Seringkali aku meragukan kasih sayang dan keadilan Allah. Barangkali karena terlalu banyak kepahitan yang kualami selama hidupku. Cita-citaku terpaksa kandas karena berbagai  rintangan yang tak mampu kuatasi.
Saat itu aku menghibur diri dengan semboyan, "jika kamu tak bisa mencapai cita-citamu, bercita-citalah yang dapat kamu capai" Untuk sementara waktu semboyan itu berhasil meredam kekecewaan yang mendalam atas kegagalanku mewujudkan cita-citaku sejak kecil. Namun rasa kecewa itu muncul lagi dan  tetap saja menyertaiku meskipun akhirnya aku berhasil merampungkan studi di universitas terkemuka untuk mencapai cita-cita berikutnya. Mestinya aku bersyukur karena tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan berharga seperti yang kudapat. Entah kenapa aku selalu merasa ada yang salah dengan semua yang terjadi padaku.
Pekerjaan menarik yang  sesuai dengan bidang ilmuku menantiku di ibukota. Sayangnya karena aku terpaksa harus menikah dengan pacarku yang belum selesai kuliahnya, kesempatan untuk bekerja di ibukota juga harus kulepaskan.Â
Kukatakan aku terpaksa harus menikah karena memang orangtuaku, terutama Ibuku, memaksaku segera menikah sebelum kedua orangtuaku berangkat naik haji. Alasannya karena mereka ingin menyelesaikan tugasnya sebagai orangtua.
Jika terjadi apa-apa di tanah suci yang membuat mereka tak bisa kembali ke tanah air , maka mereka tidak akan menyesalinya kerena telah menuntaskan tugasnya di dunia. Sebagai anak yang patuh aku tak bisa menolak meskipun sebenarnya aku belum yakin  akan bahagia jika hidup bersama lelaki yang kemudian menjadi suamiku itu.
Baktiku  pada Ibuku ternyata tidak berbuah manis. Suamiku tidak sungguh-sungguh ingin menyelesaikan kuliahnya seperti janjinya sebelum menikah dulu. Â
Dia adalah tipe orang yang mudah terpengaruh oleh lingkungan. Karena kami mengontrak rumah di perkampungan yang ternyata banyak lelaki pengangguran, suamiku pun terbawa arus pergaulan.
Dia lebih suka menghabiskan waktu dengan mereka sambil mengobrol ke sana ke mari  di pos ronda atau di rumah salah satu di antara mereka. Seringkali aku melihatnya bermain kartu atau  sibuk menerbangkan burung merpati. Kalau mereka memancing ke laut , mencari batu akik dengan ritual tertentu atau berburu barang antik yang katanya akan dibeli seseorang dengan harga tinggi, maka suamiku akan selalu ikut bersama mereka.
Kuliah tidak lagi menarik baginya. Meskipun dulu dia bisa masuk perguruan tinggi negeri  ternama tanpa tes karena prestasi akademis selama SMA, kartu hasil studi selama masa kuliah  menunjukkan nilai-nilai yang sangat buruk.
Begitu banyaknya mata kuliah yang harus diulang karena tidak lulus menyurutkan niatnya untuk merampungkan kuliah. Dia justru mengajukan usul untuk pindah kuliah ke perguruan tinggi swasta di kota lain yang bisa meluluskannya dalam waktu setahun. Itu sama saja seperti kita membeli ijazah sarjana karena ternyata dia harus membayar sejumlah besar uang. Â Aku menentang keras niatnya dan membiarkan dia meninggalkan kuliahnya.
Sebagai kepala keluarga mestinya dia tergerak untuk bekerja agar bisa menafkahi keluarga. Sekalipun dengan ijazah SMA, seseorang masih bisa mendapatkan pekerjaan yang kalau ditekuni akan memberikan gaji yang cukup memadai. Bahkan mungkin kelak bisa mengikuti kuliah malam yang dikhususkan untuk para karyawan.
Suamiku bukanlah lelaki tangguh seperti dugaanku. Dia tidak sungguh-sungguh dalam bekerja.  Berulangkali aku meminta bantuan teman atau kenalan untuk bisa menerimanya bekerja tetapi kemudian dia  merasa bosan lalu berhenti tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena dia bisa mengandalkan aku untuk menafkahi keluarga  maka daya juangnya melemah. Anakku yang lahir dua tahun setelah kami menikah seringkali merasa malu jika orang-orang menanyakan apa pekerjaan Ayahnya.
"Lihatlah sepupumu yang cuma lulusan SMA, Â dia menikah dengan laki-laki kaya dan hidupnya bahagia. Kamu yang sudah kusekolahkan tinggi-tinggi sampai menjadi sarjana akhirnya mendapatkan suami pengangguran" begitu keluh Ibuku saat itu.
"Yang menyuruh aku menikah dengan dia itu siapa?" balasku sengit. Kalau saja Ibuku mau bersabar, mungkin aku bisa mendapatkan lelaki lain yang lebih baik untuk menjadi suamiku.
Pernikahan itu pun gagal kupertahankan karena aku sudah tidak tahan harus bekerja keras sendirian  untuk kelangsungan hidup keluarga sementara suamiku hanya makan tidur dan bermain-main saja. Tidak ada bedanya dengan anak kecil yang bergantung sepenuhnya pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.Â
Aku memilih untuk bercerai dan membesarkan anakku sendirian tanpa bantuan sedikit pun darinya. Apa yang bisa kuharapkan darinya kalau dia pun tidak sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri? Aku tidak menuntut dia menafkahi anaknya karena tidak mungkin bisa dipenuhinya.
Lagi-lagi aku merasa mendapatkan ketidakadilan Allah. Apa salahku sehingga aku harus mengalami kegagalan dalam pernikahan? Kenapa aku harus dipertemukan dengan lelaki yang  tidak bisa kuandalkan sebagai kepala keluarga? Aku harus berjuang sendirian memenuhi kebutuhan hidupku dan anakku.
Makin lama makin besar biaya yang harus kutanggung sehingga aku harus mencari tambahan penghasilan. Waktuku habis hanya untuk mencari uang agar kami bisa hidup seperti kebanyakan orang lainnya. Anakku bisa sekolah dan tercukupi kebutuhannya agar dia tidak merasa kekurangan sebagai anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal.
Aku seringkali iri pada perempuan-perempuan yang beruntung menikah dengan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Mereka tidak harus bersusah payah sepertiku untuk mendapatkan uang.Â
Mereka mempunyai seseorang yang membantunya dan selalu mendampinginya menghadapi berbagai masalah. Membesarkan dan mendidik anak bersama-sama. Sedangkan aku melakukan semuanya sendiri. Mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan merawat serta membesarkan anak sendirian.
Aku merasa tidak mampu melakukan semuanya sendirian. Aku tidak tahu  apakah suatu saat nanti aku akan bertemu dengan jodoh yang dijanjikan Allah?  Bisa saja itu terjadi tetapi bukan tidak mungkin selamanya aku akan menjalani kehidupan seperti ini. Menjadi orang tua tunggal bagi anakku lalu mengantarkannya menuju gerbang pernikahan nanti hingga melahirkan anak-anak yang akan menjadi penghiburku di masa tua .
Selalu terasa ada yang kurang dalam hidupku karena aku tidak mempunyai pasangan hidup. Semua kupikir sendiri, kuputuskan sendiri dan kulakukan sendiri. Memang tidak ada yang akan mengkritikku atau mengarahkan aku  tetapi kadang-kadang aku juga membutuhkan pertimbangan orang lain. Karena tidak ada suami, kadang-kadang aku meminta pertimbangan anakku yang masih kecil. Dengan pikiran sederhana dia membantuku memecahkan berbagai persoalan.
Sesekali  dia mengeluh kalau masalah yang kuajukan terlalu berat untuk anak seusianya. Pelan-pelan aku mencoba untuk bisa menyelesaikan sendiri semua masalahku tanpa bantuan orang lain.
Anakku berhak mendapatkan masa kecilnya dan belum waktunya diajak berpikir berat. Â Aku tidak melibatkannya lagi dalam masalah-masalah yang kuhadapi. Aku mulai terbuka pada teman untuk bisa memberikan saran atau pertimbangan jika kubutuhkan.
Di dalam hatiku tersimpan sebuah keinginan yang belum juga bisa terpenuhi. Aku ingin merasakan diberi uang oleh lelaki yang bukan Ayah atau saudaraku. Jika itu terjadi aku bisa menebus kembali masa-masa sebagai istri yang seharusnya dinafkahi suami. Aku juga ingin mendapatkan perhatian dan dilayani oleh laki-laki seperti yang kuharapkan bisa dipenuhi oleh suamiku dulu. Harapan dan keinginan itu terus terbawa  dalam hidupku. Aku yakin suatu saat  akan dipenuhiNya.
Allah mempunyai caranya sendiri untuk memenuhi harapan dan keinginanku. Sebuah cara yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ketika aku jatuh sakit  dan dirawat lama di rumah sakit  kemudian  harus menjalani masa penyembuhan yang juga sangat lama, aku baru menyadari bahwa Allah memenuhi harapan dan keinginanku.
Laki-laki begitu dekat dengan kehidupanku saat aku lemah tak berdaya. Adik-adik sepupuku yang semuanya laki-laki bergantian menjaga dan merawatku. Menyuapiku, membantuku mandi , Â mengangkatku agar bisa berdiri dan berjalan menggunakan walker.
 Mereka selalu memastikan bahwa aku cukup minum air putih dan makan makanan yang menyehatkan.  Bahkan salah seorang sepupuku sering memijat tubuhku untuk melancarkan peredaran darah dan membuatku bisa tidur lelap.  Dia juga tak henti menyemangatiku agar bisa menerima hidup apa adanya dan ikhlas menerima ketentuan Allah.
Selain adik-adik sepupuku, beberapa teman-teman kerjaku yang laki-laki sering menolongku mengantarkan kontrol ke dokter. Mereka tidak hanya antar jemput aku dengan mobil  tetapi juga harus membopong aku naik turun mobil karena aku tidak bisa berjalan.
Sakit yang lama memaksaku harus cuti dari pekerjaan. Bisa dibayangkan bagaimana kesulitan yang kuhadapi ketika aku tidak bekerja sementara harus menanggung biaya perawatan di Rumah Sakit dan menebus obat-obatan yang harganya selangit. Memang aku mempunyai asuransi kesehatan tetapi banyak sekali obat-obatan yang tidak  ditanggung asuransi. Lagipula kita pun tahu kalau asuransi kesehatan tidak mungkin menaggung penuh biaya perawatan kita. Aku harus mencari pinjaman kepada saudara-saudaraku. Lagi-lagi sepupuku laki-laki yang meminjami aku uang.
Biaya hidupku  berdua dengan anakku dan biaya pengobatan tidak sedikit jumlahnya padahal gaji yang kuterima dalam keadaan cuti tidak banyak. Hanya gaji pokok. Sisa tabungan pun sudah terkuras habis selama aku dirawat di Rumah Sakit. Aku tidak bisa lagi berpikir. Hanya pasrah kepada Allah. Kata-kata yang pernah diucapkan Rudy Choiruddin  sebelum demo masak di hotel beberapa waktu yang lalu terngiang kembali di telingaku.  "Selama Allah masih memberi hidup, Dia akan memberi kita  rejeki."
Benar juga, rejeki itu diberikan Allah kepadaku lewat teman-temanku yang  kebanyakan laki-laki. Seorang teman SMA selama aku belum bekerja setiap bulan mentransfer uang ke rekeningku. Dia juga membantuku membayar biaya Rumah Sakit karena aku beberapa kali bolak-balik opname. Teman-teman kuliahku dulu, dan lagi-lagi kebanyakan laki-laki, juga melakukan hal yang sama. Bahkan para lelaki yang pernah mencoba mendekatiku tetapi tidak kutanggapi juga  kembali menolongku. Memberi perhatian dan juga membantu secara finansial.  Kutahu itu dilakukan tanpa pamrih lagi karena kami telah menjadi seperti saudara sejak aku sakit.
Aku malu pada Allah atas prasangkaku selama ini. Dia melimpahiku dengan kasih sayang tak terbatas yang kureguk sepuasku . Para lelaki itu barangkali menjadi utusanNya untuk menunjukkan kepadaku bahwa Dia Maha Pengasih dan Penyayang kepada semua hambaNya. Walaupun aku masih saja hidup sendiri tanpa suami , aku bisa merasakan bagaimana mendapatkan perhatian dari laki-laki. Lebih dari itu aku diberi kesempatan merasakan menerima uang dari laki-laki  seperti perempuan-perempuan yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H