Keduanya duduk berhadapan  selepas makan malam.  Meja makan itu telah dirapikan Santi  begitu mereka selesai makan. Ada sesuatu yang istimewa hingga mereka harus duduk berlama-lama di situ. Santi yang meminta Audrey tetap di situ karena ada hal penting yang akan dibicarakan. Butuh waktu lama untuk menyiapkan mentalnya menatap Audrey yang tetap terlihat tenang di depannya. Sempat muncul keraguan. Siapa tahu Rama hanya mengarang cerita agar tak dipisahkan dari Audrey. Namun sekarang Santi akan membuka percakapan pelan-pelan supaya mendapatkan kebenaran.
"Kenapa kamu mau putus dari Rama?" pertanyaan pertama yang ke luar dari mulutnya masih bisa dikontrol dengan baik.
"Aku sudah nggak suka dia lagi," sahut Audrey tak bersemangat.
"Kenapa? "
"Mama tahu sendiri."
"Nggak, Mama cuma tahu sedikit. Dia suka memaki dan mengancam. Pencemburu dan posesif. Ada lagi yang lain?"
"Dia suka memukul juga, Ma. Aku suka ditarik-tarik dan rambutku dijambak," ujar Audrey sambil menunduk.
"O, begitu ya? Kenapa kamu diam saja?"
"Takut, Ma. Dia suka mengancam. Mau bilang Mama kalau aku suka bolos les dan suka bohongin Mama."
"Hmm, begitu ya? Jadi kamu sering bolos dan sering bohongin Mama?"
Diam tanpa suara. Detak jarum jam dinding di ruang tengah terdengar jelas dari ruang makan. Santi menatap Audrey yang tertunduk menatapi meja makan.
"Apa lagi yang sudah dilakukan padamu?" desaknya bernada lembut untuk mengusir ketakutan yang mungkin hinggap di hati Audrey.
Tangis Audrey pecah. Mulutnya melengkung tak menentu menciptakan isak yang lama dan panjang. Bulir-bulir air mata tumpah di kedua belah pipinya. Tangan Santi terulur membelai rambut gadis kecilnya itu. Sabar menunggu tuntasnya sisa tangis hingga mulut pun mampu bersuara seperti biasa.
"Dia mengancamku, Ma. Kalau aku nggak mau dia memukulku. Aku takut, Ma. Aku sendiri di rumah. Kalau aku teriak nanti tetangga-tetangga pada datang," belanya seperti sudah tahu arah pembicaraan Mama.
"Berkali-kali?" perih hatinya melancarkan interogasi seperti ini  kepada anaknya sendiri.
"Aku takut, Ma. Dia sering mengajak ke warnet dan melakukan lagi. Aku selalu diancam kalau nggak mau."
Napas Santi terengah-engah menahan amarah yang sekuat tenaga dijaga agar tak terlepas. Gadis kecilnya kini duduk dengan wajah pucat berurai air mata. Adakah penyesalan itu tergambar dalam raut mukanya? Santi ragu menemukan bentuk penyesalan ada di sana. Audrey hanya menangis sambil membela diri. Sementara dia tak tahu apakah permata yang berharga itu telah hilang darinya. Santi tak ingin menatapnya lebih lama. Luka itu menggores hatinya semakin dalam dan semakin perih rasanya.
"Aku nggak mau sama dia lagi , Ma," desahnya di sela isakan.
Tubuh Santi lemas seketika. Disandarkan tubuh di kursi makan itu beberapa saat. Pening melanda kepalanya seperti  ada gada berat yang menindihnya.  Terjebak dalam kumparan masalah yang tak berujung pangkal seperti ini membuatnya sesak napas lagi. Menyalahkan diri sendiri tak ada gunanya. Menyalahkan anak-anak itu tak menolongnya terbebas dari kesulitan.
"Ini juga kekerasan ," desisnya dengan mulut kering
Kepada siapa mesti mengadu? Ini aib yang tak sepantasnya diumbar ke mana-mana. Hanya ada Danu , tempat mengadu yang  aman. Dengan berat Santi menghubungi Danu untuk segera datang ke rumahnya. Beberapa bagian kisah sudah dilukiskan lewat penuturannya ketika menelpon.
"Kalau mau kamu bisa buat pengaduan ke polisi tentang kekerasan seksual," saran Danu. " tapi polisi biasanya minta visum dokter. "
"Nampaknya visum itu tidak mudah ya Dan? Apalagi ini menyangkut virginitas," pupusnya.
"Atau coba konseling ke Women Crisis Centre, konsultan di sana pasti punya solusi yang lebih baik."
Demi mendapatkan solusi bagi masalahnya, Santi mengajak Audrey ke  Women Crisis  Centre yang disarankan Danu. Telpon dari orang tua Rama yang minta waktu untuk bertemu tak ditanggapinya.  Santi tidak akan menghancurkan masa depan Audrey dengan menyerahkannya kepada Rama. Lebih baik Audrey menata hidupnya ke depan setelah kejadian itu.
Pada sesi konseling pertama, Santi menemani Audrey untuk mengisahkan kejadian yang menimpanya. Konselornya seorang gadis muda berjilbab berparas cantik. Masih ada beberapa sesi konseling selanjutnya yang harus dijalani Audrey.
"Kalau mau buat laporan ke polisi bisa kok Bu," kata konselornya.
"Bagaimana cara mendapatkan visum dokter ?" tanya Santi selanjutnya.
"Ada satu dokter kandungan yang bisa memberikan visum itu. Beliau sudah sering bekerjasama dengan kami. Nanti saya buatkan surat pengantarnya," janjinya .
Berbekal surat pengantar itulah Santi membawa Audrey ke RS yang ditunjuk. Sayang sekali dokter yang dicari sedang cuti. Dokter yang lain tidak mau memberikan surat visum. Menurutnya, surat semacam itu hanya dibuat atas permintaan polisi. Kalau begitu mestinya Santi membuat pengaduan dulu ke Polsek setempat baru kemudian polisi minta dilengkapi dengan surat visum.
     "Kok ribet banget ya Dan," keluhnya kepada Danu sehari setelah itu. Audrey tidak mendapatkan visum. Hanya di-USG oleh seorang dokter kandungan laki-laki yang dengan riang mengatakan kalau rahim Audrey sehat.
     "Jadi maunya bagaimana? Mau lapor atau diam menerima nasib?" tegas Danu.
     "Ini memalukan, Dan," desahnya ragu.
     "Ya, sudahlah kalau begitu. Suruh Audrey ikuti sesi konselingnya. Buktinya dia baik-baik saja kan? Kejadiannya kan sudah lama juga. Dia nggak hamil kan?"
     "Itu yang kutakutkan Dan," bisiknya.
     "Mau bagaimana lagi? Kalau hamil ya sudah," Danu menyerah,  "Semoga saja tidak. Berdoa saja San. Ke depannya hati-hati menjaga anak gadis!"
     Sesi konseling yang berikutnya tidak semuanya diikuti Audrey. Setiap kali pulang dari sana, dia membawa beberapa brosur dan majalah internal terbitan lembaga yang banyak mengulas KDRT dan hak-hak perempuan. Nampak beberapa perubahan menggembirakan. Wajah Audrey kembali berseri seolah tak pernah terjadi apa-apa. Santi berharap konseling itu benar-benar membantu Audrey.
     "Sebentar lagi dia lulus SMP, aku bingung ini Dan. Sebaiknya dia meneruskan SMA di mana? Aku ingin memisahkannya dengan Rama."
     "Memang sebaiknya begitu. Biar dia punya lingkungan baru. Melupakan Rama yang meninggalkan trauma mendalam di kehidupannya."
     "Kalau aku mengirim ke Makasar bagaimana?" tanya Santi meski meragukan keputusannya.
     "Kamu yakin mau menyerahkan Audrey ke Papanya?" Danu pun tak yakin dengan keputusan Santi.
     "Mau bagaimana lagi Dan? Aku tidak bisa menjaganya. Semakin tambah usia semakin banyak tantangannya. Aku tak bisa mendidiknya dengan baik. Papanya mungkin benar keras tapi kukira itu baik untuk Audrey."
     "Pikirkanlah dulu baik-baik. Jangan sampai menyesal nanti. Kalau terlalu dikekang seorang anak juga akan semakin memberontak," Danu mengingatkan lagi pada teori-teori pengasuhan anak.
     Santi tak ingin salah menentukan sikap. Dia juga bukan tipe orang tua otoriter yang memaksakan kehendak pada anaknya. Merasa perlu untuk membicarakan ini dengan Audrey. Namun sudah bisa dipastikan Audrey akan menolak kehendaknya.
     "Aku  mau sekolah di sini, Ma," katanya berharap.
     "Tapi ini demi kebaikanmu , Drey !"
     "Aku bisa menjaga diri, Ma. Mama nggak usah kuatir. Rama itu bukan psikopat. Nggak usah takut,"  tiba-tiba saja dia sudah bisa menenangkan Santi.
     "Kamu yakin dia tidak akan menerormu nanti ?"
     "Ya, dihadapi saja. Tidak usah sembunyi," tantangnya.
     "Kamu siap kalau anak itu ngoceh di depan teman-teman barumu nanti untuk membuka aibmu?" Santi memberikan gambaran lain.
     "Nggak usah terlalu kuatir, Ma! "
Sementara Rama terus menerus berusaha menemui Audrey padahal tak pernah ditanggapi. Â Keputusasaannya itu membuatnya sering terlihat berjalan mondar-mandir di depan rumah Santi baik pagi maupun malam. Pagi-pagi sekali ketika membuka pintu, Santi menemukan surat Rama untuk Audrey yang diletakkan di bawah pot bunga. Begitu seterusnya hampir tiap hari. Â Namun lama-lama Santi mulai curiga. Â Dia menduga Audrey pun membalasnya dengan cara yang sama.
Malam itu dia ke teras untuk memeriksa apakah ada lipatan kertas di bawah pot bunganya. Benar juga ditemukan selembar kertas yang dilipat asal-asalan. Ini surat dari Audrey untuk Rama sebagai balasan surat sebelumnya. Pelan-pelan dibacanya. Santi merasa heran kenapa Audrey menceritakan rencananya untuk mengirimnya sekolah ke Makasar.
"Aku dibuat bingung oleh Audrey ," keluhnya pada Danu. "Dia masih saja  berhubungan dengan Rama padahal katanya mau putus."
"Jangan-jangan masih diancam lagi?" Danu menduga-duga.
"Diancam apa lagi? Ancaman Rama sudah dibuktikan. Kalau minta putus rahasia mereka berdua terkuak. Itu rahasianya sudah dibongkar. Apakah ada rahasia yang lebih besar lagi? Jangan ah, Dan. Aku  nggak siap mendengarnya lagi. Nggak..nggak..," ditepisnya sendiri kekhawatiran yang pelan-pelan menjalar ke benaknya.
"Jadi bagaimana sekolahnya nanti? Masih bertahan di sini bersamamu atau merelakannya jauh darimu?"
Ganti Santi yang terdiam. Sejak kecil Audrey telah bersamanya. Kalau dia pergi meski hanya sementara semasa SMA, apakah Santi akan sanggup hidup sendiri? Meski Audrey sangat sulit diatur dan sering menyakiti hatinya, dia sungguh tak rela dipisahkan dari anak itu. Ketika proses perceraiannya sedang berangsung dulu, setiap kali menjemput ke sekolah dan tak menemukan Audrey dia  selalu takut anaknya diculik Suaminya. Lantas sekarang ini dengan sukarela dia menyerahkan Audrey yang telah menjadi gadis remaja ke tangan Papanya yang entah apa pekerjaannya di sana.  Bagaimana kalau Audrey justru menjadi makin rusak karena terpisah dari Mamanya?
Di HP-nya, Santi menerima banyak SMS dari Rama yang memintanya untuk membatalkan rencana menyekolahkan Audrey di Makassar. Â Berbagai alasan dipaparkan untuk mengurungkan niat Santi. Beberapa nampak masuk akal. Beberapa yang lain hanyalah ketakutan yang berlebihan pada sosok Papa Audrey. Tapi apa hak Rama mengaturnya ? Sungguh berani anak itu mencampuri urusannya.
Masih ragu Santi menghubungi Bayu, mantan suaminya. Apakah perlu berterus terang tentang kejadian ini? Tidakkah itu membuka peluang bagi Bayu untuk mengkritiknya, menyalahkannya dan bahkan memarahinya karena tidak bisa menjaga dan mendidik Audrey? Santi tak ingin disalahkan atau dihakimi sebagai Ibu yang kurang peduli pada anak. Susah payah dia mempertahankan hidupnya bersama Audrey  tanpa bantuan keuangan dari siapapun. Ah, tapi akankah Bayu menyalahkannya dalam hal ini? Atau lebih baik tidak usah menceritakan apa-apa. Cukup minta tolong untuk menjaga dan mendidik Audrey selama tiga tahun di SMA. Pada saat kuliah nanti Audrey akan kembali kepadanya. Tinggal bersamanya seperti semula. Ya, itu mungkin lebih baik.
"Mama sudah  nelpon Papa?" tanya Audrey memastikan.
"Belum," jawabnya jujur.
"Please, Ma. Jangan paksa aku tinggal dengan Papa. Aku nggak mau sekolah di Makassar," Â rengeknya.
"Kalau begitu mungkin lebih baik kamu nggak usah sekolah," jawabnya enteng sambil mulai memencet nomor HP Bayu. Pada saat itu dia teringat pada salah seorang teman Audrey yang melarikan diri dari pesantren karena tidak tahan dengan sistem pendidikan di sana. Tiba-tiba bayangan Audrey melarikan diri dari sekolahnya di Makassar menghentikan niatnya untuk menghubungi Bayu. Dipandanginya lekat-lekat wajah Audrey yang penuh harap untuk tetap bersamanya.
Sungguh Santi membenci dirinya sendiri yang  peragu. Bayangan-bayangan buruk hampir selalu menggoyahkan niatnya. Hantu itu diciptakan sendiri lalu ditakutinya sendiri. Sungguh aneh memang. Tapi itulah Santi yang terbelit oleh masalah-masalahnya sendiri. Terperangkap dalam bayang-bayang kesulitan yang menyesakkan jiwanya.
"Ada apa menelponku tadi?" suara Bayu di seberang sana menyadarkan keberadaannya kini. Berpijak di atas dua kakinya sendiri di rumahnya sendiri. Bersama Audrey yang meratapi sisa-sisa harapannya.
"Mama ! Aku nggak mau," bisiknya tepat di dekat lubang telinganya.
"Kamu keberatan nggak kalau Audrey tinggal bersamamu waktu SMA nanti?" tanpa disadarinya kalimatnya mengalir lancar begitu Audrey menjauh darinya.
"O, nggak apa-apa. Kenapa ? Kamu mau nikah lagi?" tebaknya.
"Nggak.. Aku cuma ingin dia bisa lebih mandiri  dengan tinggal jauh dariku," dalihnya.
"Kamu yakin ? Sudah siap berpisah dengannya? Paling cepat enam bulan sekali baru bisa pulang atau setahun sekali," jelas Bayu memberikan gambaran situasi yang akan dihadapi Santi nanti.
Keraguan itu kembali membuatnya tak berdaya. Kelekatan pada buah hatinya sejak dalam kandungan rupanya begitu kuat. Tak ingin dipisahkan oleh apapun atau siapapun. Â Bayu adalah ayah kandung Audrey. Mestinya Santi bisa mempercayainya untuk menjaga buah hati mereka berdua. Walaupun Bayu sudah mempunyai keluarga baru, kehadiran Audrey di sana seharusnya tidak menjadi masalah. Santi bisa menanggung biaya sekolah dan biaya hidup Audrey selama tinggal di sana sehingga tidak membebani Bayu. Harus dibulatkan tekad untuk melepaskan Audrey demi kebaikannya nanti. Dia harus dijauhkan dari Rama meskipun itu berarti harus berpisah dengan Santi juga
Sorenya Rama datang ke rumah lagi. Seperti biasanya wajahnya nampak serius di balik kaca mata minusnya. Entah keberanian dari mana yang selalu menyemangati langkahnya untuk menemui Santi. Setelah duduk dan menata napas sejenak, dia pun mulai berucap.
"Saya mohon Audrey jangan disekolahkan di Makasar, Tante. Di sini lebih baik untuk dia. Bisa mendapat pendidikan yang bagus sambil mengembangkan bakat musiknya. Kasihan di sana Audrey tidak bisa berkembang," tuturnya seolah dia tahu apa yang terbaik untuk Audrey.
"Itu sudah keputusan Tante dan Papanya ," jawab Santi tak peduli.
"Saya mohon, Tante!" ucapnya mengiba.
"Itu yang terbaik buat Audrey," tegas Santi .
"Maaf Tante, sebenarnya tidak pernah terjadi apa-apa antara saya dan Audrey. Saya bohong, Tante," suara Rama pelan , "Tante nggak usah kuatir. Audrey nggak apa-apa. Saya sebenarnya cuma nggak ingin putus dengannya."
Santi melotot mendapati Rama sedang mengeluarkan strategi baru. Cerdiknya anak ini. Siapa  dalang di balik semua ini? Kemarin dia membuat Santi lunglai karena pengakuannya telah berhubungan terlalu jauh dengan Audrey. Begitu muncul rencana mengirim Audrey untuk sekolah di Makasar, kisahnya pun berubah. Dengan mudah dia menarik pengakuannya untuk menggagalkan rencana Santi. Â
"Jangan mempermainkan saya," gertaknya  kepada Rama yang dengan berani datang menghadapnya untuk membuat pengakuan baru.
"Maaf Tante, saya tidak bermaksud begitu," ucap Rama pelan.
"Kamu nggak usah bohong. Katakan saja yang sebenarnya !"
Rama diam kini. Terpekur menatap tepian meja. Santi duduk dengan gelisah menunggu jawaban yang tak kunjung tiba. Audrey mengunci diri di dalam kamar. Tak mau terlibat dalam pembicaraan tentang dirinya. Keheningan itu berjalan beberapa lama. Sandiwara apa yang telah dimainkan anak-anak ini, batin Santi dalam keresahan yang makin menekan.
"Jadi, mana yang betul Rama? Ceritamu yang dulu atau yang sekarang?" desaknya mulai kehilangan kesabaran.
"Tante, saya sangat mencintai Audrey. Apapun akan saya lakukan untuk dia," seketika kalimat itu menuntun Santi pada satu keyakinan. Audrey yang meminta Rama melakukan ini. Membuat pengakuan baru untuk menggugurkan pengakuan lama agar dia bisa tetap tinggal bersama Mama.
"Kalian sudah melakukan kesalahan besar," ujar Santi pada akhirnya setelah menahan kegeraman.
"Saya yang salah Tante. Maafkan saya Tante," ucapan itu telah begitu sering ke luar dari mulut Rama.
"Ya, kamu memang salah. Aku tidak bisa menerima sikapmu yang selalu merendahkan Audrey.  Aku tidak  terima kamu melakukan kekerasan kepada Audrey," serang Santi dengan suara keras yang mengagetkan Rama.
"Saya tidak akan mengulanginya lagi, Tante. Maafkan saya , Tante," suaranya mulai bercampur dengan tangis kecil.
"Sebaiknya kamu pulang sekarang, Rama. Jauhi Audrey mulai sekarang. Dia tidak membutuhkan kamu karena kamu hanya akan membuatnya sakit. Lupakan dia dan jangan lagi berhubungan dengan Audrey. Dia akan segera pergi dari sini. Kamu tidak bisa menghalanginya ," tutur Santi tegas untuk menyudahi permasalahan yang berlarut-larut.
"Tolong pikirkan lagi , Tante. Saya takut Audrey malah semakin parah kondisinya kalau jauh dari Tante !"
"Sudahlah Rama, kamu pulang sekarang!" Â suaranya berat dan tegas.
Diluar langit mulai gelap. Sosok Rama menghilang dari hadapannya namun Audrey tak juga menampakkan diri. Senja telah habis di pucuknya karena petang bersiap menyongsong malam. Kegelapan akan tiba diiringi kelip bintang-bintang sebagai penerang. Sepekat apapun malam-malam yang akan datang, selagi kelip bintang masih bertengger di atas sana., tetap ada sinar penerang bagi setiap makhluk di bumi.
Suara HP Audrey berbunyi pertanda ada telpon yang masuk. Â Nama Papanya tertulis di sana. Dibiarkan saja seolah tak pernah ada yang menelpon. Deringnya pun berhenti lalu berulang lagi hingga beberapa kali. Masih saja sama tanggapan Audrey. Tetap tak diangkat. Sekali lagi berbunyi lalu dimatikan. Dibukanya bagian belakang HP. Kartu yang terjepit di antara batterei dikeluarkan pelan-pelan. Dilemparkan ke tempat sampah di sudut kamar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H