Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percakapan Langit

2 Juli 2016   00:57 Diperbarui: 2 Juli 2016   01:03 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kau tahu? Bumi menangis. Manusia-manusia yang berpijak di atasnya kehilangan arah, moral dijajakan. Anak-anak muda banggakan kebodohan. Mereka merayakan hari bumi di atas penderitaanya. Suara mereka sumbang karena kemunafikan. Anak-anak muda menjajakan bumi di status-status media sosial mereka, membumbui dengan kata-kata ‘peduli’, ‘save’ dan berbagai embel-embel lebai lainnnya. Sementara kebijakan-kebijakan di ketok palunya di atas meja-meja parlemen yang berkompromi dengan pengusaha. Mereka itu dungu. Jiwa muda yang dungu.”

Kembali bulan menutup matanya, kali ini tangisnya terisak keras. Wajahnya semakin memerah. Menyebarkan cahaya darah, langit pun memerah. Terbakar hatinya oleh luka bumi. Aku hanya bisa terdiam. Tak bisa menyela atau memberikan sedikit kalimat pelipur tangisnya. Luka bumi, lukaku juga. Aku merasainya.

“Aku hendak pergi! Waktu kita sudah selesai. Bumi akan marah, kawan! Bumi akan marah!”

“Hei! Kita masih belum selesai!” seruku. Tak ada pamit sapa, tak ada sempat untuk melihat punggungnya berlalu sedikitpun. Gelap melingkupiku tiba-tiba. Bulan pun menghilang, atau aku yang menghilang. Aku menoleh ke arah dimana purnama pergi, tak terlihat apa-apa, tak ada siapa-siapa, hanya gelap dan cahaya merah yang memenuhi langit, cahayanya wajah purnama yang merah darah karena kesedihan. Dari langit aku memandang bulatan bumi yang diselubungi pekat malam. Ada luka besar terkandung disana, terpendam dalam angkara murka yang akan menyalak pada masanya.

“Bumi! Aku adalah sebuah sore. Apakah mereka manusia? Atau mungkin bukan?”.

***

Suasana di bumi...

“Hei lihatlah! Bulan merah darah! Bulan merah darah! Mana kameramu! Mana kameramu! Pemandangan ini sangat langka! Tunjukan gayamu! Video! Videokan!” seru serombongan anak muda di bumi.

“Lihatlah bulan itu! Merah merona. Ia malu-malu menyaksikan kita, sayangku. Dibawah cahaya merahnya itu, biarlah ia menyaksikan ini. Aku ingin memasang cincin ini di jemarimu, mau kah kau menikah denganku?” Seorang lelaki di tepi dermaga berlutut menunjukan cincin kepada gadis di depannya. Sang gadis tersipu malu, kemudian mengangguk.

“Astagfirullah! Puji Tuhan! Halleluya! Wujud Dewa! Ini merupakan keagungan Tuhan, sungguh ciptaan Tuhan luar biasa. Buka kitab! Buka kitab! Cari ayat tentang bulan merah! Ini luar biasa.” Beberapa 0rang berjubah mondar-mandir menyibukan diri.

“Bulan pun merah, bung. Bukankah warna kita juga merah? Ini merupakan pertanda kemenangan. Periode ini Pemilu harus kita menangkan. Kekuasaan harus direbut. Eh, bagaimana dengan perusahaan di ujung kota itu? Apakah mereka setuju dengan kebijakan baru kita? Yah, tau sama tau lah mereka itu dengan kita. Bukankah kita sudah memuluskan mereka dengan undang-undang yang kita setujui kemarin? Aturlah bung!” Serombongan politisi berjas merah menyaksikan cahaya bulan merah di langit dari balik jendela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun