Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Cinta Bawang Lokal

10 Juli 2015   15:57 Diperbarui: 29 November 2015   20:01 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tanpa derap. Rajutan masa telah banyak membawakan segala makna, segala rasa, segala bimbang yang menghantui, membayang-bayangi. Masa yang kerap menjumpakan pada mimpi-mimpi malang. Juga kenyataan. Aku ingin bersama keheningan, menjauh dari gemericik minyak kelapa panas dan gesekan sodokan pada dada kwali yang hitam, membuatku berkerut kering kecoklatan. Tapi aku tak mampu pergi, asal bersamamu saja, selayaknya sebuah garis yang tak patut kuputusi.

Aku adalah bawang, begitulah kau menyebutku dengan tawa yang menenangkan hatiku. Katamu aku punya cinta yang berlapis-lapis. Aroma yang kau suka dalam setiap rebusan hangat yang membuatku lusuh meninggalkan keharuman. Tak mengapa, untuk kau nikmati saja. Itu sudah cukup membahagiakanku. Hidup adalah penyerahan dan cinta butuh pengorbanan.

“Aromamu membuatku merindumu,” ujarmu suatu ketika. Ucap yang membuatku terus bertahan dalam harap yang dalam. Meski terhempas kadang. Biarkan saja. Sudah terlalu lama aku teriris dan aku menemukanmu kini, menjadi belahan hatiku di antara lapisan-lapisan menuju inti. Bagaimana aku bisa berkilah dari tetapnya hatiku.

Bagaimana aku menyebutmu? Cabe? Yah! Kau menyebut dirimu sebagai cabe dengan pedas yang menggetarkan. Pedas yang membuat lidah berkeluh. Rasa yang menghangatkan dan memaksa desis dari bibir kemerahan. Kecanduan menjadi lekat dalam aliran nadi. Setelah sendiri dalam sendu yang menyanduiku, kini aku candu pada cintamu. Menjadi darahku. Meski harga cabe sedang menurun, dan imporannya membanjiri negeri, membuat tangis para petani. Aduh, ikut pula bawang busuk diselundupkan dari negeri jiran, mafia beraksi, pedagang kecil memelas rugi, mana pak menteri? Mana? Ah, makin kurasai kau begitu berarti dari segala harga.

“Aku adalah bawang, lapisan-lapisan bergelombang, kasarnya rela dikuliti, membuat keperihan pada bola matamu. Masa yang kurasakan bukan efek bias. Mengalirlah air mata yang sesungguhnya, keperihan hati. Dulu aku mengalaminya begitu lama, berganti-ganti, seperti lapisan-lapisanku kini,” Ujarku di bawah hujaman pisau tajam yang membelahi pelan. Kau menatapku lama. Ada iba terbersit di hatimu. Iba yang tak kuinggini membungkus cintamu. Aku tak mau dikasihani. Aku ingin dicintai dengan ketulusan. Tanpa penghianatan dan sekali lagi, bukan karena iba.

“Aku akan tetap bersamamu, tetap di hatimu,” katamu meyakinkaku ketika tangan kasar itu mempertemukan kita pada sebuah mangkuk kaca bersih dengan tulisan ‘Made in China’, dititik ini nasionalismeku berkobar, entahlah, kita selalu dipertemukan di sebuah mangkuk imporan, meski itu di sebuah kampung terpelosok sekalipun. Atau dihaluskan oleh ‘blender’ buatan Jepang yang membuatku pusing. Entahlah, tanah ini kebanjiran impor saja, suatu saat kita akan berteduh di bawah pohon yang bertuliskan ‘Made In USA’, lucu bukan? Hanya karena bersamamu, aku bisa tersenyum melewatinya.

Aku suka pedas dalam setiap santapan. Membuat butiran peluh di keningku. Ada hampa mengosongi hatiku setiap kali tak melihatmu. Hambar yang semakin membuatku mengerti betapa cintamu berarti. Entah mungkin aku akan di olok-olok oleh garam dapur atau lengkuas layukarena ini, tapi biarkan saja mereka. Aku hanya ingin denganmu saja.

“Mari kita mewarnai dunia dengan rasa. Menghapus hampa yang tiba di setiap kuah asin yang mengernyit.” Kau mengajakku bermimpi. Aku punya mimpi, kau juga begitu. Cita yang berbeda dengan visi yang sama. Menghadirkan rasa.

