Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sekali Lagi tentang Papua

30 Agustus 2019   14:05 Diperbarui: 30 Agustus 2019   14:13 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAMPAI dengan hari ini Jumat Pahing, 30 Agustus 2019 (29 Dzulhijjah 1440 H) bumi Papua masih bergejolak. Bahkan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bapak Hinsa Siburian sampai turun tangan dengan mengimbau seluruh masyarakat di Papua untuk tidak terpengaruh dengan berita bohong (hoaks). Kedamaian di Bumi Cenderawasih harus dijaga dari pelbagai isu yang bertujuan memprovokasi masyarakat. "Karena di era sekarang ini masalah media, informasi, kalau kita tidak cerna dengan baik itu bisa menimbulkan hal yang tidak baik," ujar Hinsa kepada wartawan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (30/8/2019). Dikutip dari sini  .

Mirip kejadian 8 (delapan) tahun yang lalu, yaitu pada hari Sabtu tanggal 19 November 2011 bumi Papua juga bergolak. Saat itu 1 (satu) penduduk di sekitar pabrik Freeport lagi-lagi ditemukan meninggal. Kejadian ironis mengingat prestasi SDM dari bumi Papua yang semakin fenomenal akhir-akhir ini. Berita tentang "dikadalinnya" RI melalui Freeport adalah tragedi. Mari melihat sisi lain yang menggembirakan dari bumi Papua.

Berita di Kompas hari Sabtu, 19/ 11/ 11 halaman 12 menyebutkan tentang anak-anak Papua yang mempersembahkan medali emas dalam ajang Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School. Anak-anak SD Papua tersebut meraih 4 (empat) medali emas, 5 perak, dan 3 perunggu di tengah kompetisi negara Asia. Diantaranya adalah Kristian dari Wamena, Kohoin dari Sorong Selatan.

Di ajang Sea Games tahun 2011 dulu tak terhitung para penyumbang emas atau atlit dari Papua. Misalnya dari cabang atletik adalah Serafi Arelies Unani (100 meter putri), dan Franklin Ramses Burumi (100 meter putra). Di sepakbola tentunya duet Titus Bona dan Patrich Wanggai yang merupakan duo maut membantu pencapaian emas Indonesia --setelah menunggu selama 20 tahun.

Sejarah Papua (dulu namanya Irian atau "I-kut RI A-nti N-etherland") sangat berkaitan dengan prestasi olahraga. Salahseorang pembawa obor SEAG kemarin adalah Emma Tahapary, sprinter putri Indonesia satu-satunya yang masuk dalam jajaran pelari estafet Asia saat kejuaraan dunia di Australia tahun 1980-an dulu. Kemudian Franklin Burumi dilatih oleh salahsatu legenda dari Timur juga yaitu Carolina Liewpassa.

Mengingat potensi Papua yang luar biasa mengapa tidak diarahkan ke sana saja orientasi pembangunan RI. Ini menyangkut metodologi pemilihan sampling yang tepat. Tentunya dengan alas an keadilan dan pemerataan, Papua lebih diutamakan sebagai pilot project --mengingat anggaran kita yang terbatas untuk menjangkau seluruh Nusantara. Mengarahkan pembangunan ke Papua, berarti menyelamatkan peradaban awal manusia Indonesia itu sendiri.

++

BEBERAPA versi menyebutkan proses terwujudnya manusia Indonesia --dari sisi genetika. Ada yang menyatakan bahwa ras Sunda adalah yang tertua. Sedangkan pelajaran di sekolah tahun 1980-1990 mengatakan bahwa nenek moyang RI dari Yunan, Cina. Salahsatunya dibuktikan dengan adanya "tembong" atau mongolse vlek di bokong tiap bayi Indonesia ketika lahir. Sebuah sumber lain yang cukup lengkap saya sampaikan di sini dari sumber National Geographic edisi Maret 2006. Disebutkan bahwa manusia modern asalnya dari Afrika, yang kemudian 40 ribu tahun yang lalu bergerak menuju Asia Tengah, kemudian Asia Tenggara. Ini cukup terbukti melihat postur dan wajah orang Asean kebanyakan mirip-mirip.

Bagaimana dengan Indonesia? Mengutip laporan Lembaga Eijkmann Jakarta, hasil pengujian DNA menunjukkan sekitar 60 ribu hingga 40 ribu tahun sebelum Masehi terjadi migrasi manusia memasuki Indonesia dari daratan Asia, yang sisanya masih terlihat di Papua dan daerah Alor yang berbahasa Melanesia. Disusul migrasi dari Formosa sekitar 3000 tahun SM melewati Filipina, Sulawesi, lalu menyebar ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, yang berbahasa Austronesia.

Terdapat kemungkinan lain, bahwa sumber genetis manusia Indonesia berasal dari Mentawai dan/ atau Nias. Mengingat lebih dari 60 ribu tahun mereka telah eksis (sebelum adanya proses migrasi Formosa). Uniknya orang Nias dan Mentawai ini bentuk tubuh, tulang, serta ciri-ciri cultural dan pola makanannya mirip dengan orang-orang di daerah Papua. Sumber makanannya juga sama, yaitu dari tanaman vegetatif seperti sagu, talas, dan pisang (bukan dari tanaman benih atau biji). Mereka juga suka memakan tutube --ulat sagu yang kaya protein. Mereka juga belum mengenal proses fermentasi dan pembuatan alkohol. Sehingga mungkin --versi sederhana dariku- genetis Papua juga adalah manusia lapisan dasar atau mula orang Indonesia.

Mengingat sejarah DNA, prestasi olahraga dan akademiknya, bukankah Papua adalah gugusan mutiara? Sehingga mengarahkan pembangunan ke Papua --yaitu mengalokasikan pembangunan infrastruktur baik jalanan dan sekolah- sama artinya dengan menyelamatkan peradaban awal manusia Indonesia itu sendiri. Menyelamatkan Papua adalah menjaga keberlangsungan nasion RI di era global.

Saya tulis: Sekali lagi Papua. Karena hubungan Papua dengan NKRI ini kayak lagu yang judulnya "putus nyambung". Sering banget bergejolak. Nah tulisan ini, yang saya sampaikan di kompasiana ini, kebanyakan tulisan lama yang dipadu dengan era kekinian.

Mengutip kajian LSM Setara. Mereka -dalam hal ini SETARA Institute- mencatat dalam laporannya bahwa terdapat 3 (tiga) periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan.

Periode pertama antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Periode kedua antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua.

Periode ketiga yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Pada praktiknya ketiga periode masih menjadikan pendekatan keamanan sebagai rujukan yang naasnya disertai dengan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.

Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. Amnesty Internasional telat mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018. Yang menyedihkan, aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan --34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh TNI.

Kekerasan --baik langsung maupun struktural-- menurut mereka harus segera dihentikan dan perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan rakyat Papua yang selama ini timpang harus segera dilakukan jika pemerintah ingin menghilangkan konflik di Papua. Kami mengutip artikel di suryamalang.com dengan judul OPINI - Hentikan Kekerasan untuk Menyudahi Konflik di Papua, pada ini 

Mengakhiri Konflik

Christopher Mitchell, sejarawan sekaligus ahli resolusi konflik dari Inggris, mencatat tiga kondisi yang dapat membuat konflik berakhir: hilangnya sikap negatif serta perseteruan, tidak berlakunya isu yang menjadi sengketa, dan berhentinya perilaku koersif dan kekerasan.

Ketiga kondisi ini mencerminkan adanya penghentian kekerasan struktural, kultural, dan langsung, yang menjadi pekerjaan utama untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.

Mengadopsi teori Mitchell, solusi untuk Papua bisa dimulai dengan Penghapusan sikap perseteruan yang dapat dimulai dengan permintaan maaf kepada masyarakat Papua. Permintaan maaf merupakan salah satu obat penyembuh dalam rekonsiliasi.

Masyarakat Indonesia secara keseluruhan perlu meminta maaf karena telah membiarkan kekerasan terjadi kepada saudara sebangsa dan setanah air terjadi. Permintaan maaf dari pemerintah juga harus dilakukan sebagai pengakuan atas kegagalan negara dan langkah awal komitmen berbenah.

Pelaku kekerasan -- aparat keamanan, ormas, dan pihak-pihak terkait -- harus secara langsung mengakui kesalahan fatal yang mereka lakukan selain juga meminta maaf.

Penertiban perilaku koersif dan penggunaan kekerasan juga harus segera dilakukan. Kepolisian harus menindak tegas aparat yang terlibat dalam kekerasan serta ormas sebagai preseden pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan tindakan tidak akan terulang (guarantees of non-repetition) di masa depan.

Selain itu, pemerintah harus mengkondisikan agar kekerasan tidak menjalar lebih jauh dan situasi di Papua menjadi kondusif. Upaya yang dapat dirintis sedini mungkin adalah memulai dialog holistik antara pemerintah pusat dan Papua. Dialog ini mencakup rencana pembangunan yang tidak terbatas pada infrastruktur fisik, tetapi berpusat pada manusia dengan menerapkan perspektif HAM

Sampai dengan data tahun 2018 (akhir) untuk indikator tingkat kemiskinan, kemiskinan di Papua masih relatif tinggi -terutama Pulau Papua dan Kepulauan Nusa Tenggara. Sampai dengan akhir 2018 hanya Pulau Kalimantan yang rendah. Kalau secara jumlah, Pulau Jawa-Bali adalah rumah bagi penduduk miskin terbanyak. Strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketimpangan antarprovinsi dan di dalam pulau adalah dengan terus mendorong pembangunan dan pusat-pusat pertumbuhan. Tetaplah damai wahai saudaraku, mari tetap Bersatu dalam NKRI

Sedangkan untuk indikator pengangguran, Papua malahan lebih baik, dibanding misalnya Maluku yang memiliki tingkat pengangguran paling tinggi. Sementara itu, upaya untuk mengurangi 80 kabupaten daerah tertinggal masih terkendala oleh terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar dan pendukung ekonomi di daerah tertinggal, akibatnya kapasitas sumber daya manusia dan pendapatan masyarakat di daerah tertinggal, terutama yang berada di wilayah Papua dan Nusa Tenggara belum dapat ditingkatkan secara optimal.

Angka kemiskinan dan IPM di desa dan daerah tertinggal telah menunjukan perbaikan. Untuk menangani kemiskinan yang relatif tinggi di Pulau Papua dan Kepulauan Nusa Tenggara, diperlukan strategi untuk menekan ke level di bawah 20 persen dan 10 persen, salah satunya dengan memperluas lapangan pekerjaan di kedua pulau dan kepulauan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun