Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harta yang Tak Ternilai

13 Mei 2020   10:50 Diperbarui: 13 Mei 2020   12:28 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : viva.co.id

Pada waktu itu aku sedang mendapat menstruasi. Temanku meminta perawat melapisi sprei dengan perlak dari bahan serupa kain jok kursi untuk menahan darahku tidak tembus ke sprei. Adik sepupuku yang laki-laki pun tetap mengurusi aku selama di rumah sakit. Dia dan anakku bergantian menjagaku selama aku dirawat inap .

Dokter mengirimku ke Rumah Sakit pemerintah yang lebih lengkap fasilitasnya agar bisa dilakukan arteriografi untuk mengetahui sumbatan di pembuluh darahku dan selanjutnya dilakukan operasi pemasangan pembuluh darah tiruan oleh dokter bedah ternama di kotaku. Proses transfusi untuk yang pertama kalinya pun dilakukan . 

Darah dari PMI dicuci bersih kemudian dipanaskan dengan alat khusus baru kemudian dilakukan transfusi. Karena aku mengalami sesak nafas pada ampu darah ke dua maka transfuse dihentikan lalu dilanjutkan keesokan harinya.

Aku tinggal di RS lebih dari sebulan dan harus mengalami dua kali transfusi karena HB-ku turun drastis setelah pendarahan hebat pada waktu menstruasi. Adik sepupuku mengepel darah menstruasiku yang membanjiri lantai  sebelum perawat datang menolongku.  

Aku merasa seperti tercekik dan susah bernafas ketika dibersihkan dari darah. Perawat bergegas memberikan infus dan memasang pengukur tensi di lenganku yang dipantau terus hingga dokter menginstruksikan untuk menyiapkan transfusi lagi esok paginya.

Selang semingu setelah kepulanganku aku dilarikan ke Rumah Sakit lagi karena kaki kiriku membesar dan tidak bisa digerakkan. Aku dirawat inap 17 hari dalam posisi kaki diganjal dan diperban dari ujung kaki sampai ke paha. Aku mendapatkan 12 kali suntikan di perut sebagai terapi pengobatannya. 

Ketika aku sudah bisa menekuk kaki dan diperbolehkan pulang kupikir aku sudah sepenuhnya sembuh meskipun aku hanya bisa berjalan menggunakan walker. Tetapi ternyata aku harus kembali ke Rumah Sakit karena tubuhku begitu lemah sampai-sampai mengangkat kepala pun tidak bisa. 

Aku harus opname lagi sekitar 21 hari lalu sesudah itu aku hanya bisa berbaring di tempat tidur . Untuk berdiri aku harus dibantu dengan mengangkat kedua lenganku. Aku hanya bisa berjalan dengan walker  selama lebih dari enam bulan sampai akhirnya bisa menggunakan tripod sebagai alat bantu jalan hingga beberapa lama sebelum aku bisa kembali berjalan agak pincang seperti sekarang. 

Dalam kondisi sakit lama yang kualami ternyata bantuan, perhatian dan kasih sayang dari keluarga sangatlah besar artinya. Kusadari kini harta yang tak ternilai adalah keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun