“Aku hanyalah sebuah sore, perlintasan pergantian waktu. Aku hanyalah sisa sebuah kelelahan hari, menyaksikan kepulangan manusia-manusia menuju rumahnya untuk berehat dari terik dan hiruk pikuknya hari-hari. Untuk keseluruhannya aku tak menyaksikan itu. Ada apa gerangan?” tanyaku pelan.
“Kau tahu? Bumi sedang menangis. Ada banyak titik api besar melalap beribu hektar lahan, membakar pohon-pohon tak berdosa dan makhluk-makhluk hutan gosong terpanggang. Itu ulah manusia-manusia, membuka lahan untuk sawit, mengorbankan kehidupan yang terjaga.” Bulan mengucap pelan dengan nada masih melirih. Aku diam terperangah.
“Kau tahu? Bumi sedang menagis. Laut diporak-porandakan oleh botol-botol bom molotof, pukat-pukat menghancurkan karang, kehidupan terancam limbah, pencuri-pencuri di perbatasan-perbatasan negeri bersorak-sorak, manusia-manusia pelaut di pesisir pantai yang selalu menunggumu menutup hari, sembari menunggu kepulangan ayahnya, suaminya, atau saudaranya, juga anak lelakinya dari ujung laut dan kembali tanpa harapan, tak membawa apa-apa, semua hancur, kawan!”
Aku terpaku diam, mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut bulan. Hei! Ia memanggilku ‘kawan’!.
“Kau tahu? Bumi menangis. Manusia-manusia dikibuli sejarahnya. Semakin mereka belajar semakin mereka buta. Bumi memberikan segalanya tanpa pandang bulu. Mereka malah menyikut satu sama lain, mengundang perang, mengatasnamakan kepercayaan entah bagaimana mereka mempercayainya. Mereka menindas sesamanya, menjatuhkan, lalu sejarah menuliskannya. Mereka membuat hukum yang mereka langgar sendiri. Kemakmuran bumi menjadi kebiadaban, tak adalagi kemanusiaan, apalagi kebumian, tak ada kawan! Mereka membuat korporasi-korporasi eksploitasi, menjajah bumi, merebut kehidupan demi kehidupan, lalu meraja di atas penderitaan. Sadis!”
Bulan menutup wajahnya. Ia menangis pelan. Wajahnya semakin merah padam. Rasa iba menggelora di hatiku. Mendengar kata-katanya membuatku seakan lumpuh. Selama ini aku tak begitu mempedulikan bumi. Aku hanya singgah sesaat lalu tenggelam. Menginspirasi syair-syair para penulis tentang sore yang menjadi sebua ibarat atau pandangan bagi manusia-manusia di dalamnya. Ada apa denganku selama ini. aku kembali menatap bulan.
“Apakah semua manusia melakukan ini?”
“Kau tahu, kawan. Bumi menangis. Telinga bumi bernanah menahan sakit. Kesakitan atas doa-doa atasnya, dari gedung-gedung bersalib, berkubah, mengerucut, dan gedung-geduung berukir itu. Mereka memanjatkan doa tentangnya, memohon jaga, perlindungan dan segala macamnya atas bumi. Sementara mereka tidak tergerak sedikit pun, tidak menjaga sedikitpun, tidak melawan sedikitpun, tidak bersuara sedikitpun, tidak berteriak sedikit pun kepada tangan-tangan penyulut titik api, tangan-tangan pelempar botol bom molotof, para perambah hutan-hutan, tangan-tangan pembuang limbah, tangan-tangan penarik pukat perusak, mereka tidak sedikit pun bersuara, atau tergerak hatinya. Mereka hanya berlutut dan berdoa, berdoa, berdoa, lalu berdoa! Setelah itu mereka bangkit dan pulang kerumahnya. Ini lebih sakit lagi bagi bumi, kawan!”
Aku terdiam. Rinduku yang hendak terlampiaskan dan menjelma berupa roh seakan tak berkuasa lagi di hatiku. Cintaku pada bulan sirna sudah, yang kurasakan hanya iba, iba dan iba. Iba pada bumi dan purnama. Cukupkah aku mengiba saja? Kulihat rinduku kotor, sangat kotor setelah tenggelam dalam larutan limbah yang mengairi laut. Ah, mengapa juga bulan purnama ini baru mengatakan semuanya padaku. Aku menatap kearahnya, ia balas menatap. Dengan kegeraman ia kembali berucap.
“Kau tahu? Bumi menangis. Ia memberikan semua cintanya, memberikan segala apa yang terkandung. Semakin manusia-manusia belajar, semakin mereka serakah. Teknologi baru mereka mencekram setiap titik-titik kehidupan, merebutnya, berkuasa atasnya di atas korban-korban yang bergelimpangan.”
“Purnama?”