Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percakapan Langit

2 Juli 2016   00:57 Diperbarui: 2 Juli 2016   01:03 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bulan tak seindah kemarin. Tak seutuh purnama meski cahayanya masih memenuhi langit. Ada tepi gelap, pelan membawa pada bulan padam, di titik ini pasang surut beriak. Aku adalah sore yang ketakutan. Hadirku hanyalah penutup masa, berbagi langit dengan malam, aku adalah waktu dan kau adalah purnama yang tak terjamah. Bagian dari semesta yang dipuja. Menjadi ibarat dalam kalimat rayu manusia. Kerap aku menyisahkan seberkas cahaya merah di tepi langit, membiarkanmu muncul membulat, menghiasimu sejenak sebelum malam merebutmu dari mataku. Sedang subuh berharap hadirmu segera berlalu. Aku tak bisa menahanmu berlama-lama. Aku hanya bisa melihat punggungmu semakin menjauh tergantikan cahaya, menerobos pekat gelap.

“Aku merindukanmu, Purnama?”

Sebuah ungkap bernada berat kulepas. Kau menatapku lama tak menyahut sebelum kau beranjak bersama gelap. Aku jumpa kesepian. Aku tak pernah ingin menjadi sore. Aku juga tahu, kau mungkin belum tentu ingin menjadi purnama. Tetapi kita tercipta, di atas langit yang sama, menaungi bumi dengan cahaya.

Kembali aku menjumpaimu di tepi perlintasan waktu yang hendak membawaku berlabuh, membawamu pada gelap. Kau tersenyum melintasiku. Senyum yang berubah menjadi rindu selepas waktu berlalu.

“Tak bisakah kau berdiam diri sejenak, membiarkanku memandang dirimu? Aku ingin bercerita tentang suara-suara manusia dan kendaraanya dibawa oleh siang ke arahku?” Aku memohon. Kau terdiam. Waktu berlalu dan kau pun hilang seiring cahayaku yang meredup.

Aku terdiam kali ini, membuat senja mendayu di pinggir langit kota. Menyaksikan gelap malam yang merangkak dari kejauhan. Mendahului bulan yang hendak tiba. Tetiba mendung mengarak di langit menyapaku. Tak lama berselang hujan pun turun deras. Aku tertunduk. Mengapa aku harus menanti kemustahilan ini. Aku sudah menyimpan lama sebuah rindu, tapi tak tahu hendak bagaimana aku mengungkap. Waktu begitu singkat untukku, dan aku tak mampu menghampiri malam. Bahkan langit pun tak memberi sempat sedikitpun bagiku menguntai kata pada purnama, entah sebaris puisi atau rayuan. Aku membasah dalam hujan, melawan pekat yang tak sanggup terlawan. Hujan menertawaiku. Mengejekku pelan bersama angin kencang. Aku terpaku. Aku terdiam. Bumi gelap. Tak ada sore di langit, hanya mendung. Aku terlalu bodoh untuk semua ini. mengapa aku baru menyadarinya?

Berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun. Aku sudah melupakan semua rasa, melupakan semua rindu, membiarkannya melarut bersama tetesan hujan, mengalir menuju bumi, melewati sungai-sungai dan bercampur bersama limbah-limbah, lalu berakhir pada muara lelautan mengurai bersama mayat-mayat ikan yang mengapung. Mayat-mayat yang mati karena limbah-limbah pabrik di hulu dan mungkin juga karena rinduku yang melarut bersamanya. Aku tak mempedulikan itu.

Petang ini aku terkejut. Aku melihat bulan bermuram wajah merah padam. Mengapa? Tanyaku tiba-tiba. Ingatan-ingatan sepanjang waktu berlalu, berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun kembali menyalak, seakan cintaku yang melarut bersama limbah dan mayat-mayat makhluk lelautan berhimpun menyatu, menjadi roh dan menghampiri langit, merasuk ke dalam hatiku. Aku terpaku. Rasaku berbungkus iba menatapi wajah merah padam itu, aku tahu waktu akan singkat, tapi entah bagaimana, rasanya rotasi berhenti berputar. Aku memandang sekelilingku, petang sudah berlalu, gelap. Bagaimana aku masih bisa memandangnya? Bukankah masaku telah usai hari ini?. Tapi pertanyaan-pertanyaanku terhenti seketika memandang wajah purnama yang tampak menyedihkan.

“Bulan, mengapa bermuram demikian?” tanyaku mendekat ke arahnya, seumur-umurku yang tak berumur ini, baru kali ini aku mampu mendekatinya begitu dekat, entah bagaimana ini terjadi, aku tak peduli, meskipun aku tak bisa menjamahnya, pastinya ia di hadapanku saat ini. Ingin sekali aku menyingkap warna merah padam dibalik wajahnya.

“Apakah kau melihat bumi hari ini? Apa kau Menyaksikan manusia sepanjang waktu?” Purnama bertanya pelan dengan tatapan sendu padaku. Aku menggeleng pelan, ucapan lirih itu seakan menusuk jantungku. Aku terus menatap tanpa kedip. Ada apa gerangan?

“Bagaiman kau tak melihat ini?” ucapnya lagi seakan kecewa.

“Aku hanyalah sebuah sore, perlintasan pergantian waktu. Aku hanyalah sisa sebuah kelelahan hari, menyaksikan kepulangan manusia-manusia menuju rumahnya untuk berehat dari terik dan hiruk pikuknya hari-hari. Untuk keseluruhannya aku tak menyaksikan itu. Ada apa gerangan?” tanyaku pelan.

“Kau tahu? Bumi sedang menangis. Ada banyak titik api besar melalap beribu hektar lahan, membakar pohon-pohon tak berdosa dan makhluk-makhluk hutan gosong terpanggang. Itu ulah manusia-manusia, membuka lahan untuk sawit, mengorbankan kehidupan yang terjaga.” Bulan mengucap pelan dengan nada masih melirih. Aku diam terperangah.

“Kau tahu? Bumi sedang menagis. Laut diporak-porandakan oleh botol-botol bom molotof, pukat-pukat menghancurkan karang, kehidupan terancam limbah, pencuri-pencuri di perbatasan-perbatasan negeri bersorak-sorak, manusia-manusia pelaut di pesisir pantai yang selalu menunggumu menutup hari, sembari menunggu kepulangan ayahnya, suaminya, atau saudaranya, juga anak lelakinya dari ujung laut dan kembali tanpa harapan, tak membawa apa-apa, semua hancur, kawan!”

Aku terpaku diam, mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut bulan. Hei! Ia memanggilku ‘kawan’!.

“Kau tahu? Bumi menangis. Manusia-manusia dikibuli sejarahnya. Semakin mereka belajar semakin mereka buta. Bumi memberikan segalanya tanpa pandang bulu. Mereka malah menyikut satu sama lain, mengundang perang, mengatasnamakan kepercayaan entah bagaimana mereka mempercayainya. Mereka menindas sesamanya, menjatuhkan, lalu sejarah menuliskannya. Mereka membuat hukum yang mereka langgar sendiri. Kemakmuran bumi menjadi kebiadaban, tak adalagi kemanusiaan, apalagi kebumian, tak ada kawan! Mereka membuat korporasi-korporasi eksploitasi, menjajah bumi, merebut kehidupan demi kehidupan, lalu meraja di atas penderitaan. Sadis!”

Bulan menutup wajahnya. Ia menangis pelan. Wajahnya semakin merah padam. Rasa iba menggelora di hatiku. Mendengar kata-katanya membuatku seakan lumpuh. Selama ini aku tak begitu mempedulikan bumi. Aku hanya singgah sesaat lalu tenggelam. Menginspirasi syair-syair para penulis tentang sore yang menjadi sebua ibarat atau pandangan bagi manusia-manusia di dalamnya. Ada apa denganku selama ini. aku kembali menatap bulan.

“Apakah semua manusia melakukan ini?”

“Kau tahu, kawan. Bumi menangis. Telinga bumi bernanah menahan sakit. Kesakitan atas doa-doa atasnya, dari gedung-gedung bersalib, berkubah, mengerucut, dan gedung-geduung berukir itu. Mereka memanjatkan doa tentangnya, memohon jaga, perlindungan dan segala macamnya atas bumi. Sementara mereka tidak tergerak sedikit pun, tidak menjaga sedikitpun, tidak melawan sedikitpun, tidak bersuara sedikitpun, tidak berteriak sedikit pun kepada tangan-tangan penyulut titik api, tangan-tangan pelempar botol bom molotof, para perambah hutan-hutan, tangan-tangan pembuang limbah, tangan-tangan penarik pukat perusak, mereka tidak sedikit pun bersuara, atau tergerak hatinya. Mereka hanya berlutut dan berdoa, berdoa, berdoa, lalu berdoa! Setelah itu mereka bangkit dan pulang kerumahnya. Ini lebih sakit lagi bagi bumi, kawan!”

Aku terdiam. Rinduku yang hendak terlampiaskan dan menjelma berupa roh seakan tak berkuasa lagi di hatiku. Cintaku pada bulan sirna sudah, yang kurasakan hanya iba, iba dan iba. Iba pada bumi dan purnama. Cukupkah aku mengiba saja? Kulihat rinduku kotor, sangat kotor setelah tenggelam dalam larutan limbah yang mengairi laut. Ah, mengapa juga bulan purnama ini baru mengatakan semuanya padaku. Aku menatap kearahnya, ia balas menatap. Dengan kegeraman ia kembali berucap.

“Kau tahu? Bumi menangis. Ia memberikan semua cintanya, memberikan segala apa yang terkandung. Semakin manusia-manusia belajar, semakin mereka serakah. Teknologi baru mereka mencekram setiap titik-titik kehidupan, merebutnya, berkuasa atasnya di atas korban-korban yang bergelimpangan.”

“Purnama?”

“Kau tahu? Bumi menangis. Manusia-manusia yang berpijak di atasnya kehilangan arah, moral dijajakan. Anak-anak muda banggakan kebodohan. Mereka merayakan hari bumi di atas penderitaanya. Suara mereka sumbang karena kemunafikan. Anak-anak muda menjajakan bumi di status-status media sosial mereka, membumbui dengan kata-kata ‘peduli’, ‘save’ dan berbagai embel-embel lebai lainnnya. Sementara kebijakan-kebijakan di ketok palunya di atas meja-meja parlemen yang berkompromi dengan pengusaha. Mereka itu dungu. Jiwa muda yang dungu.”

Kembali bulan menutup matanya, kali ini tangisnya terisak keras. Wajahnya semakin memerah. Menyebarkan cahaya darah, langit pun memerah. Terbakar hatinya oleh luka bumi. Aku hanya bisa terdiam. Tak bisa menyela atau memberikan sedikit kalimat pelipur tangisnya. Luka bumi, lukaku juga. Aku merasainya.

“Aku hendak pergi! Waktu kita sudah selesai. Bumi akan marah, kawan! Bumi akan marah!”

“Hei! Kita masih belum selesai!” seruku. Tak ada pamit sapa, tak ada sempat untuk melihat punggungnya berlalu sedikitpun. Gelap melingkupiku tiba-tiba. Bulan pun menghilang, atau aku yang menghilang. Aku menoleh ke arah dimana purnama pergi, tak terlihat apa-apa, tak ada siapa-siapa, hanya gelap dan cahaya merah yang memenuhi langit, cahayanya wajah purnama yang merah darah karena kesedihan. Dari langit aku memandang bulatan bumi yang diselubungi pekat malam. Ada luka besar terkandung disana, terpendam dalam angkara murka yang akan menyalak pada masanya.

“Bumi! Aku adalah sebuah sore. Apakah mereka manusia? Atau mungkin bukan?”.

***

Suasana di bumi...

“Hei lihatlah! Bulan merah darah! Bulan merah darah! Mana kameramu! Mana kameramu! Pemandangan ini sangat langka! Tunjukan gayamu! Video! Videokan!” seru serombongan anak muda di bumi.

“Lihatlah bulan itu! Merah merona. Ia malu-malu menyaksikan kita, sayangku. Dibawah cahaya merahnya itu, biarlah ia menyaksikan ini. Aku ingin memasang cincin ini di jemarimu, mau kah kau menikah denganku?” Seorang lelaki di tepi dermaga berlutut menunjukan cincin kepada gadis di depannya. Sang gadis tersipu malu, kemudian mengangguk.

“Astagfirullah! Puji Tuhan! Halleluya! Wujud Dewa! Ini merupakan keagungan Tuhan, sungguh ciptaan Tuhan luar biasa. Buka kitab! Buka kitab! Cari ayat tentang bulan merah! Ini luar biasa.” Beberapa 0rang berjubah mondar-mandir menyibukan diri.

“Bulan pun merah, bung. Bukankah warna kita juga merah? Ini merupakan pertanda kemenangan. Periode ini Pemilu harus kita menangkan. Kekuasaan harus direbut. Eh, bagaimana dengan perusahaan di ujung kota itu? Apakah mereka setuju dengan kebijakan baru kita? Yah, tau sama tau lah mereka itu dengan kita. Bukankah kita sudah memuluskan mereka dengan undang-undang yang kita setujui kemarin? Aturlah bung!” Serombongan politisi berjas merah menyaksikan cahaya bulan merah di langit dari balik jendela.

Suasana dunia maya...

“Hastag : #BulanMerahDarah #BulanCinta #LangitMerahDarah #FenomenaBulanDarah #BloodMoon #UngkapCintaDibawahBulanMerah #KeajaibanTuhan

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun