Saya tulis: Sekali lagi Papua. Karena hubungan Papua dengan NKRI ini kayak lagu yang judulnya "putus nyambung". Sering banget bergejolak. Nah tulisan ini, yang saya sampaikan di kompasiana ini, kebanyakan tulisan lama yang dipadu dengan era kekinian.
Mengutip kajian LSM Setara. Mereka -dalam hal ini SETARA Institute- mencatat dalam laporannya bahwa terdapat 3 (tiga) periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan.
Periode pertama antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Periode kedua antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua.
Periode ketiga yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko "Jokowi" Widodo.
Pada praktiknya ketiga periode masih menjadikan pendekatan keamanan sebagai rujukan yang naasnya disertai dengan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.
Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. Amnesty Internasional telat mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018. Yang menyedihkan, aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan --34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh TNI.
Kekerasan --baik langsung maupun struktural-- menurut mereka harus segera dihentikan dan perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan rakyat Papua yang selama ini timpang harus segera dilakukan jika pemerintah ingin menghilangkan konflik di Papua. Kami mengutip artikel di suryamalang.com dengan judul OPINI - Hentikan Kekerasan untuk Menyudahi Konflik di Papua, pada iniÂ
Mengakhiri Konflik
Christopher Mitchell, sejarawan sekaligus ahli resolusi konflik dari Inggris, mencatat tiga kondisi yang dapat membuat konflik berakhir: hilangnya sikap negatif serta perseteruan, tidak berlakunya isu yang menjadi sengketa, dan berhentinya perilaku koersif dan kekerasan.
Ketiga kondisi ini mencerminkan adanya penghentian kekerasan struktural, kultural, dan langsung, yang menjadi pekerjaan utama untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
Mengadopsi teori Mitchell, solusi untuk Papua bisa dimulai dengan Penghapusan sikap perseteruan yang dapat dimulai dengan permintaan maaf kepada masyarakat Papua. Permintaan maaf merupakan salah satu obat penyembuh dalam rekonsiliasi.