikan Liga Inggris semakin semarak, karena berkat mereka jalannya Liga Inggris jadi menarik dengan hasil skor yang tak terduga. Klub underdog di Liga Inggris tidak pasrah begitu saja ketika bertemu big six, mereka ini malah semakin menggila ketika berhadapan dengan klub besar. Hal yang jarang ditemui di liga lain.
Menurut pengamatan saya sebagai football analyst super amatiran, hasil skor kejutan dari laga yang mempertemukan klub besar dan klub kecil bukan hanya karena itu tim kecil macam West Bromwich Albion yang emang keren, tapi juga karena konsistensi tim besar yang suka ambyar.
Selanjutnya adalah deretan pelatih dan pemain bintang yang mencari nafkah di Liga Inggris. Dari dulu Liga Inggris memang selalu memanjakan penontonnya dengan hadirnya pemain bintang. Baik yang berasal dari Inggris sendiri maupun dari luar Inggris. Apalagi sebelum adanya regulasi homegrown.
Era '90an sebut saja ada Class of '92 yang diisi David Beckham, Paul Scholes, Ryan Giggs, dkk. Terus ada lagi Eric Cantona, Alan Shearer, dan Teddy Sheringham. Beranjak ke periode awal abad ke-21, nama-nama seperti Steven Gerrard, Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, Frank Lampard, Thiery Henry, sampai Carlos Tevez turut menghiasi papan starting line up.
Sekarang juga malah makin parah, tidak hanya berlabel bintang, tapi juga berharga fantastis. Virgil Van Dijk, Mohamed Salah, Alisson Becker, Paul Pogba, Bruno Fernandes, Sergio Aguero, Pierre-Emerick Aubameyang, Christian Pulisic, sampai Harry Kane.
Persaingan antara pemain bintang di Liga Inggris tidak menyoroti performa satu dua pemain, melainkan merata, dimana semuanya mampu memberikan persaingan yang nyata. Tidak hanya menjadi tim hore-hore yang cuma numpang lewat.
Dari sektor pelatih, sebenarnya di Inggris ini istilahnya bukan pelatih, tapi manager. Iya, karena mereka tidak hanya bertanggung jawab atas taktik yang akan diterapkan di lapangan, melainkan juga manager ini memiliki privilege, bisa menentukan daftar nama pemain yang mereka inginkan untuk didatangkan. Sampai selanjutnya tim manajemen yang berusaha semaksimal mungkin memenuhi daftar yang diajukan sang manager.
Liga Inggris dari dulu juga selalu memberikan rivalitas antar managernya, ada sikut menyikut antara Sir Alex Ferguson dan Arsene Wenger, kemudian datanglah Jose Mourinho yang semakin menambah panas persaingan.
Puncaknya adalah pada tahun 2016 lalu, dimana deretan nama Arsene Wenger, Jose Mourinho, Pep Guardiola, Jurgen Klopp, Mauriccio Pochettino, dan Antonio Conte sama-sama bersaing untuk unjuk kebolehan siapa yang terhebat dalam membawa timnya di Liga Inggris.
Untuk saat ini Liga Inggris lagi diisi oleh manager yang merupakan legenda dari klubnya terdahulu, seperti Ole Gunnar Solskjaer di MU, Frank Lampard di Chelsea, dan Mikel Arteta di Arsenal.
Kemudian ada stadion stadion bersejarah yang berdiri tegak di Inggris. Markas tim di Liga Inggris juga memiliki banyak sekali nilai historis di dalamnya, ada Old Trafford yang dulu pernah hancur karena perang dunia dan menjadi saksi perjuangan bangkitnya anak asuh Sir Matt Busby usai tragedi Munchen, Theatre Of Dreams tidak hanya menarik karena sejarahnya, tapi juga bangunannya yang masih klasik dan mempertahankan peninggalan terdahulu, ada pula Goodison Park dan Anfield yang memiliki atmosfer menyeramkan bagi tim tamu, uniknya Jurgen Klopp pernah menuturkan jika pemain Liverpool tidak boleh menyentuh tulisan Anfield saat akan memasuki lorong keluar menuju lapangan sebelum mereka menyumbangkan trofi bergengsi bagi klub, sesakral itu. Kemudian ada Highbury Stadium, ini adalah stadion lama milik Arsenal sebelum pindah ke Emirates Stadium.
Hal yang disayangkan di era sepak bola industri memang banyak sekali klub besar yang mengubah nama stadion mereka menggunakan nama sponsor, hal kecil memang toh cuma ubah nama, tapi itu tetap saja akan mengurangi kesakralan yang pernah ada di stadion.
Deretan klub besar, pemain bintang, pelatih ternama, sejarah yang pernah ada, dan yang tak kalah penting adalah rivalitas yang masih mengikat hingga saat ini.
Masihkah kalian ingat saat timnas Inggris pernah melahirkan generasi emas namun tidak menghasilkan apa-apa di kancah Eropa maupun dunia? Itu tak lain karena rivalitas para pemainnya yang masih dibawa hingga ke timnas. Mereka bermain di timnas seolah untuk menunjukkan klub siapa yang terbaik.
Bayangin bro, starting eleven mereka pernah diisi oleh David Beckham, Steven Gerrard, Michael Owen, Wayne Rooney, John Terry, Rio Ferdinand, Frank Lampard, dan nama beken yang lain.
Dapat apa timnas Inggris di era mereka? Nothing. Masih kalah sama Jesse Lingard dan pasukan ambyarnya yang tembus semifinal Piala Dunia 2018 lalu.
Saat pertandingan berjalan pun tidak luput dari senggol bacok antar pemainnya, pokoknya pasti ada lah momen gelud atau minimal adu bacot di lapangan.
Hal ini memang sangat disayangkan, rivalitas yang dibawa sampai ke ranah bela negara justru merugikan timnas Inggris sendiri. Padahal Italia juga dulu tak kalah panas dengan Magnificent 7 dan berbagai derby yang mereka lakoni, tapi saat berganti kostum kebanggaan membawa nama negara, rivalitas itu sejenak ditinggalkan.
Yang terakhir adalah kekuatan finansial klub Inggris yang gila banget. Hak siar Premier League saat ini memang memegang predikat sebagai hak siar liga sepakbola termahal di dunia, itu disebabkan karena basis suporter mereka yang sangat besar.
Jika liga lain paling hanya dua sampai tiga klub yang memiliki basis suporter yang besar, di Inggris ada enam klub yang sering kita temui fansnya meramaikan debat online maupun tempat nobar.
Kekuatan finansial klub Inggris tidak hanya dimiliki oleh klub papan atas seperti MU dan Liverpool, ataupun klub juragan minyak macam Chelsea dan Manchester City, melainkan klub papan tengah dan bawah.
Sekelas Everton dan Watford saja berani belanja jorjoran dengan harga mahal untuk memperbaiki skuad mereka, meskipun tetap habitat mereka ya di papan tengah. Kemudian ada Swansea City yang dulu pernah menggaji pemainnya lebih mahal daripada Paulo Dybala.
Yup, Gaes. Gaji pemain di Liga Inggris memang tidak memecahkan rekor gaji termahal di dunia seperti Ronaldo, Neymar dan Messi. Mereka memberikan gaji besar yang merata kepada pemainnya, tidak ada ketimpangan yang signifikan antara gaji pemain. Saat ini rata-rata pemain pilar klub mendapatkan gaji berkisar 300.000 setiap pekannya. Sementara pemain cadangan antara 50.000 sampai 100.000.
Liga Inggris selalu menempati posisi teratas dalam urusan perputaran uang bursa transfer, entah itu saat menjual pemain maupun saat mendatangkannya.
Saat menjual pemain, hampir semua klub Inggris tidak memberikan release clause atau klausul pelepasan layaknya klub Spanyol dan lainnya. Keuntungannya adalah supaya klub yang memiliki si pemain tersebut bisa memasang harga semau mereka.
Semisal begini deh, umumnya klub Spanyol selalu ada release clause di setiap pemain mereka, istilah gampangnya magerin tuh pemain pake label harga yang udah ditentuin, jadi klub pembeli jika berminat meminang si pemain dan orangnya juga mau pindah ya tinggal bayarin aja sesuai harga yang tertera.
Contoh kasusnya macem Neymar dulu, Barca ngasih pager harga ke Neymar 200 juta-an, PSG minat sama Neymar dan berani bayar segitu, ditambah Neymar pun mau pindah juga, yaudah proses transfer pasti akan terjadi. Simpel.
Lain halnya dengan Liga Inggris, kita tidak akan tahu harga masing-masing pemain dibanderol berapa jika kita tidak melayangkan proposal penawaran secara resmi kepada pihak klub. Ini juga yang membuat negosiasi terkadang berjalan sangat rumit dan selalu tarik ulur untuk mendapatkan harga yang cocok. Ibaratnya belanja pemain dari klub Spanyol itu kek belanja di Indomaret yang sudah jelas harganya, dan di Inggris itu sama seperti pasar tradisional. Namun hal yang terkesan ribet itulah yang menjadi drama seru setiap bursa transfer.
Setelah membaca rangkuman argumen saya di atas yang menyebutkan jika EPL adalah liga terbaik di dunia, saya yakin pasti banyak yang nggak setuju. Biasanya kaum liga sebelah nih yang kandidat juaranya cuma dua klub doang tiap musim, mereka ini yang pada nggak trima. Balasan mereka pasti dengan alasan klasik, "Katanya liga terbaik, kok di kompetisi Eropa macam UCL suka ngampas?!"
Saya pun sering mendapatkan protes yang sama, mereka selalu pede jika diatas tahun 2012 klub Inggris yang juara UCL cuma Chelsea dan Liverpool. Jadi begini kawan-kawanku yang budiman, ini kalo kalian mau pada mikir ya. Memangnya Liga Champions itu dimulai tahun 2012, ha?! Nggak kan?!
Jika dilihat lebih jauh lagi klub Spanyol yang unggul jumlah trofi UCL dari Liga Inggris itu cuma Real Madrid dengan 13 UCL-nya, itupun lima diantaranya terjadi saat era Jenderal Franco ikut campur dalam urusan sepak bola. Liga Italia yang jumlah trofi UCL mereka lebih unggul dari tim EPL ya cuma AC Milan.
Atletico Madrid? PSG? Diketawain keras-keras noh sama Aston Villa, nampang doang di final tapi juara kaga. Juventus? Borussia Dortmund? Nggak usah songong, malu sama Nottingham Forest yang fansnya kalem-kalem aja. Inter Milan? Udah lah, urusin dulu masalah finansial kalian biar nggak kebanyakan nyicil pemain. Barcelona? Lewatin dulu jumlah UCL-nya Liverpool.
Jadi, setiap liga itu pasti ada fase superior dari klub mereka. Kalian boleh menganggap liga favorit kalian menjadi yang terbaik di dunia, tapi harus ada alasannya juga.
Dan menurut saya, kompetisi UCL bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi liga lokal layak disebut yang terbaik atau tidak. Masih ada faktor-faktor lain yang menunjang sebuah jalannya liga untuk bisa disebut yang terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H