Mohon tunggu...
Yulius Waljito
Yulius Waljito Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asal Usul Aksara Jawa

15 Oktober 2023   14:04 Diperbarui: 15 Oktober 2023   17:09 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asal Usul Aksara Jawa

Dora dan Sembada merupakan abdi yang setia kepada Ajisaka. Jika Ajisaka ingat akan pesan yang ditinggalkannya pada Sembada, maka dia pasti akan mengambil keris pusaka itu dengan tangannya sendiri, dan hasilnya kedua abdi setianya akan terhindar dari kematian. Cerita ini saya tulis ulang setelah saya menonton video Legenda Aji Saka dari Gromore Studio Series.

Pada masa lampau, terbentuklah sebuah kerajaan yang dikenal sebagai Medhang Kamulan.

Kerajaan ini dikuasai oleh seorang raja yang sangat jahat, yang dikenal dengan nama Prabu Dewata Cengkar. Tubuhnya begitu besar hingga menyerupai raksasa, bola matanya berwarna merah menyala, wajahnya menakutkan, dan gigi taringnya panjang seperti seekor singa. Dia juga senantiasa membawa senjata kapak maut yang mematikan.

Raja tersebut memiliki kebiasaan yang sangat menakutkan bagi penduduk Medhang Kamulan. Dia suka menyantap manusia, dan saat akan menyantap, korban-korban tersebut dipotong dengan kejam menggunakan kapak mautnya. Tak ada seorang pun yang berani menentang atau menolak permintaannya yang mengerikan ini.

Pada suatu hari di tengah samudra, seorang pemuda bernama Aji Saka berlayar bersama dua abdi setianya, Dora dan Sembada. Aji Saka berasal dari Jambudwipa India dan mereka berlayar menuju pulau yang terkenal dengan kekayaannya, yaitu Pulau Jawa. Karena kekayaan dan potensi yang dimilikinya, Aji Saka merasa tertarik untuk menginjakkan kaki di pulau ini.

Pada suatu malam, Prabu Dewata Cengkar menerima sebuah mimpi yang sangat mengganggu. Dalam mimpinya, dia melihat seorang pemuda sakti yang misterius menjejakkan kakinya ke tanah. Akibatnya, raja jahat ini terjungkal dari singgasana kerajaannya. Seketika itu dia terbangun dari mimpi, gumamnya dalam hati, "Pertanda apa ini!"

Setelah tiba di Pulau Jawa, Aji Saka dan kedua abdinya melanjutkan perjalanan mereka dengan menghadapi hutan belantara yang lebat. Mereka mencari penduduk sekitar untuk memperoleh informasi tentang letak desa atau kerajaan terdekat, karena tujuan utama mereka adalah untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat yang mereka temui.

Masyarakat setempat memberi petunjuk kepada mereka untuk menuju ke sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama Medhang Kamulan. Tanpa ragu, mereka melanjutkan perjalanan menuju kerajaan tersebut.

Tiba di Pegunungan Kendheng, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Di saat itu, Aji Saka menitipkan keris pusakanya kepada Sembada. Dia memberikan pesan penting kepada Sembada untuk selalu menjaganya dengan baik. Aji Saka juga menekankan bahwa jika ada saatnya dimana keris itu diminta, maka Sembada tidak boleh menyerahkannya kepada siapa pun kecuali jika Aji Saka sendiri yang datang untuk mengambilnya. Sembada dengan tulus menerima tanggung jawab ini.

Aji Saka melanjutkan perjalanan menuju Medhang Kamulan bersama Dora setelah melepas Sembada di Pegunungan Kendheng. Saat mereka tiba di negeri Medhang, mereka sampai di sebuah desa dan berkesempatan bertemu dengan seorang janda tua yang dikenal sebagai Nyai Sengkaren. Setelah saling memperkenalkan diri dan berbincang-bincang, Nyai Sengkaren menjadi tahu tujuan Aji Saka. Akhirnya, dengan ramahnya, Nyai Sengkaren mengundang mereka untuk pulang ke rumahnya.

Kini, Aji Saka dan Dora telah diterima sebagai anggota keluarga oleh Nyai Sengkaren. Mereka merasa bahagia dan bersyukur karena telah menemukan tempat tinggal dan pengakuan di desa tersebut.

Selama mereka tinggal di desa itu, Aji Saka dan Dora menjadi anggota yang sangat berkontribusi dalam pekerjaan rumah sehari-hari. Mereka dengan tekun membantu pekerjaan rumah dan juga menjalin hubungan baik dengan penduduk desa. Kedua abdi setia ini sangat disenangi oleh warga karena perilaku mereka yang santun dan sopan.

Suatu ketika, ketika Aji Saka sedang berbincang dengan salah seorang warga, dia memuji keadaan Negeri Medhang Kamulan yang tampak subur dan makmur. Namun, raut wajah warga tersebut segera berubah saat dia menjawab perkataan Aji Saka.

"Ya, seolah-olah begitu, Tuan," ujar warga tersebut, "Tetapi kita hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bahkan, beberapa warga sampai mengungsi dan meninggalkan desa ini karena raja yang sangat kejam. Tempat ini..."

"Apa yang terjadi?" tanya Aji Saka.

Warga itu menjawab, "Negeri ini diperintah oleh Prabu Dewata Cengkar, Nak! Seorang raja yang sangat jahat dan memiliki kebiasaan aneh. Setiap hari, dia memerintahkan patihnya untuk mencari manusia yang akan dijadikan santapannya."

Aji Saka dengan cepat memahami ketakutan warga, karena mereka hidup dalam ancaman bahwa sewaktu-waktu prajurit kerajaan dapat datang dan mengambil mereka sebagai santapan untuk sang raja yang kejam.

Pada suatu hari, terjadi kepanikan besar di desa tersebut. Banyak warga yang panik dan berbondong-bondong meninggalkan desa setelah tersiar kabar bahwa prajurit dari kerajaan akan datang mencari orang yang akan dijadikan santapan untuk sang raja yang kejam. Melihat situasi ini, Aji Saka dengan berani mengajukan diri untuk menjadi santapan yang akan menggantikan warga desa yang tak bersalah.

Tak berlalu waktu lama, patih bersama para prajuritnya tiba di desa tersebut. Mereka heran karena desa terlihat sepi dan sunyi. Tidak ada seorang pun yang terlihat di sana. Patih memerintahkan seluruh prajuritnya untuk menyelusuri setiap sudut desa, tetapi sayangnya, hasil pencarian mereka nihil, tidak ada yang berhasil mereka temukan.

Aji Saka dengan tegas mengajukan diri untuk menjadi santapan yang menggantikan warga desa. Awalnya, Nyai Sengkaren mencoba melarang Aji Saka, namun Aji Saka yakin bahwa dia memiliki kekuatan untuk menghadapi ancaman di tempat tersebut.

"Bawalah hamba saja, Patih," kata Aji Saka dengan mantap, "Hamba merasa iba melihat warga yang tak bersalah menjadi korban kekejaman Prabu Dewata Cengkar. Hamba, Aji Saka, bersedia dengan rela hati menjadi santapan sang prabu."

Nyai Sengkaren merasa haru dengan tekad Aji Saka dan akhirnya membiarkan Aji Saka melanjutkan rencananya.

Meskipun sang patih merasa tidak rela menjadikan Aji Saka sebagai santapan untuk Prabu Dewata Cengkar, ia akhirnya terpaksa mengikuti keputusan Aji Saka karena melihat ketulusan dan keberanian pemuda tersebut. Akhirnya, sang patih membawa Aji Saka menuju istana Prabu Dewata Cengkar sesuai dengan keputusan yang telah diambil.

Di dalam kerajaan, Prabu Dewata Cengkar mulai merasa cemas dan gelisah karena patihnya tak kunjung kembali. Ia merenungkan apakah persediaan warga yang biasa dijadikan santapan telah habis. Dalam kecemasannya, Prabu Dewata Cengkar pun berbicara pada dirinya sendiri, "Jika hanya ada satu orang manusia yang bisa dijadikan santapanku, aku akan segera memenuhi permintaanku."

Setelah mereka tiba di istana, Prabu Dewata Cengkar merasa senang karena patihnya telah tiba membawakan makanan. "Siapakah namamu, pemuda?" tanya sang prabu dengan antusias. "Saya dengar dari patih bahwa engkau akan menjadi santapanku hari ini."

Dengan penuh hormat, Aji Saka menjawab, "Maaf, Baginda Prabu Dewata Cengkar yang agung. Saya adalah Aji Saka. Sebelum saya menjadi santapan Baginda, izinkan saya meminta satu hal."

Dengan lapar yang tak tertahankan, Prabu Dewata Cengkar segera menjawab, "Cepat katakan, apa keinginanmu? Aku akan mewujudkannya. Aku sudah sangat lapar sekali."

Aji Saka dengan tegas menyampaikan keinginannya, "Hamba hanya mengharapkan sebidang tanah seluas kain yang hamba bawa ini, Baginda."

Prabu Dewata Cengkar agak terkejut dengan permintaan sederhana Aji Saka, dan dia berkata, "Hanya itu yang kau inginkan? Apa engkau serius? Baiklah, ambil saja jika kau mau!"

Aji Saka dengan cepat membuka kain yang dibawanya dan meminta Prabu Dewata Cengkar untuk memegang ujung kain tersebut.

Sang Prabu dengan senang hati mengikuti permintaan Aji Saka.

Namun, hal yang sangat mengejutkan terjadi saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka. Kain tersebut terus memanjang tanpa henti, melewati batas-batas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Kain itu membentang dari istana, melintasi perkampungan penduduk, hutan, gunung, bahkan sampai ke lembah ngarai.

Prabu Dewata Cengkar terus melangkah mundur, mencoba untuk menahan kain yang semakin terus memanjang. Namun, semakin lama, kain tersebut semakin jauh meluas, dan tidak ada ujungnya. Akhirnya, kain itu membentang hingga mencapai tebing yang curam di tepi laut selatan, dan Prabu Dewata Cengkar tidak mampu menghentikannya.

Menyadari keanehan yang terjadi, Prabu Dewata Cengkar menjadi sangat marah. Dia baru menyadari bahwa niat sejati Aji Saka adalah mengakhiri kekuasaannya atas Kerajaan Medhang Kamulan.

Kain yang membentang tiba-tiba melilit tubuh Prabu Dewata Cengkar dengan sangat kuat hingga tubuh sang raja yang besar seakan-akan terjepit dan tidak mampu bergerak sedikit pun.

Kemudian, Aji Saka dengan kuat menarik kain tersebut. Dalam sekejap, tubuh Prabu Dewata Cengkar terlempar ke dalam laut Selatan yang bergelombang besar. Dalam sekejap pula, tubuh raksasa itu hilang, ditelan oleh ombak ganas laut Selatan.

Akibat keberanian Aji Saka dalam mengusir Prabu Dewata Cengkar, rakyat Medhang Kamulan bersorak-sorai dan merasa bahagia karena mereka akhirnya terbebas dari raja yang suka menyantap manusia. Namun, tanpa pengetahuan Aji Saka, Prabu Dewata Cengkar masih bertahan di dalam lautan. Dengan ilmu saktinya, ia berubah menjadi buaya putih dan menghilang tanpa jejak, entah kemana.

Aji Saka dinobatkan sebagai raja di Medhang Kamulan sebagai pengganti Prabu Dewata Cengkar. Ia membuktikan diri sebagai seorang raja yang baik hati dan bijaksana. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Medhang Kamulan mengalami masa kejayaan dan kemakmuran yang luar biasa.

Suatu hari, Prabu Aji Saka tiba-tiba teringat akan keris pusaka yang pernah ia titipkan kepada Sembada. Dengan penuh rasa hormat, ia meminta, "Dora, tolong ambilkan keris yang telah kusimpan pada Sembada di pegunungan Kendheng, tempat kita pernah beristirahat." Dora dengan sopan menjawab, "Baik, Prabu Aji Saka. Hamba akan melaksanakannya."

Dora akhirnya berangkat untuk menemui Sembada. Sesampainya di Gunung Kendheng, Dora dengan penuh hormat menyampaikan pesan dari Aji Saka kepada Sembada, yaitu untuk mengambil keris pusaka yang telah disimpan.

Dengan sopan, Dora bertanya kepada Sembada, "Sembada, aku diutus oleh Paduka untuk mengambil keris. Di mana keris itu berada?"

Dengan tegas, Sembada menjawab, "Ada, akan tetapi aku tidak bisa menyerahkan keris ini kepada siapapun, kecuali Prabu Aji Saka sendiri yang datang untuk mengambilnya."

Dora, dengan perasaan kesal, bertanya, "Jadi, kau tidak mempercayaiku? Aku benar-benar sudah menerima perintah langsung dari Sang Prabu!"

Sembada dengan tegas menjawab, "Kali ini, aku tetap akan memegang teguh amanat Paduka, tidak peduli apa pun keadaannya."

Dora dengan tekad berkata, "Sepertinya, Sembada, kau memang harus dipaksa. Aku akan merebutnya karena itu adalah perintah langsung dari Prabu Aji Saka." Akibatnya, terjadi pertarungan sengit di antara keduanya, di mana kemampuan mereka berimbang.

Sementara itu, di istana Medhang Kamulan, ada perasaan yang mengganjal dalam benak Sang Prabu. Ia merasa ada yang tidak beres, terutama karena Dora sudah pergi begitu lama dan tidak kembali seperti biasanya. Akhirnya, Prabu Aji Saka memutuskan untuk pergi menyusul kedua abdinya di pegunungan Kendheng untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Selama perjalanan, Aji Saka semakin merasa bahwa ada sesuatu yang buruk sedang terjadi. Setibanya di tempat tujuan, Aji Saka terkejut melihat Dora dan Sembada tergeletak tak bernyawa di tanah. Terlihat bekas pertarungan yang sangat sengit terjadi di tempat itu. Rupanya, mereka berdua bertarung hingga tewas, demi menjaga amanat yang telah mereka emban.

Dalam penyesalan hatinya, Sang Prabu mengucapkan, "Maafkan aku, sungguh kalian berdua adalah orang-orang yang sangat setia kepadaku."

Dalam rangka mengabadikan kesetiaan keduanya, Prabu Aji Saka menuliskan pesan di sebuah batu. Tulisan itu berisi: "Ha Na Ca Ra Ka" yang berarti ada dua utusan setia, "Da Ta Sa Wa La" yang berarti saling berselisih pendapat dan saling bertarung, "Pa Dha Ja Ya Nya" yang berarti sama-sama kuat dan tangguh, serta "Ma Ga Ba Ta Nga" yang berarti akhirnya tewas bersama.

Tulisan yang dibuat oleh Aji Saka pada batu tersebut menjadi asal usul aksara Jawa, yang dikenal sebagai Aksara Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun