Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Cinta Bawang Lokal

10 Juli 2015   15:57 Diperbarui: 29 November 2015   20:01 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kau tertawa. Aku tahu, kau tak sedang mengolokku, aku lihat itu di matamu, kau juga takut kehilanganku, kau sering mengatakannya padaku. Mungkin kedengaran lucu dan kekanakan. Tapi kita mengucapkannya. Karena tak ingin kehilangan. Karena kita tak bisa bertanpa satu sama lain.

“Aku juga. Betapa hambarnya rasaku tanpamu, atau kau tanpaku. Aku tak mau kehilanganmu!”

Kita dalam irisan yang sama. Menyatu dalam gemerisik sendokan bising, di piring plastik orang pinggiran, bercampur dengan kecap asin atau sejumput garam dapur. Diwaktu bersamaan juga singgah di meja makan kaum mewah yang berlapis keramik, mendampingi seonggok daging impor, menemani pembicaraan bisnis-bisnis gelap dan konspirasi politik koalisi oposisi. Dikeringi minyak makan dari perkebunan yang mengorbankan hutan-hutan yang beralih fungsi. Memberi aroma dan kenikmatan yang sama. Berakhir di permukaan lidah-lidah yang penuh tawa, kelicikan, dan kebohongan, mewarnai merah bibir-bibir kemunafikan. Juga lidah-lidah kaum bawah yang mengais hidup dengan doa. Bergelonjoran di atas gerobak-gerobak pedangang pinggir jalan, keringati kening para pemulung yang berehat, atau membuat merah bibir-bibir intelek muda yang sering berkoar-koar di jalanan, lalu berpucat ketika berjumpa dengan kepentingan, baru kemarin mereka merayakan reformasi, tetapi bungkam ketika DPR ngotot mendapat dana aspirasi, dimana mereka? Parlemen jalan sepi? Aku merindukan tinja untuk dilempari di muka dungu mereka itu. Singkatnya, ketika kita menyatu, rasa kita mewarnai dunia, membaur di berbagai kelas manusia yang dicipta peradaban. Tanpa batas.

“Bagaimana ini semestinya berujung?” tanyamu pelan. Sebenarnya bukan ragu yang menghadirkan tanya itu. Aku tahu. Waktunya aku harus berkenalan dengan cabe kuning, cabe rawit, cabe keriting dan cabe keren ‘cabai cherry’. Jujur aku baru tau jenis-jenis ini ketika menulis ini. Bukan berarti mereka semua harus dibut cabe, hanya kamu yang jadi cabe untukku atau aku yang jadi bawang untukmu, bukankah ini hanya imajinasi kita saja ketika sedang membicarakan cinta sampai tengah malam. Aku ingin sekali memelukmu erat pada waktu itu. Mereka juga bagian hidupmu. Mengajarimu arti kehidupan. Membesarkanmu dalam makna kemanusiaan.

“Bagaimana bila mereka menolakku?” tanyaku kembali.

“Dasar bawang!” ujarmu tersenyum

“Lalu?”

“Aku akan membelamu.”

Sekelumit kalimat menguliti niatku. Kita sudah bertahan lama dalam berbagai gilingan, irisan, rebusan dan segalanya yang membuat kita menjadi lebih berarti. Bagaimana bisa kita menyerah pada keadaan. Tak ada waktu untuk itu. Aku yakin.

“Kita tak boleh pisah,” ujarku membujukmu.

“Aku tak mau berpisah darimu. Aku ingin selalu bersamamu,” katamu meyakinkanku. “Aromamu memedihkan mataku. Tahukah betapa aku menyukainya? Betapa aku menginginkannya melekat bersamamu?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun