Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Janda Salah Apa?

12 Oktober 2021   15:01 Diperbarui: 12 Oktober 2021   15:04 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup sebagai janda di perkampungan memang banyak makan hati. Sebenarnya rumahku terletak di Kota Yogyakarta dan jarak ke Malioboro tak lebih dari empat kilo. Tetapi penduduk asli di wilayah tempat tinggalku masih berpikiran tradisional. Segala sesuatu yang di luar mainstream tidak bisa diterima. Aku menjanda sudah lama ini pun menjadi masalah buat mereka.

            Seorang kakek usia enampuluhan selalu saja usil bertanya, " Kenapa nggak nikah lagi?  Cari sana teman-teman kerja yang duda !"

            "Nggak ada Pak," jawabku enteng.

            "Kamu kurang usaha. Apa nggak pengin ada teman berbagi suka duka ? Udah nggak ingat lagi rasanya tidur sama laki-laki ? Nggak pengin lagi?"

            Duh, Si Kakek ini makin menjadi-jadi memprovokasi aku untuk menikah lagi. Apa dipikirnya menikah itu semudah membalikkan telapak tangan? Menikah bukan lomba lari yang beradu cepat mencapai garis finish. Apalagi menikah lagi bagi janda cerai sepertiku. Banyak yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan menikah lagi. Banyak cerita kudengar tentang kemalangan janda yang menikah lagi. Bersedia menikah dengan lelaki mapan dengan harapan akan bahagia dengan kondisi perekonomian yang lebih baik. Tidak disangka suami barunya cuma modal badan. Harta yang dimiliki ternyata sudah menjadi hak anak-anaknya.

            Tidak hanya Si Kakek  yang gencar menginterogasiku sudah sampai mana usahaku mendapatkan calon suami baru. Masih ada Si Nenek usia tujuh puluhan yang juga sering membujukku untuk menikah laki.

            "Kamu kan orang berpendidikan pasti mudah cari suami baru. Hidup itu tidak bisa sendiri terus. Butuh teman hidup."

            Kubalas dengan wajah pura-pura memelas, "Iya Mbah doakan saja !"

            Masih kuingat reaksi seorang ibu yang kebetulan duduk di sampingku waktu acara pengajian menjelang pernikahan yang digelar salah satu tetanggaku. Malam itu aku datang memenuhi undangannya lalu duduk di kursi-kursi yang telah disiapkan sambil menunggu ustaz yang akan memberikan tausyiahnya. Seorang ibu yang  duduk di sebelahku tidak kukenal. Kelihatannya dia tamu jauh yang tidak berasal dari wilayah tempat tinggal kami.

Dia menanyakan namaku  tapi ketika kusebutkan namaku wajahnya berubah. "Nama suaminya siapa?" Rupanya jawabanku salah menurutnya. Namaku tidak berarti. Dia membutuhkan nama laki-laki sehingga yang ingin didengar adalah "Bu Andi " atau "Bu Arman"   bukan "Bu Yuni"  atau "Bu Tanti."

         "Saya sudah bercerai Bu," sahutku datar. Reaksi ibu itu sungguh luar biasa.Wajahnya langsung berubah seolah tersulut amarah. Dengan spontan dia melengos ke arahku lalu tak lagi berkata-kata sampai pengajian selesai.

Salahku apa ? Aku sudah jujur mengakui statusku sebagai janda cerai. Dia memandang seakan aku makhluk hina yang tak pantas duduk di sampingnya. Kita sama-sama manusia tapi status berbeda. Barangkali dia menganggap statusnya lebih tinggi karena punya suami. Seorang janda lantas tak pantas dihargai.

Di lingkungan tempat kerjaku ternyata juga terbentuk stereotipe tentang betapa berbahayanya berteman dengan janda.  Perempuan harus menjaga jarak dengan janda karena perceraian ibarat  virus yang mudah menular. Karena itulah teman-teman perempuan yang sudah menikah terkesan enggan berteman denganku. Barangkali karena ada tiga teman kerja yang menjadi pengikutku. Mereka juga  ikut bercerai dan harus menyandang status sebagai janda. Meskipun setelah beberapa tahun menjanda, dua di antara mereka sudah menikah kembali. Satu pasang merasa bahagia dengan kehidupan barunya tetapi yang satu merasa kecewa dengan pernikahan ke duanya yang tidak sesuai harapannya.

Bukan  hanya kalangan masyarakat biasa yang menganggap janda berbeda dari perempuan lainnya. Di lingkungan yang lebih religius sama saja. Aku pernah ikut pengajian di sebuah masjid. Ketika Pak Kiai menyebut kata janda segera diikuti dengan ucapan  "naudzubillahi min dzalik" yang artinya "Kami berlindung kepada Allah dari perkara ini." 

Ucapan ini digunakan ketika melihat atau mendengar sesuatu yang buruk atau tidak diinginkan. Seketika aku merasa bukan bagian dari jamaah yang diharapkan kehadirannya oleh Pak Kiai. 

Seorang janda adalah sesuatu yang buruk dan tidak diinginkan berada di masjid itu. Saya tidak tahu bagaimana reaksi Pak Kiai jika anak perempuan atau saudara perempuannya suatu saat nanti menjadi janda. Apakah tetap akan menganggapnya buruk atau sama berharganya dengan perempuan yang bersuami ?

Semua orang bebas berkomentar apa saja tentang janda. Ada yang menginginkan untuk segera mengakhiri agar tidak hidup sendiri. Menurut mereka, tak seharusnya perempuan hidup sendiri terlalu lama. 

Harus ada seorang lelaki yang menjaga dan melindunginya. Lelaki itu adalah suami sang pendamping hidupnya. Nama suami menjadi nama publik sementara nama sendiri hanya terbatas untuk kalangan teman dan lingkungan kerja. Jadi seorang perempuan bersuami akan kehilangan namanya di depan publik. 

Meskipun demikian mereka lebih dihargai dibandingkan seorang janda yang memiliki kebebasan menggunakan namanya sendiri. Bagaimana mungkin perempuan yang kehilangan namanya bisa menjadi begitu berharga di hadapan manusia lainnya ?

Aku tak peduli jika janda dianggap sebagai virus yang menular. Perceraian terjadi pasti karena ada sebabnya. Bukan ikut-ikutan teman yang sudah menjanda sebelumnya. 

Jadi kenapa harus takut berteman dengan janda ? Selama prinsip hidupmu kuat, berteman dengan siapa pun tak akan mengubahmu menjadi serupa dengan temanmu. 

Tetapi perlu kuluruskan dulu duduk persoalannya. Tiga teman yang mengikuti jalanku memilih menggugat cerai suaminya karena memang kehidupan rumah tangga mereka tak bisa dipertahankan lagi. Daripada menderita dalam pernikahan yang tidak bahagia kenapa tidak bercerai saja lalu berusaha mencari kebahagiaannya sendiri?

            Pak Kiai yang memandang janda sebagai  sesuatu yang buruk mestinya sadar kalau

Rasulullah pun menikahi janda. Meskipun ditinggal mati suami dan punya banyak kekayaan, Khadijah tetaplah seorang janda. Rasulullah sebagai makhluk Allah yang paling mulia pun memuliakan seorang janda dan tidak mengucapkan "naudzubillahi min dzalik" ketika berhadapan dengan janda.

Selain harus menghadapi mulut para  janda haters aku juga harus bertemu dengan orang-orang dengan mental pedagang dalam beribadah. Pertama kali mendengarnya membuatku kaget. Ketika aku bertemu dengan saudara dari mantan suamiku dia mulai menasihatiku . "Biasakanlah salat Tahajud."  Itu tentu nasihat yang baik tetapi kenapa aku menganggapnya  bermental pedagang dalam urusan ibadah?  

Dulu kehidupannya biasa. Tinggal di perumahan sempit tanpa memiliki kendaraan. Dua puluh tahun kemudian dia berhasil mengubah kehidupannya. Rumahnya  besar berlantai dua. Kendaraannya berupa 2  buah mobil  yaitu Honda Rush dan Toyota Kijang Innova terbaru. 

Mereka sudah naik haji melalui program  Haji Plus yang biayanya mencapai ratusan juta per orang. Jalan-jalan ke luar negeri bukan hal baru untuk keluarga mereka.

Anak-anak menyelesaikan pendidikan dokter dan farmasi yang biaya kuliahnya tidak murah. Sedangkan kehidupanku tetap stagnan. Tinggal di rumah peninggalan orangtua dengan hanya memiliki kendaraan berupa sepeda motor. Aku yakin  mereka menganggap aku tidak pernah salat Tahajud yang mengakibatkan kehidupanku tidak pernah mengalami peningkatan.

Ternyata tidak hanya mereka yang berpandangan bahwa ibadah yang dilakukan seseorang akan meningkatkan kehidupannya baik dari segi karier maupun ekonomi. Pamanku pun berkata dengan nada heran. "Kamu banyak sholat, banyak berdoa, sering ngaji dan banyak puasa tapi kenapa hidupmu begitu-begitu saja ?  Karier nggak jelas, ekonomi juga pas-pasan saja, anak belum dapat pekerjaan sampai sekarang dan lebih sering menyusahkan hidupmu."  Lalu aku harus bilang apa kepada pamanku itu ? 

Aku bukan tipe pedagang yang rajin menjalankan ibadah jika memberikan keuntungan.  Barangkali aku termasuk dalam golongan kekasih Allah yang beribadah karena cinta kepadaNya. Ibadah dijalankan semata-mata agar memperoleh ridhoNya dan berharap perjumpaan denganNya.

Tidak salah  menghubungkan kesuksesan dunia dengan ketekunan beribadah seseorang. Artinya orang yang banyak beribadah dijamin hidupnya bahagia dunia akhirat.  

Tetapi Allah punya rahasia yang kita tak pernah tahu. Kenapa ibadahnya bagus jalan hidupnya tidak mulus? Allah punya janji dan rencana lain yang pasti lebih baik untuk semua manusia. Jadi jangan nge-judge orang yang hidupnya pas-pasan pasti karena ibadahnya kurang bagus. Tidak pernah berdoa atau salat Tahajud. Sebaliknya orang yang bagus ibadahnya tidak selalu harus mendapat balasan di dunia.

Bebas berkata memang hak setiap manusia tetapi mereka tidak berhak mengatur hidupku.  Sama sekali aku tak terpengaruh oleh kata-kata manusia. Hidupku tidak berada dalam pengaturan dan kekuasaan manusia. Kutempuh jalan hidupku sendiri dengan segala resikonya. Kutundukkan wajah dan kutengadahkan tangan untuk memohon kebaikan dunia dan akhirat kepada Sang Pencipta.  Dia menetapkan takdir yang berbeda untuk setiap manusia dan aku  harus ikhlas menjalaninya. 

Yogyakarta, September 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun