"Nampaknya visum itu tidak mudah ya Dan? Apalagi ini menyangkut virginitas," pupusnya.
"Atau coba konseling ke Women Crisis Centre, konsultan di sana pasti punya solusi yang lebih baik."
Demi mendapatkan solusi bagi masalahnya, Santi mengajak Audrey ke  Women Crisis  Centre yang disarankan Danu. Telpon dari orang tua Rama yang minta waktu untuk bertemu tak ditanggapinya.  Santi tidak akan menghancurkan masa depan Audrey dengan menyerahkannya kepada Rama. Lebih baik Audrey menata hidupnya ke depan setelah kejadian itu.
Pada sesi konseling pertama, Santi menemani Audrey untuk mengisahkan kejadian yang menimpanya. Konselornya seorang gadis muda berjilbab berparas cantik. Masih ada beberapa sesi konseling selanjutnya yang harus dijalani Audrey.
"Kalau mau buat laporan ke polisi bisa kok Bu," kata konselornya.
"Bagaimana cara mendapatkan visum dokter ?" tanya Santi selanjutnya.
"Ada satu dokter kandungan yang bisa memberikan visum itu. Beliau sudah sering bekerjasama dengan kami. Nanti saya buatkan surat pengantarnya," janjinya .
Berbekal surat pengantar itulah Santi membawa Audrey ke RS yang ditunjuk. Sayang sekali dokter yang dicari sedang cuti. Dokter yang lain tidak mau memberikan surat visum. Menurutnya, surat semacam itu hanya dibuat atas permintaan polisi. Kalau begitu mestinya Santi membuat pengaduan dulu ke Polsek setempat baru kemudian polisi minta dilengkapi dengan surat visum.
     "Kok ribet banget ya Dan," keluhnya kepada Danu sehari setelah itu. Audrey tidak mendapatkan visum. Hanya di-USG oleh seorang dokter kandungan laki-laki yang dengan riang mengatakan kalau rahim Audrey sehat.
     "Jadi maunya bagaimana? Mau lapor atau diam menerima nasib?" tegas Danu.
     "Ini memalukan, Dan," desahnya ragu.