“Aku takut,” ujarku sendu.

“Takut?”

“Takut kehilanganmu.”

Kau tertawa. Aku tahu, kau tak sedang mengolokku, aku lihat itu di matamu, kau juga takut kehilanganku, kau sering mengatakannya padaku. Mungkin kedengaran lucu dan kekanakan. Tapi kita mengucapkannya. Karena tak ingin kehilangan. Karena kita tak bisa bertanpa satu sama lain.

“Aku juga. Betapa hambarnya rasaku tanpamu, atau kau tanpaku. Aku tak mau kehilanganmu!”

Kita dalam irisan yang sama. Menyatu dalam gemerisik sendokan bising, di piring plastik orang pinggiran, bercampur dengan kecap asin atau sejumput garam dapur. Diwaktu bersamaan juga singgah di meja makan kaum mewah yang berlapis keramik, mendampingi seonggok daging impor, menemani pembicaraan bisnis-bisnis gelap dan konspirasi politik koalisi oposisi. Dikeringi minyak makan dari perkebunan yang mengorbankan hutan-hutan yang beralih fungsi. Memberi aroma dan kenikmatan yang sama. Berakhir di permukaan lidah-lidah yang penuh tawa, kelicikan, dan kebohongan, mewarnai merah bibir-bibir kemunafikan. Juga lidah-lidah kaum bawah yang mengais hidup dengan doa. Bergelonjoran di atas gerobak-gerobak pedangang pinggir jalan, keringati kening para pemulung yang berehat, atau membuat merah bibir-bibir intelek muda yang sering berkoar-koar di jalanan, lalu berpucat ketika berjumpa dengan kepentingan, baru kemarin mereka merayakan reformasi, tetapi bungkam ketika DPR ngotot mendapat dana aspirasi, dimana mereka? Parlemen jalan sepi? Aku merindukan tinja untuk dilempari di muka dungu mereka itu. Singkatnya, ketika kita menyatu, rasa kita mewarnai dunia, membaur di berbagai kelas manusia yang dicipta peradaban. Tanpa batas.

“Bagaimana ini semestinya berujung?” tanyamu pelan. Sebenarnya bukan ragu yang menghadirkan tanya itu. Aku tahu. Waktunya aku harus berkenalan dengan cabe kuning, cabe rawit, cabe keriting dan cabe keren ‘cabai cherry’. Jujur aku baru tau jenis-jenis ini ketika menulis ini. Bukan berarti mereka semua harus dibut cabe, hanya kamu yang jadi cabe untukku atau aku yang jadi bawang untukmu, bukankah ini hanya imajinasi kita saja ketika sedang membicarakan cinta sampai tengah malam. Aku ingin sekali memelukmu erat pada waktu itu. Mereka juga bagian hidupmu. Mengajarimu arti kehidupan. Membesarkanmu dalam makna kemanusiaan.

“Bagaimana bila mereka menolakku?” tanyaku kembali.

“Dasar bawang!” ujarmu tersenyum

“Lalu?”

“Aku akan membelamu.”

Sekelumit kalimat menguliti niatku. Kita sudah bertahan lama dalam berbagai gilingan, irisan, rebusan dan segalanya yang membuat kita menjadi lebih berarti. Bagaimana bisa kita menyerah pada keadaan. Tak ada waktu untuk itu. Aku yakin.

“Kita tak boleh pisah,” ujarku membujukmu.

“Aku tak mau berpisah darimu. Aku ingin selalu bersamamu,” katamu meyakinkanku. “Aromamu memedihkan mataku. Tahukah betapa aku menyukainya? Betapa aku menginginkannya melekat bersamamu?”

Aku tersenyum. Ada haru menyelimuti hatiku. Betapa cinta menghadirkan semerbak bahagia. Hidup ini lucu.

“Tak ada yang berpisah. Karena tak ada yang pergi. Bukankah kita disemai dan tumbuh di tanah yang sama. Tanah yang diributkan kaum kepentingan, diseroboti pengusaha-pengusaha yang berlindung di bawah ketiak birokrat, mengatasnamakan PAD untuk menjajah rakyatnya sendiri. Bahkan kemanusiaan sudah hilang.”

Kugenggam tanganmu erat. Kau menatapku teduh. pertautan mengerati hati. pelan mengaliri nadi. Menjadi darah.

“Jangan pergi. Tanpamu aku hambar.”

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun