Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harta yang Tak Ternilai

13 Mei 2020   10:50 Diperbarui: 13 Mei 2020   12:28 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : viva.co.id

 Jika seseorang menyebut kata keluarga, apa yang terbayang di benak kita? Ayah, Ibu, Kakak dan Adik  atau termasuk juga Paman, Bibi, Kakek, Nenek Sepupu, dan Keponakan bahkan juga saudara ipar? Siapa yang sebenarnya kita anggap sebagai keluarga?  Pertanyaan seperti itu terus mengganggu pikiranku.

Kalau yang dianggap keluarga hanyalah keluarga inti  yang terdiri dari Ayah Ibu dan Kakak Adik maka aku sekarang sudah tidak punya keluarga lagi. Kakak laki-lakiku satu-satunya meninggal tahun 1987 karena penyakit jantung. Dokter mengatakan klep jantungnya bocor. Penanganan penderita jantung pada masa itu belum secanggih saat ini. 

Pada tahun 2010 Ibuku meninggal setelah 40 hari tidak sadarkan diri karena penyumbatan otak sebagai komplikasi dari penyakit diabetes yang dideritanya sejak lama. 

Enam bulan kemudian Ayah meyusul kepergian Ibu hanya karena diare kurang dari tiga hari. Kita memang tak akan bisa menghindar jika Sang Pencipta berkehendak memanggil kita kembali.

Di kartu keluargaku hanya tertulis dua nama. Namaku sebagai kepala keluarga dan anggota keluarganya adalah anak perempuanku. Itu karena aku adaah seorang single parent yang hanya mempunyai anak tunggal. Secara de jure rumahku hanya dihuni oleh dua orang.  Aku dan Anak perempuanku. 

Namun kenyataannya masih ada tambahan dua penghuni lagi yaitu dua orang sepupuku yang laki-laki. Sebelumnya malah ada tiga sepupu laki-laki yang menemani aku dan anak perempuanku. Setelah satu di antaranya berencana membuka bisnis di daerah asalnya, tinggal tersisa dua laki-laki di rumahku.

Setelah kedua orangtuaku meninggal, di antara saudara yang ada aku hanya dekat dengan keluarga Pamanku yang adalah adik bungsu Ayah. Dia ikut dan tinggal dengan orangtuaku sejak kelas tiga SD sampai menikah dan punya anak-anak yang sekarang ganti tinggal bersamaku sejak  kuliah di Yogya. Dua di antaranya sudah lulus dan bekerja. Seorang lagi masih kuliah sambil bekerja part time di warnet dan café.

Istri Paman yang kupanggil Mbak Wahyu sering berkunjung ke Yogya untuk bertemu anak-anaknya. Kadang Paman juga ikut serta pada kesempatan-kesempatan khusus , seperti waktu anak-anaknya ulang tahun atau ketika hari libur panjang.

Biasanya mereka mengajak makan di rumah makan atau memasak makanan istimewa di rumah lalu kami makan bersama. Bukan pesta besar yang mengundang banyak orang. Pada bulan Ramadhan biasanya Mbak Wahyu juga ingin berpuasa bersama anak-anaknya. Menyiapkan maka sahur dan berbuka

Mereka seperti menggantikan kedua orangtuaku yang sudah tiada. Seperti Ibu, Mbak Wahyu akan menata rumah, memasak dan melakukan pekerjaan rumah  pada waktu aku bekerja. Rumah ada yang mengurus dan makanan ada yang menyediakan. Itu sangat menyenangkan. Sayangnya paling lama lima hari dia menghabiskan waktu di rumahku. 

Jika terlalu lama Paman akan menyuruhnya cepat pulang karena rumahnya  di Jepara tidak ada yang mengurus. Pakaian kotor menumpuk dan juga tidak ada yang menyiapkan sarapan untuk Paman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun