Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kureguk Tetes Kasih-Mu

13 Mei 2020   12:00 Diperbarui: 13 Mei 2020   14:19 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar surealis wanita berdoa (pixabay.com)

Suamiku bukanlah lelaki tangguh seperti dugaanku. Dia tidak sungguh-sungguh dalam bekerja.  Berulangkali aku meminta bantuan teman atau kenalan untuk bisa menerimanya bekerja tetapi kemudian dia  merasa bosan lalu berhenti tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena dia bisa mengandalkan aku untuk menafkahi keluarga  maka daya juangnya melemah. Anakku yang lahir dua tahun setelah kami menikah seringkali merasa malu jika orang-orang menanyakan apa pekerjaan Ayahnya.

"Lihatlah sepupumu yang cuma lulusan SMA,  dia menikah dengan laki-laki kaya dan hidupnya bahagia. Kamu yang sudah kusekolahkan tinggi-tinggi sampai menjadi sarjana akhirnya mendapatkan suami pengangguran" begitu keluh Ibuku saat itu.

"Yang menyuruh aku menikah dengan dia itu siapa?" balasku sengit. Kalau saja Ibuku mau bersabar, mungkin aku bisa mendapatkan lelaki lain yang lebih baik untuk menjadi suamiku.

Pernikahan itu pun gagal kupertahankan karena aku sudah tidak tahan harus bekerja keras sendirian  untuk kelangsungan hidup keluarga sementara suamiku hanya makan tidur dan bermain-main saja. Tidak ada bedanya dengan anak kecil yang bergantung sepenuhnya pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. 

Aku memilih untuk bercerai dan membesarkan anakku sendirian tanpa bantuan sedikit pun darinya. Apa yang bisa kuharapkan darinya kalau dia pun tidak sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri? Aku tidak menuntut dia menafkahi anaknya karena tidak mungkin bisa dipenuhinya.

Lagi-lagi aku merasa mendapatkan ketidakadilan Allah. Apa salahku sehingga aku harus mengalami kegagalan dalam pernikahan? Kenapa aku harus dipertemukan dengan lelaki yang  tidak bisa kuandalkan sebagai kepala keluarga? Aku harus berjuang sendirian memenuhi kebutuhan hidupku dan anakku.

Makin lama makin besar biaya yang harus kutanggung sehingga aku harus mencari tambahan penghasilan. Waktuku habis hanya untuk mencari uang agar kami bisa hidup seperti kebanyakan orang lainnya. Anakku bisa sekolah dan tercukupi kebutuhannya agar dia tidak merasa kekurangan sebagai anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal.

Aku seringkali iri pada perempuan-perempuan yang beruntung menikah dengan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Mereka tidak harus bersusah payah sepertiku untuk mendapatkan uang. 

Mereka mempunyai seseorang yang membantunya dan selalu mendampinginya menghadapi berbagai masalah. Membesarkan dan mendidik anak bersama-sama. Sedangkan aku melakukan semuanya sendiri. Mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan merawat serta membesarkan anak sendirian.

Aku merasa tidak mampu melakukan semuanya sendirian. Aku tidak tahu  apakah suatu saat nanti aku akan bertemu dengan jodoh yang dijanjikan Allah?  Bisa saja itu terjadi tetapi bukan tidak mungkin selamanya aku akan menjalani kehidupan seperti ini. Menjadi orang tua tunggal bagi anakku lalu mengantarkannya menuju gerbang pernikahan nanti hingga melahirkan anak-anak yang akan menjadi penghiburku di masa tua .

Selalu terasa ada yang kurang dalam hidupku karena aku tidak mempunyai pasangan hidup. Semua kupikir sendiri, kuputuskan sendiri dan kulakukan sendiri. Memang tidak ada yang akan mengkritikku atau mengarahkan aku  tetapi kadang-kadang aku juga membutuhkan pertimbangan orang lain. Karena tidak ada suami, kadang-kadang aku meminta pertimbangan anakku yang masih kecil. Dengan pikiran sederhana dia membantuku memecahkan berbagai persoalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun